Plagiasi, Saya Harus Melawan!

Saya menulis kisah ini untuk membangun keyakinan pada diri sendiri, bahwa mengusut plagiasi tulisan itu pantas dilakukan. Sebulan sekali saya menulis kolom untuk salah satu media nasional di Indonesia. Pada tanggal itu, selisih beberapa jam, saya mendapati content tulisan saya diakui oleh orang lain sebagai pendapatnya dalam format wawancara. Dan tidak tanggung-tanggung, kutipan content tulisan saya itu muncul dalam bentuk wawancara di 12 media online. Lagi, yang melakukan adalah ketua umum dari sebuah lembaga kaliber nasional.

Saya membagi kegelisahan itu ke beberapa kolega dan mereka mendukung agar saya melakukan somasi. Lalu lewat salah seorang teman, Dr. Yossy Hizkia Polimpung, saya dihubungkan dengan salah satu advokat kantor lembaga bantuan hukum di Indonesia. Saya berkirim surat resmi untuk meminta bantuannya dan yang bersangkutan menyanggupi dan menyempurnakan draf somasi yang saya buat. 

Lewat advokat itu saya menjadi paham bahwa prosesnya bisa jadi tidak sederhana. Setelah somasi pertama dilayangkan, bila orang tersebut tak punya i'tikad baik, saya harus melayangkan somasi kedua dan ketiga. Dan bila somasi ketiga tetap tidak diindahkan, barulah saya bisa menindaklanjutinya melalui jalur hukum, baik perdata maupun pidana. Itu artinya, bila terjadi, saya harus melaporkan resmi kepada polisi (dengan segenap prosesnya) barulah kemudian ke pengadilan.

Kemudian saya meminta pendapat kepada yang bersangkutan, "Apakah pantas kasus ini saya lanjutkan?" Ia menyampaikan, hal itu pantas dilakukan karena: 1. Banyak kasus plagiasi itu laten atau tersembunyi, bahkan kadang dilakukan oleh kalangan elit dan terdidik; 2. Pelaku hanya melakukan klaim pada hal yang tidak dia kuasainya, dalam hal ini substansi masalahnya adalah soal koperasi.

Membayangkan rangkaian upaya yang tidak sederhana itu saya berpikir apakah perlu melanjutkan atau tidak. Yang kedua adalah pihak yang akan saya somasi atau perkarakan memiliki jabatan pada lembaga besar dengan sumber daya yang besar juga. Tentu saja terpikir soal resiko di kemudian hari, dengan berbagai sekenario yang serba mungkin. Yang paling sederhana misalnya bila dituduh balik dengan pasal pencemaran nama baik.

***
Tulisan ini adalah upaya saya untuk membangun keyakinan pada diri sendiri bahwa saya perlu dan harus melawannya. Setelah saya refleksikan, ternyata saya cukup peduli dengan masalah plagiasi yang menimpa atau dilakukan orang lain, sebagai berikut:

Pertama, tahun 2016, ketika saya sedang membuat makalah tertentu, saya pernah menjumpai sebuah skripsi orang yang diplagiasi oleh orang lain beda kampus, UII dan UI. Apa yang saya lakukan saat itu adalah membaginya dilaman facebook saya dan menandai beberapa orang di dua kampus itu. Lalu saya juga mengirim pesan kepada si pemilik sah skripsi dan beberapa teman di kampus terkait. Tentu saja saya berharap agar beberapa teman itu bisa melaporkannya dan agar kampus menggugurkan gelar sarjananya. Selengkapnya, klik di sini.

Saya ingin menunjukkan bahwa saya peduli terhadap masalah plagiasi meskipun saya tak kenal siapa "pelaku" dan "korban". Saat itu saya harus "berepot ria" dengan membagikannya di laman facebook dan juga mengirim pesan ke beberapa teman, termasuk "korban". Sekarang, saya mengalaminya sendiri sebagai "korban". Jadi wajar bila saya "perlu repot".

Kedua, tahun 2011, saya pernah mengirim surat resmi ke salah satu Pers Mahasiswa (Persma) soal dugaan artikel plagiasi yang dimuat medianya. Kebetulan saya membaca majalah terbitan mereka, kemudian di salah satu artikelnya saya merasa mengenal sekali kisah dan frasa yang disajikan oleh salah satu kontributor. Tak butuh waktu lama, saya googling dan ketemu bahwa frasa dan kisah itu ditulis oleh Goenawan Mohamad (GM). Kebetulan saya penyuka Catatan Pinggir beliau sehingga "hafal" tulisannya. 

Saya buat surat tertutup dan menyerahkan langsung kepada Persma itu. Dalam surat itu saya berikan masukan di mana sebenarnya penulis bisa lakukan parafrase dengan mengutip GM tetap dengan cara yang pas dan asik. Selang dua hari kemudian pimpinan Persma itu datang ke kantor saya dan mengucapkan terimakasih atas teguran dan masukannya. Dan file surat itu sampai sekarang masih saya simpan.

Ketiga, saya tergolong penulis yang cukup disiplin untuk melakukan pengutipan sesuai kaidah. Artinya bukan sekedar mencomot pendapat orang, melainkan juga bagaimana memberikan atribusi kepada orang yang saya kutip pendapatnya tersebut. Dengan cara begitulah kita memiliki integritas intelektual sebagai seorang penulis.

Keempat, bahwa menulis suatu artikel pada hakikatnya bukan sekedar menyusun kata, frasa dan kalimat. Melainkan sebuah aktivitas berpikir yang serius, dimulai dari analisis, pencarian data/ fakta (penelitian), membaca buku, makalah dan hal lainnya, sampai kemudian dengan intuisi tertentu, kita mengajukan sebuah sintesa atau solusi. Untuk menulis kolom, yang biasanya sepanjang tiga halaman, saya butuh waktu tiga sampai empat jam. Kadang lebih. Jadi menulis bukan sekedar aktivitas teknis di depan komputer dan kita memencet alfabet di papan keyboard-nya.

Kelima, ketika kita menulis, ide adalah hal yang utama. Dan bagaimana penulis menemukan ide itu bukanlah hal yang sederhana. Ide merupakan sesuatu yang kadang terbetik begitu saja, saya sebut sebagai flash of genius. Misalnya ketika melakukan sesuatu, tiba-tiba terpikirkan ide tersebut. Atau ketika sedang memikirkan hal lain, tiba-tiba terpikirkan hal tersebut. Barulah kemudian ketika hendak menuliskannya, saya perlu merumuskan berbagai batu bata analisis, argumentasi, sintesis yang mendukung ide itu. 

Dalam konteks seperti itu, memperoleh atau menemukan ide bak menemukan emas di bongkahan batu atau lumpur. Proses awalnya panjang dan ketika muncul, bisa tiba-tiba. Eureka! Proses panjang itu bisa dirangkum dalam sebuah kata: intuisi. Mengutip Arief Yahya dalam Great Spirit, Grand Strategy, intuisi itu terjadi sebenarnya tidak tiba-tiba begitu saja, melainkan karena saban hari bahkan saban waktu, kita memikirkannya. 

Ia contohkan ketika sedang menjabat sebagai CEO PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), bagaimana saban waktu (mandi, makan, istirahat, jelang tidur, membaca buku, menonton teve dan aktivitas lainnya) ia selalu memikirkan bagaimana membesarkan Telkom.  Sampai kemudian pada momen tertentu, "Ting!". Ide (seolah-olah) datang begitu saja. Itulah yang membuat saya sangat menghargai karya intelektual karena sesungguhnya karya itu lahir dari proses yang panjang; Proses inkubasi ide sampai aktualisasinya (baca: penulisannya).

Keenam, secara psikologis ketika penulis memperoleh ide, adrenalinnya langsung memuncak, bergairah dan penuh semangat. Seperti yang sering saya alami, pada pukul dua dini hari ide itu datang. Maka biasanya saya tak bisa tidur, pikiran kemana-mana lakukan pemetaan/ analisis. Hasilnya, saya bangkit dari ranjang dan membuka laptop, meski kadang sampai pukul 4 dini hari. Saya ingin menunjukkan  bahwa detail proses kreatif penulisan itu tidak sederhana. Sebaliknya melibatkan aspek kognitif, psikologis dan juga psikomotorik. Bayangkan, ketika sedang on fire, saya bisa membongkar buku-buku di pustaka pribadi saya. Tentu saja untuk menambah rujukan dan memperdalam kajian.

Ketujuh, beberapa kasus plagiasi juga selalu menarik perhatian saya. Misalnya kasus Anggito Abimanyu (2014) yang membuatnya sampai harus mundur dari UGM, klik di sini. Kasus esais muda yang sempat booming, Afi Nihaya (2017), yang bersangkutan lalu minta maaf di publik, klik di sini. Beberapa kolega saya, Munawir Aziz (2013) yang menjadi korban plagiasi, klik di sini. Juga Suroto (2016) yang diduga tulisannya diplagiasi. Atau saat saya mengulas paper kolega saya, Anis Saadah (2015) dan memberinya masukan untuk mengutip tulisan orang dengan tepat agar jangan sampai menjiplak. Dengan terbuka ia refleksikan hal itu di laman facebooknya, klik di sini.

***
Kedelapan, kasus plagiasi yang menimpa saya dilakukan oleh orang dengan jabatan strategis. Hal itu tentu saja bisa menjadi preseden buruk bagi banyak pihak. Bisa saja koleganya yang lain akan menyontoh; Bisa saja yang bersangkutan memperoleh keuntungan material atau immaterial dari tindakannya; Dan bila didiamkan, bisa saja hal semacam itu dianggap biasa dan akan dilakukan di waktu yang lain. Atau dia merasa untouchable yang membuatnya menjadi terbiasa untuk melakukannya. 

Kesembilan, plagiasi content tulisan saya itu tersiar di sedikitnya 12 media online. Menariknya, keduabelas media itu menggunakan judul sama persis dan content berita (wawancara hasil plagiasi) yang sama persis. Hal itu bisa diindikasikan sebagai "jurnalisme copy-paste", yang tentu saja tidak baik bagi dunia pers Indonesia. "Jurnalisme copy-paste" itu mewabah pasca tumbuhnya media berita online. Para jurnalis atau redakturnya lambat laun bisa lembam bila tak tingkatkan proses penyuntingannya. Efeknya, masyarakat bisa peroleh informasi sampah atau echo chamber effect yang membuat publik tak memiliki perspektif yang lain. 

Kesepuluh, plagiasi yang menimpa saya tentu saja melanggar hak saya sebagai warga negara. Hal itu diatur di dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta pasal 48 yang menyebutkan: Penggandaan, penyiaran, atau komunikasi atas ciptaan untuk tujuan informasi yang menyebutkan sumber dan nama pencipta secara tidak lengkap dianggap pelanggaran hak cipta berupa:

a. Artikel dalam berbagai bidang yang sudah dilakukan pengumuman baik dalam media cetak maupun media elektronik kecuali yang salinannya disediakan oleh pencipta, atau berhubungan dengan penyiaran atau komunikasi atas suatu ciptaan;
b. Laporan peristiwa aktual atau kutipan singkat dari ciptaan yang dilihat atau didengar dalam situasi tertentu; dan
c. Karya ilmiah, pidato, ceramah, atau ciptaan sejenis yang disampaikan kepada publik.

UU itu mengatur sanksi dan ancaman bisa perdata dan juga pidana (delik aduan). Dendanya bisa sampai 100 juta-4 milyar dan/ kurungan sampai 1-10 tahun, tergantung jenis pelanggarannya.

***
Apa yang hendak saya tunjukkan adalah bahwa sebuah artikel/ esai bukan sekedar tulisan. Melainkan sebuah kerja intelektual yang panjang, intensif dan melelahkan. Ibaratkan seorang seniman patung sedang membuat karya. Ia peroleh ide kreatif, menyiapkan bahan, mengumpulkan mood dan dengan tekun mulai memahatnya. Sudut demi sudut, lekukan demi lekukan, detail demi detail. Lantas, ada orang masuk ke studionya dan mengambilnya. Dalam ilustrasi ini kita akan bilang: patung itu dicuri! Paralel dengan itu, mengapa saya perlu melawan, karena tulisan saya telah dicuri. Tulisan itu hak saya dan orang itu telah merampasnya. []

Share on Google Plus

About Firdaus Putra

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :