Evolusi Ide itu Bermula dari Vacuum Cleaner


Dikisahkan secara subyektif oleh: Firdaus Putra, HC. 

Beli Vacuum cleaner

Pagi ini saya dapat pesan WA dari Pak Hadi, tukang gorengan yang mangkal di pinggir kampus FISIP, Unsoed. Ia mengirim, “Halo, Mas. Mohon maaf mengganggu waktunya, saya mau balikin vacuum cleaner punya PEDI, harus ketemu siapa?”. Lalu vacuum cleaner itu tiba di Kopkun. Dan pertama kalinya saya lihat dan menyobanya sejak pertama kali dibeli. Jadilah saya ingat memori yang menempel pada vacuum cleaner itu.


Tak ada yang spesial dari bentuk vacuum cleaner di atas. Dibeli sekitar tahun 2017 sebagai inventaris Kopkun Institute. Sebabnya, saat itu Kopkun Institute punya ruang pelatihan beralaskan karpet. Jadilah butuh vacuum cleaner agar bersih dari debu.


Lalu Kopkun beli gedung di depan Unsoed, yang sekarang menjadi Kantor Pusat. Aktivitas direlokasi semua ke Kantor Pusat dari sebelumnya di Kopkun 3, Teluk, Purwokerto Selatan. Ruang pelatihan itu jadi tak terpakai, begitu juga si vacuum cleaner.


Lahir Pedi Help & Cleaning

Beberapa tahun saya intensif mendampingi Kelompok Tukang Becak, Perjaka. Sebelumnya didampingi oleh Sdr. Suroto. Sejak yang bersangkutan sibuk dan menetap di Jakarta, saya yang mendampingi mereka, hadir dalam pertemuan bulanan mereka.


Salah satu isu yang menjadi kepedulian saya saat itu adalah becak mulai sepi dan ditinggal penumpang. Banyak di antara mereka harus stand by, atau mangkal, dari pagi sampai sore. Itu pun kadang tak dapat penumpang sama sekali. Beberapa ide sudah saya dorong dan mereka coba: ternak lele dan ternak kambing. Lele gagal, kambing cukup berhasil. Hanya saja waktu panennya lama.


Perlu cara lain agar mereka bisa punya pendapatan harian atau mingguan. Sdr. Adit saat itu baru bergabung di Kopkun, di bawah Unit Simpan-Pinjam (sekarang menjadi Manajer di KSP Kopkun). Saya minta agar yang bersangkutan bisa membantu mendampingi kelompok tukang becak itu. Proposalnya dua: pertama mereka menjadi anggota Kopkun dan kedua agar mereka punya penghasilan dari sumber lain.


Yang pertama sudah dijalankan dan relatif mudah. Yang kedua prosesnya panjang dan hasilkan banyak pembelajaran. Pada yang kedua ini, Sdr. Aef kita minta terlibat sebagai relawan/ volunteer. Kita diskusi bersama dan tercetus kenapa tidak mereka dikonversi ke jasa kebersihan.


Ide itu tercetus sebab saya ingat Kopkun Institute punya vacuum cleaner yang menganggur. Tak banyak waktu, lalu dimulailah percobaan itu. Brand dibuat: Pedi Help & Cleaning. Pedi diambil dari kata “Pedicab”, yang artinya “tukang becak”. Help & Cleaning adalah sektor bisnisnya: jasa perbantuan dan kebersihan. Inilah eksperimentasi koperasi pekerja (worker coop) pertama yang kami lakukan bersama teman-teman di Purwokerto.


Dibawah pengelolaan Sdr. Aef, Pedi berproses. Sempat juga direportase oleh beberapa media karena dianggap unik dan menarik. Di lapangan mereka punya masalah, sulitnya mengoordinasi pekerjaan sebab si tukang becak terpisah-pisah, tak satu pangkalan. Solusinya: mereka butuh dibekali ponsel, dengan nomor dan pulsa Rp. 5.000/ bulan. 


Saya lempar gagasan ke Pak Subiakto, Mantan Menteri Koperasi dan beliau beri dukungan material. Sebagian dibelikan ponsel, kalau tak salah 10 buah, sebagian perlengkapan kebersihan dan pendukung lainnya. Pedi berjalan, orderan masuk, meski belum banyak. 


Sdr. Aef mengelola dengan baik. Membagi tugas, melatih, mendampingi juga memasarkan Pedi. Beberapa konsumen puas, beberapa komplain. Saya pikir itu wajar dalam bisnis, apalagi itu hal baru bagi kami semua. 


Membuat Pedi Solution

Pedi Help & Cleaning tetap berjalan, lalu saya dan teman yang lain: Sdri. Anis, Sdr. Fajar, Sdr. Aef dan Sdr. Mulkan punya ide pengembangan lebih lanjut. Kita sebut sebagai Pedi Solution, yaitu aplikasi yang menghubungkan pengguna dengan aneka jasa yang dibutuhkan. Mulai dari kebersihan, pertukangan, penginapan, antrian dan macam-macam lainnya.


Saat membuat aplikasi itu, kami belum paham cara kerja startup. Yang kami lihat adalah ini soal bikin aplikasi. Jadi kami bekerjasama dengan salah satu vendor teknologi di Purwokerto. Proses itu dimulai dengan serangkaian rapat, perencanaan dan seterusnya. Kami pikir akan cepat jadinya, sehingga secara simultan kami menyiapkan mitra, SOP dan lain sebagainya. Termasuk mencetak kaos “Pedi Solution” berwarna orange, yang sering saya pakai itu.


Ternyata tak semudah itu. Vendor mungkin sibuk juga mengerjakan aplikasi yang lain sehingga aplikasi butuh waktu lama dan berlarut-larut. Itu kurang-lebih sampai enam bulan lamanya. Akhirnya saya dan teman-teman memutuskan untuk mengakhiri kerjasama dengan vendor. Pedi Solution, gagal.


Sekali lagi, saat itu kami belum tahu apa itu startup dan bagaimana harus memulainya. Idealnya kami tak harus memulai dari banyak fitur, melainkan dengan Minimum Viable Product (MVP) terlebih dahulu. Fitur-fitur lain bisa dikembangkan secara berkelanjutan.


Di sisi lain, apa yang kami, atau saya, refleksikan adalah sulit membuat startup bilamana kita tak memiliki talenta sendiri. Dalam hal itu talenta yang dibutuhkan adalah hacker atau bagian teknologinya. Sedang kami tergolong hustler, bagian bisnis-manajemen dan hipster, bagian desain-pemasaran. Singkatnya, saya menyimpulkan bahwa kita butuh semua talenta itu. lalu caranya bagaimana?


Membuat InnoCircle Initiative

Kegagalan Pedi Solution membuat kami memiliki momentum untuk melompat. Dari awalnya berpikir “membuat satu karya/ startup”, berubah membuat “lembaga inkubator”. Saat itu saya pikir inilah kuncinya mengumpulkan dan mengolabarasi talenta kreatif. Dalam tempo sesingkat-singkatnya, malam itu, di grup WA Kopkun Institute kita proklamirkan kelahiran lembaga baru “InnoCircle Initiative”.


Tekad itu diperkuat setelah saya membaca bukunya Rhenald Kasali, The Great Shifting. Di sana Prof. Rhenald menggambarkan bagaimana perusahaan beradaptasi di zaman disruptif ini. Caranya dengan bekerja “menggunakan dua tangan” atau istilahnya “ambidextrous”. Satu tangan bekerja untuk mengoptimasi bisnis eksisting dan satunya mengeksplorasi peluang-peluang baru di masa depan. 


Prof. Renald jabarkan itu dari teorinya Vijay Govindarajan, the three box solution. Menurut saya itu pas dengan pendekatan Kopkun Institute, yang pada awalnya telah mengembangkan layanan konsultansi bisnis dan manajemen, yang diresmikan sebagai PT. Kolaborasi Prakarsa Unggul. Di satunya lagi yakni lembaga inovasi dan inkubasi bisnis, yang diresmikan sebagai PT. InnoCircle Initiative.


Sejak saat itu InnoCircle beraktivitas secara organik dan mencari bentuk. Sdr. Anis yang menjadi pemimpinnya. Mulai tahun 2018 kami mempelajari, by doing, apa itu lembaga inkubator. Dengan modal nekat kami deklarasikan diri sebagai lembaga inkubator startup coop di Purwokerto. Berbagai event Kopdar diracik dan mulailah talenta itu berkumpul.


Medio 2018 kami mulai menginkubasi gelombang pertama dengan tiga tenant: Pedi Help & Cleaning, yang kemudian pivot dan berubah menjadi HomiPedia, lalu BookCircle, ini hasil venture building. Dan yang ketiga adalah Beceer, aplikasi belanja pasar tradisional, yang sekarang memiliki 15 ribu user dengan 8 mitra driver. Gelombang kedua, sekitar tahun 2019, InnoCircle menginkubasi sekitar 8 tenant, sebagian besar hasil venture building. Lalu pada 2020 ini menginkubasi 25 tenant bermitra dengan LPDB.


Menggandeng Investor

Tenant gelombang satu dan dua saat itu membutuhkan modal untuk validasi produk dan pasar. Di sini kami memperoleh dukungan investasi dari PT. Sakti Kinerja Kolaborasindo. Sakti ini merupakan perusahaan teknologi yang dimiliki dan diinvestasi oleh lebih dari 40 koperasi di Indonesia. Salah satunya Koperasi Kopkun.


Dari investasi awal Sakti itu, beberapa tenant mulai melakukan validasi. Sampai kemudian terjadi pandemi dan akhirnya sebagian besar statusnya postpone. Hanya satu yang masih bertahan, dan menemukan momentum tumbuh, yaitu Beceer.


Adanya angel investor ini juga merupakan anugerah besar, yang memungkinkan saya dan teman-teman melakukan serangkaian uji coba dan validasi. Bayangkan, Pak Endy Chandra, Direktur Sakti, memberi kepercayaan pada ide-ide bisnis yang belum pasti. Dan di situlah angel investor mengambil resiko besar.


Mensistematisir Startup Coop

Secara organik kami mulai mensistematisir apa itu startup coop, atau koperasi startup. Yang coba kami definisikan sebagai startup berbasis koperasi pekerja (worker coop). Konsep worker coop ini digunakan sebab kami pernah exercise Pedi Help & Cleaning sebagaimana di atas. Meski kemudian sembari waktu berjalan, saya merasa definisi itu belum mencukupi, sebab butuh spirit entrepreneurial besar dalam pengembangannya. Boleh jadi yang lebih tepat startup coop itu didefinisikan sebagai koperasi entrepreneur.


Akhir tahun 2019 melalui ICCI kami berkesempatan untuk mempromosikan model ini ke beberapa provinsi di Indonesia. Bekerjasama dengan Kementerian Koperasi dan UKM kami membuat Startup Coop Camp di Jawa Tengah (Purwokerto), Yogyakarta, Bandung, Lampung dan Bali. Kami jaring dua peserta: dari koperasi mahasiswa dan dari pegiat startup. 


Ide itu ternyata bisa dipahami dan diterima oleh dua kelompok yang berbeda. Dari lima provinsi itu, di dua provinsi (Jawa Tengah/ Purwokerto dan Lampung) benih itu tumbuh lebih bagus di banding yang lain. Di Purwokerto tentu saja, karena kami memiliki InnoCircle. Di Lampung kami mendirikan satu lembaga inkubator, Siger Innovation Hub. 


Awalnya saya ragu, namun ternyata memperoleh respon positif dari para jejaring mentor di sana. Beberapa dosen IT mau terlibat menjadi mentor. Termasuk beberapa pengusaha muda di sana. Malah beberapa mentor siap menjadi investor pada startup yang diinkubasi oleh Siger. Itu anugerah yang luar biasa, bagaimana para mentor memiliki niat dan tekad yang kuat untuk mendukung gerakan ini.


Menjadi Gerakan Kembar

Sekarang startup coop telah menjadi brand atau konsep di Indonesia. Sebagian orang sudah mulai tahu dan paham konsepnya. Praktiknya secara organik mulai muncul di beberapa kota. Tak semuanya berhasil, memang. Namun berbagai kegagalan itu menjadi lesson learn bagi penyempurnaan konsep dan praktik pengembangannya di Indonesia.


Lalu memperoleh momentum ketika Platform Coop Consortium (PCC) membuat kursus online pertama di Indonesia. Sdr. Novita terlibat aktif dalam menyelenggarakan kursus itu bersama yang lain. Modelnya disebut sebagai Platform Coop yang ada titik kesamaan dan perbedaan dengan Startup Coop. Platform Coop ini berbasis multi pihak: producer dan user. Sedang Startup Coop berbasis satu pihak: entrepreneur dan worker saja, yang sama-sama sebagai: producer layanan.


Dalam pikiran saya, startup coop bisa konversi menjadi platform coop ketika secara bisnis sudah valid. Startup coop scaling up dengan cara menggandeng mitranya menjadi bagian dari pemilik perusahaan/ koperasi. Saat ini model yang paling mendekati platform coop adalah Warko di Banjarmasin. Secara visi mereka menghendaki agar para mitra: driver dan warung kelontong, bisa menjadi anggota pemiliknya.


Model itu akan proven dengan dukungan regulasi yang cukup, yakni legalitas untuk Koperasi Multi Pihak di Indonesia. Saat ini saya dan teman-teman lainnya sedang mengadvokasi ke Kementerian Koperasi dan UKM agar bisa membuat diskresi untuk Koperasi Multi Pihak. Tempo lalu saya menulis artikel di Kompas.com “Perlu Diskresi untuk Koperasi Multi Pihak”. Alhamdulillah Menteri Koperasi menyambut baik dan mengajak diskusi lebih serius.


Refleksi: Suatu Kontingensi

Richard Rorty, filsuf, menggambarkan bagaimana hidup ini penuh dengan peristiwa kebetulan (kontingensi). Tak ada yang linier sedari awal seperti digariskan nasib dari A ke Z begitu saja. Sebaliknya, di tengah-tengahnya banyak kebetulan-kebetulan yang terlibat.


Vacuum cleaner itu adalah salah satu kebetulan yang membuat evolusi ide itu bermula dan tumbuh. Vacuum cleaner itu seperti—meminjam judul film—sebuah flash of genius yang lahirkan sebuah penemuan tertentu. Boleh jadi, bila tak ada atau tak pernah ingat punya vacuum cleaner, Pedi Help & Cleaning tak lahir. Bila tiada Pedi Help, Pedi Solution juga tak lahir. Bila tak ada Pedi Solution, InnoCircle juga tak lahir. 


Meski kebetulan, kami, saya dan teman-teman, tetap berada dalam pathway ke arah sana. Misalnya, dalam rentang 2017-2019 itu kami selalu memamah semua buku-bukunya Prof. Rhenald. Ditambah kemudian buku-bukunya Yuval Noah Harari dan buku-buku dengan tematik sejenis. Sampai kemudian kami sengaja membaca buku-buku tentang startup, bisnis digital dan juga metode-metode teknisnya: design thinking, design sprint, BMC, lean canvas dan seterusnya.


Vacuum cleaner itu cuma seharga 1,2 juta rupiah. Namun momen flash of genius yang dihasilkan lebih dari ratusan juta bahkan milyar rupiah. Bagaimana sekarang anak-anak muda di Indonesia bisa membangun mimpi lain ketika bicara koperasi. Bagaimana imajinasi mereka mulai tumbuh untuk berpikir di luar kotak. Dan paling penting, bagaimana serial kegagalan demi kegagalan kami memberi pesan: coba lakukan saja! Seperti saat ini kami juga sedang dan masih melakukannya: menginkubasi dua startup coop: Doomu dan InnoGame sebagai hasil venture building.


Dalam berpraktik atau memulai, saya suka menyampaikan kutipan  dari filsuf dan sastrawan besar, Johann Wolfgang  von Goethe, “Whatever you can do or dream you can, begin it. Boldness has genius, power, and magic in it”. Dengan modal nekat atawa keberanian, saya dan teman-teman memulai, menyoba dengan serangkaian kegagalan, namun juga menemukan banyak berkah atau anugerah yang tak di sangka-sangka. Bagaimana ide itu diterima dan didukung oleh berbagai pihak. []




Share on Google Plus

About Firdaus Putra

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :