Makaryo, Myelin dan Anti Medioker

Saya suka istilah makaryo atau berkarya. Dalam penggunaannya di tradisi Jawa makaryo itu sama dengan bekerja. "Mangkat makaryo, lik?" Misalnya begitu ketika satu orang berpapasan dengan yang lain di pagi hari.

Namun makaryo ini memiliki makna yang lebih dalam melampaui bekerja. Kedalaman makaryo terletak pada pemaknaan hasilnya: karya. Sedang bekerja hasilnya akhirnya adalah: gaji. Sehingga makaryo memiliki potensi progresif daripada bekerja.

Dalam makaryo orang atau manusia sedang mengejawantahkan dirinya melalui ritus pekerjaan tertentu. Dalam bekerja orang mengerjakan apa-apa yang sudah dikontrakkan kepadanya dengan sebaik-baiknya. Makaryo membawa makna spiritualitas bagaimana ejawantah itu memberi manfaat bagi banyak orang. Mengapa demikian?

***
Bila kita rujuk teori hirarki kebutuhan Maslow, yang dulunya tujuh kemudian diperbaharui menjadi delapan, puncaknya tak lain adalah transendensi. Ketika masih tujuh, puncak tertinggi dari kebutuhan manusia adalah aktualisasi diri. Namun Maslow revisi pandangannya.

Transendensi dalam koridor Maslow yang paling mudah dilihat adalah berbuat baik atau menolong orang lain. Orientasinya tak lagi pada pemenuhan diri (seperti self actualization), melainkan pada yang lain. Pada pihak yang berada di luar dirinya.

Hal itu merupakan laku spiritualitas yang imanen (membumi) bagaimana saban orang menimbang apa-apa yang dikerjakannya apakah masalahat bagi banyak orang atau sebaliknya. Tentu saja, dalam hirarki kebutuhan itu, kita masih memiliki kebutuhan-kebutuhan yang berorientasi pada pemenuhan diri (ego/ self).

Spiritualitas makaryo yang begitu seturut dengan diktum proses pengejawantahan diri manusia. Dalam posisi puncaknya, manusia tak lagi berkebutuhan akan sesuatu untuk dirinya. Melainkan bagaimana ia mengaktualkan potensi-potensi dirinya sehingga manfaati bagi banyak orang. Ejawantah diri yang demikian mirip dengan klaim Islam, "Manusia menjadi khalifah di bumi".

***
Khalifah adalah figur pemimpin. Spiritualitas makaryo adalah spiritualitas pemimpin, yang transformatif. Yakni bagaimana merubah apa-apa yang kurang menjadi lebih baik. Yang baik menjadi lebih baik lagi. Seorang pemimpin atau leader akan bicara soal "apa yang benar", bukan sekedar "mengerjakan dengan benar". Di sana ia memiliki, dalam istilah Rhenald Kasali, self-driving.

Self driving yakni kemampuan untuk mengarakan dirinya sendiri mau bagaimana. Tentu saja kemampuan itu diawali dengan insight atau pandangan. Maka leader harus memiliki pandangan tertentu. Orang bilang, harus punya idealisme. Yaitu tentang apa-apa yang dianggap ideal, soal apa-apa yang pantas dan harus diperjuangkan.

Karakteristik self driving itu lahir dari laku panjang. Pada mulanya pemimpin adalah orang yang dipimpin. Pemimpin lahir dari bawah kemudian merangkak naik ke atas. Karena ia lahir dari bawah, ia dapat memahami praktika detail. Bukan hanya teori, melainkan suatu myelin, yakni sebuah pengetahuan-keterampilan-mental yang menubuh dan satu padu dalam dirinya.

Myelin itu adalah selubung pada syaraf pusat manusia. Makin sering kita lakukan aktivitas, myelin semakin tebal. Apa sebab? Karena pekerjaan-pekerjaan itu terekam di sana. Misalnya bermain musik, melukis, berbicara, memasak, olah raga, memahat, mengelola organisasi/ perusahaan dan lain sebagainya.

Itu sebab seorang koki bisa masak dengan baik. Namun dengan buku resep (teori) yang sama, orang lain belum tentu bisa melakukannya. Ada kualitas myelin yang berbeda hasil dari pengalaman panjang trial-error ratusan bahkan ribuan kali.

Kualitas seperti itu harus diraih dengan tangan sendiri. Tak bisa kita hanya mendengar kisah sukses seseorang, yang pasti di dalamnya juga menyajikan kisah kegagalannya, lalu membuat kita menjadi sukses. Sukses dan kegagalan itu harus benar-benar dialaminya secara langsung.

Teori parenting memahami itu dengan baik. Misalnya saja, anak harus merasakan bagaimana jatuh. Dia harus merasakan bagaimana rasanya sedih, keinginannya ditolak, menunggu untuk mendapatkan sesuatu, kekecewaan saat tak sesuai harapannya, kegagalan dalam aktivitas tertentu, dan lain sebagainya. Hal-hal itu harus dialaminya langsung sebagai sebuah pengalaman yang akan menjadi myelin bagi dirinya.

***
Oleh sebab makaryo memiliki karakteristik transenden dan self driving, yang keduanya sama-sama karakter seorang pemimpin, maka makaryo selalu berorientasi pada karya terbaik. Karena ia memiliki insight, memiliki idealisme, memiliki ancangan ideal. Maka ia akan selalu berorientasi pada hasil terbaik.

Memberikan karya atau hasil terbaik ini adalah budaya harus dikembangkan di negeri ini. Pasalnya sebagian besar anak bangsa ini hidup dan menghidupi budaya medioker. Apa itu medioker? Yakni ketika yang bersangkutan mengerjakan asal jadi, asal selesai, asal sesuai job des-nya. Mental seperti itu banyak kita jumpai baik di pemerintahan maupun swasta.

Medioker itu seperti kanker. Ia tak langsung membunuh "daya saing" atau kualitas bangsa. Namun pelan, tapi pasti, ia akan membuat bangsa ini menjadi bangsa sekedarnya. Sebagian yang lain menuding karena sedikitnya upah atau besar-kecilnya gaji. Namun sesungguhnya bukan itu, melainkan soal mentalitas dan mindset.

Saya punya dua kisah yang membuat saya kagum. Suatu ketika saya hendak urus SMS Banking yang error. Saya datangi bank BUMN tertentu. Kemudian oleh Customer Care saya disilakan dan ditanya masalahnya. Karena tak membawa KTP, saat itu hanya membawa buku tabungan saja, saya diminta ambil dulu. Awalnya berat hati, namun kemudian saya ambil KTP saya.

Kemudian saya dilayani membetulkan SMS Banking di ponsel saya. Di akhir dia bertanya, "Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?" Saya bilang, apa bisa sekalian ganti kartu ATM. Tempo lalu hilang dan sudah saya blokir. Dengan sigap ia berikan formulir penggantian kartu baru. Selesai.

Dia kemudian bertanya lagi, "Ada yang lain, Pak?". Nah, kartu CC saya juga alami hal yang sama, hilang kemudian saya blokir. Lalu dia meminta pindah meja layanan untuk call kan bagian CC di Kantor Pusat Jakarta. Tersambung dan kemudian saya sampaikan. Menunggu seminggu, sekarang saya sudah pegang kartu CC yang baru.

Selepas urus CC saya, dia bertanya lagi, "Ada yang lain, Pak?" Saya jadi ingat bahwa Internet Banking saya keblokir gegara lupa password lebih dari tiga kali. Dia pun melayani kembali. Saat melayani itu, saya melihat papan reklame layanan terpasang di belakangnya. Isinya tentang layanan financial technology terbaru dari bank itu. Iseng saya bertanya soal itu.

Kemudian dia jelaskan dan mendorong saya install dan aplikasikan. Lalu saya install langsung dan daftarkan diri. Selesai, dia masih bertanya, "Ada yang lain, Pak?" Saya bilang cukup dan saya sampaikan puas.

Bagaimana saya tidak puas, dalam tempo 30-40 menit itu dia melayani lima hal untuk saya: SMS Banking, Kartu Debit Baru, Kartu CC Baru, Internet Banking dan Aplikasi Fintech. Padahal awal mulanya saya hanya ingin betulkan SMS Banking saja. Itulah mental makaryo yang telah tersistem dan membudaya di bank itu.

Bagaimana mengajukan pertanyaan, "Apakah ada yang lain lagi, Pak?" Membuat nasabahnya terpuaskan. Padahal, bila ia sungka, ia cukup bilang, "Ini SMS Bankingnya sudah selesai, Pak. Lain kali kalau ada apa-apa, silahkan datang kembali. Terimakasih, Pak". Bila ditutup begitu saja, saya pun sudah puas, karena masalah utama sudah selesai. Sehingga di momen itu saya merasakan kepuasan yang berlipat-lipat.

***
Kisah kedua adalah teman dan kolega saya di kantor. Karir terakhirnya sampai menjadi manajer area pemasaran untuk Jawa dan Kalimantan. Tentu saja, itu capaian luar biasa. Soal salary, jangan ditanya. Ditambah dengan kewenangannya sebagai manajer pemasaran, ia banyak lakukan perjalanan luar kota dan tentu saja hosting tamu di sana-sini. Dari segi kesejahteraan, tentu sejahtera.

Saya menjajagi yang bersangkutan ketika ia kembangkan warung kecil di perumahannya. Yang menarik, warung itu dimiliki oleh RT dan dikelola bergiliran oleh ibu-ibu PKK. Berbekal dari pesangonnya, ia modali warung komunitas itu. Sampai sekarang masih berdiri.

Saya tertarik dengan idenya dan menjajagi untuk kerjasama. Kerjasama itu awalnya saya bayangkan sebagai proses pemdampingan atau hanya kerjasama kedua belah pihak. Namun kemudian dia memutuskan resign dari kantornya dan memutuskan bekerja bersama saya.

Saat itu saya sampaikan bahwa salary yang diterima tentu tak akan sebesar di kantor sebelumnya. Ia menyanggupi. Alasan yang dia ajukan saat itu dua hal: pertama adalah ingin membangun ekonomi lokal sektor ritel yang hari ini dikuasai waralaba besar. Kedua adalah ingin kumpul dengan keluarga. Yang kedua ini saya agak ragukan, karena selepas bekerja dengan saya, ia pun sering ke luar kota karena banyak proyek kami di luar kota.

Jadi, dari dua alasan itu yang paling men-drive dirinya sebenarnya adalah alasan pertama. Bagaimana ia, sesunggunya, masih memiliki idealisme. Yaitu soal nilai-nilai yang dianggap ideal/ benar/ luhur dan tentu saja pantas diperjuangkan.

Hampir setahun kami bekerja bareng dan saya tanyakan kepuasannya. Dia jawab puas, meski salary tidak sebesar dulu. Padahal, proyek-proyek pendampingan yang kami lakukan membutuhkan effort detail yang luar biasa. Yang kadang meminta dia lembur berhari-hari. Dia bilang, "Saya puas meski dapatnya hanya "receh". Tapi ketemu dengan teman-teman mitra dan mereka benar-benar merasakan manfaat dari pendampingan serta pelatihan (lembaga ini), itu sangat membahagiakan", begitu ungkapnya.

***
Dua kisah di atas adalah ihwal bagaimana spirit makaryo yang berujung pada kerja secara total. Tak ada dalam kamus bekerja serampangan, asal-asalan atau medioker. Targetnya tetap memberikan yang terbaik atau exellent. Meskipun boleh jadi di lapangan bisa mleset. Namun keyakinan memberikan yang terbaik itu adalah api yang terus menyala-nyala.

Beberapa hari lalu teman saya itu bilang, "Dos, kita nampaknya harus membuat prototype warung seperti yang dilakukan oleh Si A. Saya sudah nanya orang yang bisa buat dan investasinya tidak besar. Paling di angka 12 juta", usulnya.

Itu membuktikan bagaimana spirit makaryo mendorong orang untuk berinovasi. Mental inovasi adalah mental self driving. Ia tahu apa-apa yang harus diperbuat dan tahu bahwa membuatnya dengan cara serta langkah terbaik.

Kedua kisah itu sama-sama memperlihatkan bagaimana makaryo berorientasi pada manfaat bagi banyak orang lain, bukan dirinya. Kisah CS yang pertama adalah memberikan layanan prima pada saya sebagai nasabah. Kisah yang kedua adalah idealismenya soal membangun jaringan warung di masyarakat. Yang pertama telah menjadi sistem dan budaya kerja, yang kedua adalah self driving dari aktor perubahan. []
Share on Google Plus

About Firdaus Putra

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 comments :

Unknown mengatakan...

👍🏻👍🏻👍🏻