Membangun Perubahan yang Imanen

Oleh: Firdaus Putra, HC.

Apakah kita, sebagai subyek atau aktor perubahan, harus mengetahui dan memahami semua masalah sosial beragam sektor? Sebutlah masalah Hak Azasi Manusia (HAM), konflik agraria, masalah kapitalisme global, korupsi, penegakan hukum dan lain sebagainya. Apakah kita harus concern atau peduli dan memedulikan semua masalah bangsa ini? 

Saya lebih setuju untuk membangun sikap yang imanen atau membumi, meski terbatas, pada masalah/ isu yang benar-benar kita hadapi dan hidupi. Kita mengakui keterbatasan pikiran, energi, waktu dalam melakukan pengorganisasian sosial. Di sisi lain kita menginsyafi bahwa di ruang lain ada aktor lain yang melakukan secara lebih sungguh-sungguh hal tersebut. Ada beberapa hal yang menurut saya imanensi itu lebih tepat daripada sebuah kesadaran yang transenden atau "melangit"

Kehidupan Aktor
Setiap aktor sosial hidup dan menghidupi konteks tertentu. Aktor sosial tidak lahir tiba-tiba dari ruang kampus, misalnya. Sebaliknya, aktor sosial berangkat dari konteks kehidupannya sehari-hari. Misalnya, kesadaran seorang petani yang memperjuangkan isu agraria dan pertanian bukanlah hasil membaca buku, melainkan hasil dialektika kesehariannya. Aksi sosial yang dilakukannya bukan "atas nama" petani (yang kita sebut sebagai "representasi"), melainkan masalah yang ia hadapi langsung (yang kita sebut sebagai "presentasi").

Ketika seorang aktor melakukan presentasi dengan memperjuangkan hal-ihwal kehidupannya, aktor memiliki kapasitas mental, pengetahuan dan keterampilan yang cukup pada masalah tersebut. Ia tak perlu mengutip berbagai pendapat orang untuk mengatakan bahwa "seharusnya demikian" dan bukannya yang lain, karena ia langsung mengalaminya. Karena mengalaminya langsung, ia juga memiliki energi tak terbatas untuk memperjuangkannya. Bukan sebab bahwa hal itu harus atau pantas diperjuangkan, melainkan dengan memperjuangkan hal itu, kehidupannya atau masyarakatnya akan berubah. 

Sebaliknya, representasi, yang terjemah bebasnya adalah "mewakili" memiliki keterbatasan langsung. Pertama bahwa aktor tak memiliki pemahaman dan perasaan yang mendalam terkait masalah tertentu. Yang terjadi adalah aktor melakukan sesuatu karena dorongan nilai tertentu. Misalnya: nilai tentang kebaikan bagi masyarakat/ bangsa, nilai tentang perjuangan kemanusiaan dan nilai-nilai lainnya. Atau bahkan nilai yang bias pribadi: popularitas, pengakuan, tepuk tangan dan lainnya. Sehingga dalam representasi, aktor tidak musti "menjadi korban" langsung. Ia hanya sedang "mewakili suara korban" dan memperjuangkan nasibnya. 

Klaim "memperjuangkan nasib orang lain" itu dikenali sebagai nilai altruis yang luhur. Pendekatan representasi ini contoh nyatanya dilakukan para pekerja sosial di lembaga-lembaga swadaya. Mereka bekerja atau dipekerjakan untuk memedulikan nasib orang lain, bukan dirinya sendiri. Sayangnya, menurut saya, representasi memiliki beberapa bias.  

Bias Representasi
Aktor sosial yang memperjuangkan nasib komunitas/ orang lain dengan kesadaran representasi itu memiliki bias di beberapa hal. Pertama, bias perspektif, bahwa boleh jadi apa yang direpresentasikan oleh aktor tersebut berbeda dengan apa yang dialami, dirasakan langsung oleh komunitas. Bagaimanapun aktor melakukan tafsir terhadap masalah sosial dan kemudian melakukan analisis untuk kemudian melakukan advokasi. Bias perspektif ini bisa sangat mungkin terjadi karena aktor tidak memahami dan mengalami sebagai pengalaman dan praktik keseharian sebagaimana komunitas lokal. 

Bisa sekali terjadi aktor mendefinisikan relasi para pemangku kepentingan secara keliru daripada yang dipahami oleh komunitas lokal. Contoh misalnya aktor mendefisinikan pejabat daerah/ desa tertentu sebagai "musuh" karena dalam pengandaian bawah sadarnya, masalah itu selalu hasil dari kebijakan yang tidak tepat. Sebaliknya, komunitas lokal membutuhkan dukungan pejabat daerah/ desa ketika membangun suatu agenda sosial, misalnya ketika mengorganisasi sumberdaya melalui koperasi atau BUMDes.

Kedua, bias politik. Perspektif tertentu kemudian menurun pada pilihan politik perubahan yang digunakan. Aktor yang melakukan representasi boleh jadi memilih politik yang berbeda dengan yang dimaui oleh komunitas lokal. Yang terjadi adalah aktor cenderung mengarahkan politik komunitas lokal alih-alih mengamplifikasi atau memperkuat kemauan komunitas. Untuk mengurangi bias itu, biasanya para aktivis sosial (external activator) melakukan live in panjang terlebih dulu untuk mengenali dan memahami padangan dan sikap politik komunitas. Tentu hal itu butuh kesungguhan dengan waktu, sumberdaya dan energi yang tidak sedikit.

Bias politik ini akan terlihat sekali dari pilihan strategi serta taktik yang digunakan dalam pengembangan atau pengorganisasian komunitas lokal. Misalnya bagaimana aktor mendudukkan para pemangku kepentingan suatu komunitas: pejabat desa, pemimpin informal serta pihak-pihak lainnya. Juga bagaimana aktor memahami dinamika serta kapasitas komunitas lokal. Analoginya, apakah sekarang saat yang tepat untuk konflik langsung atau konflik laten sembari menyiapkan semua pra-syaratnya. Strategi yang tepat dapat diukur dari sejauh apa hal tersebut produktif bagi perkembangan komunitas. Apakah menambah sumber daya (politik, finansial, organisasi, pengetahuan-keterampilan, dll) komunitas atau justru sebaliknya: kontra-produktif.

Sindrom Transendensi
Di bagian ini saya ingin menunjukkan gejala atau sindrom transendensi, yang dalam pendekatannya cenderung menggunakan nalar representasi, yang terjadi di berbagai ruang. Yang sangat mudah dilihat misalnya dari kecenderungan aktivis mahasiswa. Transendensi dan representasi itu muncul bahkan secara verbal "atas nama atau demi rakyat" di setiap orasinya. 

Hal itu mudah dipahami karena mahasiswa mengalami atau memiliki "kesadaran kritis" cenderung dari doktrin-doktrin abstrak. Misalnya setelah membaca buku seri perubahan sosial, diskusi dengan rekannya, menonton berita di televisi, membaca media online dan lain sebagainya. Biasanya titik tembaknya pada hal yang besar-besar itu, masalah makro itu. Sebutlah tentang kemiskinan, yang kadang yang bersangkutan malah dari kelas menengah; Masalah nasib petani, isu HAM, kekerasan perempuan, konflik agraria dan lain sebagainya. 

Ditambah secara alamiah/ usia, seorang mahasiswa memang sedang dalam proses mencari jati diri. Doktrin nilai yang adiluhung itu membuatnya silau dan menuntun langkahnya ke sana. Biasanya ia akan mudah mengatakan "seharusnya A, seharusnya B, seharusnya C" dan seterusnya, namun gagap ketika ditanya bagaimana caranya. Kata "seharusnya" itu menunjukkan bahwa kesadaran kritisnya masih berada pada fase transendental atau "melangit". Kita bisa memakluminya sejauh melihatnya sebagai proses awal inisiasi kesadaran. 

Namun tak hanya mahasiswa yang mengalami sindrom ini, para aktivis pasca kampus pun bisa mengalaminya. Mereka biasanya adalah orang-orang yang tidak secara langsung melakukan pengorganisasian komunitas. Mereka biasanya adalah orang yang "merasa peduli" terhadap isu tertentu dan ingin berbuat sesuatu untuk menyelesaikannya. Biasanya mereka bekerja pada bidang tertentu, namun membangun aktivisme sosialnya di bidang lain, yang kadang tak secara langsung berhubungan. Mereka ini seperti dermawan sosial yang tak memberikan uangnya, melainkan energi dan pikirannya. Orang seperti ini bisa lompat dari satu isu ke isu lain dengan mudah. Sebab, ia tak secara langsung menghidupi masalah tersebut. 

Selain itu kita juga bisa melihat bagaimana transendensi terlihat pada kritik yang dibangunnya. Kritik seorang transenden biasanya dilakukan secara universal-general tanpa melihat konteks hal itu terjadi. Misalnya bagaimana suatu hal dengan mudahnya ia nyatakan salah/ keliru tanpa melihat proses panjang ketika hal itu terjadi. Ia menyatakan keliru/ salah dengan batu bata nilai/ ukuran tertentu. Yang seringkali nilai/ ukuran itu adalah nilai yang sifatnya universal atau general. 

Gejala transendensi seperti itu juga sering dialami generasi milenial. Banyak generasi milenial, desa atau kota, tiba-tiba merasa perlu peduli terhadap sesuatu karena paparan informasi di media sosial. Boleh jadi yang bersangkutan sama sekali tak memahami duduk masalahnya, namun secara sepintas lalu, ia nilai bahwa hal itu perlu diperjuangkan karena: sesuai nilai kemanusiaan, kebaikan bangsa dan seterusnya. Secara ironis biasanya disebut sebagai "aktivisme", yaitu suatu tindakan yang terlihat heroik meski yang bersangkutan tak benar-benar memahami pokok masalahnya. Seperti laiknya mahasiswa hal itupun bisa kita maklumi sejauh yang bersangkutan sedang berproses.

Selain di atas, transendensi juga sering dialami oleh sebagian "aktivis kiri" yang mengalami atau memiliki kesadaran kritis karena membaca "buku-buku kiri". Kesadaran itu ia peroleh dari teks atau teori secara deduktif alih-alih pengalaman langsung secara induktif. Biasanya mereka jago melakukan analisis situasi sosial dengan teori-teori tertentu, menetapkan statusnya, namun gagap dalam mengorganisasi komunitas. Debatnya adalah apakah suatu kondisi sesuai dengan teori tertentu atau tidak alih-alih bagaimana mengubahnya melalui serangkaian tahap dan praktik panjang. 

Imanensi Perubahan
Apa yang saya usulkan melalui esai ini adalah bagaimana seorang aktor sosial membangun perubahannya secara imanen daripada transenden; Tentu saja melakukannya secara presentatif daripada representatif; Memperjuangkan atau mengadvokasi masalah yang dihidupinya langsung daripada memperjuangkan masalah komunitas lain; Membangun keterlibatan di komunitasnya dalam detail-detail praktik daripada khotbah tentang perubahan di atas bukit.

Imanensi atau sikap yang membumi seperti itu menyaratkan kesabaran, ketelatenan, keuletan, kegigihan karena durasinya bisa panjang. Tak cukup satu dua tahun, bisa puluhan tahun. Imanensi perubahan itu membutuhkan kemahiran dalam mengorganisasi komunitas sesuai dinamikanya dan dari dalam, bukannya dari luar, terlibat secara langsung mengubahnya. Aktor yang imanen seperti itu biasanya hidup dan bekerja di desa itu, di komunitas itu. Karenanya, ia memiliki atau mengalami kesadaran kritis bukan karena membaca buku/ teori, melainkan karena bergumul setiap hari dengan masalah itu.

Aktor yang demikian kita sebut sebagai local champion atau tokoh pembaharu lokal. Para local champion itu tidak bekerja sebagai orang luar yang masuk ke dalam komunitas/ sektor tertentu. Melainkan sedari awal ia lahir dan tumbuh bersama dalam komunitas/ sektor tersebut. Meminjam frasa Karl Popper, ia sedang mengerjakan piecemeal social engineering, yakni rekayasa sosial yang dilakukan sedikit demi sedikit. Proses perubahannya terjadi secara inkremental atau sedikit demi sedikit dan dalam waktu yang lama.

Sehingga imanensi membutuhkan tak hanya militansi atau heroisme belaka, namun yang tak kalah penting adalah daya tahan (endurance). Sebabnya, meminjam istilah Dr. Yossy Hizkia, para aktor itu tengah melakukan "perlawanan harian". Apa yang dikerjakannya, bahkan pekerjaannya itu, adalah ikhtiar untuk membangun suatu komunitas yang lebih mandiri, adil, sejahtera dan ideal-ideal lainnya. Karenanya imanensi yang begitu membutuhkan strategi dan taktik yang jangka panjang dengan mempertimbankan berbagai variabel. Analoginya seperti seorang petani yang menyiapkan dari awal tanah, benih, menanam, merawat sampai kemudian memanennya. Bukan seorang cowboy, yang datang ketika terjadi kejahatan, lalu pergi setelah usai memberondongkan pelurunya.

Imanensi itu pada praktik kesehariannya nampak tak heroik. Local champion akan berurusan dengan serangkaian perencanaan, agenda program, pengorganisasian orang dan tindakan serta hal-hal teknis-detail lainnya. Karena terlihat nampak tak heroik, kadang luput dari lampu sorot dan tepuk tangan di atas panggung. Sebab, ia sedang bekerja untuk mengubah kondisi, bukan khotbah tentang perubahan. Sumber inspirasi perubahan itu bukan "yang jauh di luar sana", tetapi "yang dekat dengan dirinya". Ia menyelami detail masalah komunitasnya dan dengan berbagai upaya terlibat mengubahnya.

Pada gilirannya apa yang sakral pada isu sosial bukanlah "siapa yang menjadi korban" dan "siapa yang menjadi pahlawan", melainkan sejauh apa isu sosial itu mempengaruhi komunitasnya. Sehingga local champion merupakan para "korban" (dalam definisi konservatif) sekaligus para "penyintas/ survivor" yang tak diam mengeluh dan mengutuk masalah, melainkan bekerja mengubahnya. Dalam cara pandang tersebut hubungan antara aktor sosial dengan komunitas bersifat setara. Ia bukan Sang Pahlawan dari langit, melainkan seperti cacing yang berada di dalam dan menyuburkan tanah itu. Ia adalah pahlawan dengan "p" kecil yang melakukan serangkaian kerja-kerja kecil namun berdampak besar bagi komunitasnya serta berjangka panjang.

Sampai kemudian perubahan di satu komunitas menjadi inspirasi dan direplikasi di komunitas lain. Di sanlah perubahan itu akan menemukan skala yang lebih luas dengan dampak yang lebih besar. Sehingga para local champion perlu membangun model yang tepat serta proven agar bisa diadaptasi oleh yang lain. Ia tak perlu mengkhotbahkan ke orang lain, sebaliknya, orang lain akan berdatangan untuk mendengarkan kisah pengorganisasian yang dia lakukan. []
Share on Google Plus

About Firdaus Putra

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :