Oleh: Firdaus Putra, HC.
Tulisan ini merupakan tanggapan untuk “Menyoal Makna Better Banyumas” yang terbit 4 Mei 2015 di harian SatelitPost. Meski saya bagian dari tim, tentu tulisan ini tak bisa dirujuk sebagai pikiran Tim City Branding Banyumas. Sejauh-jauhnya, pokok pikiran tulisan ini hanya menggambarkan pendapat pribadi saya.
Tulisan ini merupakan tanggapan untuk “Menyoal Makna Better Banyumas” yang terbit 4 Mei 2015 di harian SatelitPost. Meski saya bagian dari tim, tentu tulisan ini tak bisa dirujuk sebagai pikiran Tim City Branding Banyumas. Sejauh-jauhnya, pokok pikiran tulisan ini hanya menggambarkan pendapat pribadi saya.
Ada empat pokok pikiran yang disampikain Sdr. Arief Dwi
Kusuma dalam tulisannya hari lalu. Pertama terkait dengan penggunaan kata asing
sebagai moto; Kedua penggunaan kata “better” yang dirasa nanggung karena
masih ada kata “best”; Ketiga wow effect yang dirasa tak
muncul dari kata “better”; Terakhir, soal identitas dan kearifan lokal
Banyumas. Dalam tulisan ini saya akan menanggapinya secara umum dan mengalir.
Identitas dan Bahasa
Saya termasuk orang yang sepakat dengan pandangan bahwa
identitas merupakan sesuatu yang cair, menjadi terus-menerus dan organis sesuai
denyut nadi masyarakat. Identitas masyarakat tak bisa kita ringkus dan patenkan
dalam kerangkeng tertentu. Sebaliknya ia justru senantiasa dalam proses menjadi
yang tak pernah usai (unfinished being).
Identitas adalah paduan kelampauan dan kekinian. Keduanya
saling menyulam bak untaian benang DNA. Tentu, keduanya saling mengisi dan
memberi warna. Dalam cara pandang seperti ini klaim masa lalu adalah “yang
asli” dan masa sekarang adalah “bikin-bikinan” tak perlu ada.
Identitas yang terus menjadi itu mewujud misalnya dalam
penyerapan bahasa asing di Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang
relatif banyak menyerap kata-kata asing. Mulai dari serapan kata dari bahasa
Belanda, Inggris, Arab, Tamil, Sansekerta dan lainnya. Kata-kata itu diserap
sedemikian rupa sehingga membuat bahasa Indonesia menjadi kian kaya.
Dalam laku serap atau pinjam kata itu, alhasil kita jadi
akrab dengan: komputer, internet, telepon dan ribuan kata lainnya. Selain
diserap, kadang juga kita gunakan secara langsung dalam keseharian.
Sebutlah: charger, smartphone, power bank, low battery dan
seterusnya. Dalam serap atau pinjam kata alasannya lebih sederhana: belum ada
padan katanya di bahasa Indonesia. Sedang untuk penggunaan langsung alasannya
bisa bermacam-macam.
Atau boleh jadi karena unsur estetis. Yang mana perlu kita
ingat “kata” tak sekedar susunan huruf, namun juga terkandung pesan dan kesan
di dalamnya. Misalnya dalam promosi rafting atau arung jeram
kita pernah dengar Serayu Riverside. Tentu akan berasa beda
meski dengan makna yang sama bila ditulis dengan “Pinggir Sungai Serayu”.
Tak juga menutup kemungkinan penggunaan bahasa Inggris
secara langsung untuk memperoleh wow effect. Kita sering
dengar penggunaan “mart” untuk memberi asosiasi toko yang moderen, yang berbeda
dengan warung kelontong biasa.
Berbagai motif penggunaan bahasa asing itu menjadi sah bila
kita bangun perspektif besar bahwa identitas merupakan sesuatu yang terus
menjadi tanpa usai. Dan secara etis, tak akan sama sekali mengurangi rasa
keindonesiaan kita saat menggunakannya.
Bisa jadi itulah yang melatari Soekarno yang tanpa beban
menaburi pidato-pidatonya dengan ratusan kutipan Belanda atau Inggris. Yang
boleh jadi sikap itu berasal dari cara pandangnya yang kokoh tentang
internasionalisme. Mari kita ingat mutiara pikirannya, “Internasionalisme
tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme.
Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya
internasionalisme”. Ia gambarkan dengan indah bagaimana
nasionalisme tak akan hidup subur di luar taman sari internasionalisme; Sebuah
nasionalisme yang menolak chauvinisme apalagi pada xenofobia.
Laku Organis
Dalam suatu lokakarya Bengkel Kerja Budaya tahun 2004 di
Yogyakarta, saya pernah angkat “Pudarnya Bahasa Banyumasan di Generasi
Muda”. Pokok pikirannya adalah penggunaan bahasa Indonesia yang
“mengalahkan” bahasa daerah. Dan secara simplistik saya tuding kampus sebagai
penyebabnya.
Tudingan itu dimentahkan seorang narasumber. Dengan
perspektif seperti yang terurai di awal, tesis “kekalahan” itu gagal. Katanya,
dalam menggunakan bahasa, masyarakat memiliki insting dan kearifan yang
mencukupi. Misalnya saja, anak-anak muda tetap akan menggunakan bahasa Banyumas
di lingkungan keluarga. Mereka akan gunakan bahasa Indonesia saat di lingkungan
sekolah atau kampus. Boleh jadi saatnongkrong atau bersosmed ria mereka
akan gunakan bahasa alay. Dan akan berbeda ketika mereka
bertegur sapa dengan para sepuh.
Praktik keseharian itu mencerminkan bagaimana laku
kebudayaan (dalam konteks ini bahasa) berjalan secara organis. Ia bagian dari
hidup yang sebenar-benarnya sehingga sulit atau bahkan mustahil untuk
dipatenkan. Justru hal itu menggambarkan bagaimana kearifan lokal, sampai batas
tertentu, dapat menerima unsur-unsur yang baru.
Berbagai mozaik praktika itu sama sekali tak akan mengurangi
substansi atau inti pokok kemanusiaan, keindonesiaan atau bahkan kebanyumasan.
Inti pokok itu akan selalu menyelimuti segala ihwal dengan cara yang demikian
rupa: halus sampai kasat mata. Sebagai contoh Malaysia, India,
Filipina yang bahkan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, sama
sekali tak berkurang identitasnya sebagai orang Malaysia, Filipina dan India.
Bahkan di sisi lain justru jadi kelebihan, sebutlah saat menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN.
Rajutan Semiotis
Logo dan moto merupakan rajutan semiotis tanda yang berujung
pada makna besar tertentu. “Better Banyumas” adalah rajutan
semiotis tentang pengharapan Banyumas menjadi lebih baik. Kata “better” sendiri
memiliki cabang makna ikhtiar yang terus-menerus dilakukan untuk menjadi lebih
baik (improve). Boleh jadi energi itulah yang ingin disemai ke seluruh
unsur: aparat pemerintah, masyarakat, pelaku usaha dan seterunya.
Efek bombastis atau wow effect tentu saja
tak bisa kita tautkan pada kata “better” semata. Namun makna
besar “better” itulah yang memberi kesan extra
ordinary atau luar biasa. Sebagai contoh city brand Kediri
dengan “Kediri Lagi” tak bisa kita mutilasi kata “lagi” berdiri sendiri. Wow
effect—lagi-lagi kita gunakan bahasa Inggris—lahir dengan merajut keduanya
dan ditambah logogram-nya.
“Better” dengan menyandingkannya pada “Banyumas”
menjadi doa besar kita semua. Doa dan ikhtiar agar layanan publik di Banyumas
menjadi lebih baik; Doa dan ikhtiar agar pariwisata menjadi lebih baik; Doa dan
ikhtiar agar ekonomi kreatif berkembang pesat; Doa dan ikhtiar agar waktu
kunjung wisatawan makin panjang; Doa dan ikhtiar agar perizinan makin cepat,
transparan dan murah; Doa dan ikhtiar agar ragam seni budaya Banyumas terus
lestari; Doa dan ikhtiar agar Angka Kematian Ibu (AKI) saat melahirkan makin
rendah; Doa dan ikhtiar agar lapangan kerja makin luas; Doa dan ikhtiar agar
ruang terbuka hijau makin banyak dan seterusnya, dan seterusnya.
Menariknya, seluruh doa dan ikhtiar di banyak sektor
kehidupan itu terangkum hanya dalam satu kata: “better”. Mungkin
itulah yang membuat rajutan kata dan yel-yel “Better Banyumas” memiliki
daya magis dan bombastis saat diteriakkan. Ia merangkum segala ihwal kebaikan,
kecanggihan, kecepatan dan berbagai kesempurnaan kehidupan. Yang semua itu tak
perlu membuat Banyumas menjadi terbaik (best) dengan membandingkannya
pada daerah lain. Cukuplah ia terus menerus mawas diri dan terus memperbaiki
diri agar warganya bahagia dan sehat sentosa.
Ikhtiar Tanpa Usai
Dalam agenda besar city branding, logo dan moto
hanya merupakan salah satu bagian saja. Ikhtiar selanjutnya justru baru dimulai
pasca logo dan moto baru diluncurkan. Agenda besar itu tersusun dari
serangkaian ikhtiar kecil tanpa usai.
Dalam cara seperti ini city branding bisa
menjadi momentum bersama untuk menata dan memperbaiki; Menambal dan
meningkatkan; Menggandeng dan merayakan; Membuat dan mempromosikan; Menyerap
dan mengerahkan seluruh sumber daya dan berbagai stakeholder untuk
berjamaah dalam doa dan ikhtiar.
Tentu Pemerintah Kabupaten Banyumas dituntut lebih
proaktif agar—meminjam istilah M. Arief Budiman, pakar city branding—suara
azan itu dapat memanggil dan menggerakkan semuanya. Kerja keras dan cerdas
Pemerintah Kabupaten Banyumas akan diukur apakah di tahun mendatang
kinerjanya better atau tidak. Bila masih sama, still
good, itu belum cukup; Karena Better Banyumas mengandaikan peningkatan
terus menerus dari satu anak tangga ke anak tangga berikutnya.
Tanpa bermaksud menyederhanakan, konkretnya di tahun
mendatang Pemerintah Kabupaten Banyumas harus dapat menyajikan statistik
kinerja berbagai sektor dengan indikator: still good, not
better, dan better. Dengan cara seperti ini
pula “better” menjadi membumi dan operasional. “Better” akan
menjadi kata yang dinanti masyarakat. Dan “better” akan
menjadi kata yang terus diikhtiarkan oleh semuanya.
Dalam terang seperti itulah kita mungkin bisa memaknai “Better
Banyumas”. Semoga! (*)
0 comments :
Posting Komentar