
Kritik untuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Oleh: Firdaus Putra A.
I
Tulisan ini berangkat dari keprihatinan terhadap kebuntuan epistem yang hinggap pada kader-kader KAMMI khususnya di wilayah Purwokerto. Sudut pandang tulisan ini sebagai out sider yang mencoba memotret kecenderungan para kader yang melakukan proses dialektika di land scape pemberdayaan mahasiswa atau ‘politik kampus’. Tulisan ini berangkat dari pengamatan secara langsung terhadap kader. Bisa jadi tulisan ini mereduksi kenyataan. Untuk itu, di beberapa bagian akan memuat perbincangan spontan dengan salah satu kader KAMMI.
Sebagai gerakan mahasiswa, KAMMI merupakan salah satu organisasi yang sampai hari ini masih diakui berjaya. Tidak hanya secara kuantitatif, terkait dengan banyaknya jumlah kader, tetapi juga pada titik kualitas. Beberapa kader KAMMI selalu menonjol dalam artian memiliki posisi kunci di dalam kampus. Dan hal ini juga tidak bisa dilepaskan dari arahan strategis KAMMI yakni structural oriented (berorientasi kepada pengusaan struktur pemerintahan mahasiswa di setiap fakultas atau kampus, bahkan universitas). Kecenderungan semacam ini tidak hanya terjadi di kampus UNSOED. Juga ditemukan di universitas- universitas lain. Di tahun 2004, penulis menyaksikan paparan dari beberapa mahasiswa lintas universitas, dan sebagian besar menunjuk kepada KAMMI sebagai organisasi mahasiswa yang eksis dan hampir menguasai seluruh struktur pemerintahan atau lembaga mahasiswa. Pada titik ini, tidak salah jika kita memberikan apresiasi yang tulus serta mendalam terhadap KAMMI sebagai kesatuan gerakan mahasiswa yang terarah.
Lebih dari tiga tahun penulis turut berproses di dalam agenda-agenda ‘politik kampus’. Jadi penulis juga sering menjumpai, melihat bahkan terlibat ‘konflik’ secara langsung dengan para kadernya atau KAMMI secara kelembagaan. Apa yang penulis temukan sebenarnya temuan umum yang juga dipotret oleh gerakan mahasiswa yang lain. atau juga oleh beberapa mahasiswa yang tidak mengafiliasikan diri pada gerakan tertentu.
Potretan ini menyangkut sistem berpikir para kader yang cenderung monolitik. Artinya, para kader, sebagian besar, mempunyai tipologi pemikiran yang relatif sama. Bahkan di beberapa kegiatan, para kader nampak memainkan setting untuk menggiring forum ke arah apa yang dituju oleh mereka. Dalam suatu pergulatan ide, hal ini tentu saja kurang sehat. Bahkan bisa dikatakan sebagai kemandulan berpikir.
Pertama, penulis menginsyafi bahwa KAMMI sebagai gerakan mahasiswa mempunyai arahan ideologi tertentu. Sebagai anggota atau kader, maka idealnya mengikuti arahan ideologi organisasi. Ini merupakan keniscayaan sebagai bentuk loyalitas terhadap organisasi.
Kedua, penulis ingin membedakan dua term mendasar yang akan digunakan sebagai pisau analisis tulisan ini, pertama ‘dunia sistem’ dan kedua ‘dunia kehidupan’. Perangkat ini penulis pinjam dari Habermas dan Teori Tindakan Komunikasi. ‘Dunia sistem’, secara mudah dapat kita definisikan sebagai sebuah dunia di mana kita merupakan bagian dari sebuah sistem yang saling jalin menjalin. Logika yang ada di dalam dunia sistem adalah rasionalitas instrumental. Yakni, sebuah nalar yang berangkat dari tujuan dan cara-cara tertentu untuk mewujudkan tujuan tersebut. Karena terarah, maka tindakan yang terwujud di dalam dunia sistem merupakan tindakan yang sudah terencana secara rasional dengan memperhitungkan cost dan benefit-nya.
Sedangkan dunia kehidupan menunjuk kepada dunia di mana kita sebagai entitas sosial dapat bertindak dengan bebas atau spontan secara alamiah. Dunia kehidupan ini bernalar rasional komunikatif. Artinya, suatu entitas tidak berangkat dari sebuah perhitungan cost dan benefit yang terencana melainkan berangkat dari proses dialektika spontan yang terjadi di kehidupan. Entitas dalam dunia kehidupan lebih menunjuk kepada individu sebagai bagian riil dari suatu komunitas, kelompok dan sebagainya.
II
Pada potret pergulatan ide, KAMMI sebagai salah satu gerakan mahasiswa merupakan entitas yang hidup di dalam dunia sistem. KAMMI teridentifikasi melalui hubungannya dengan lembaga-lembaga lain, misal; PMII, HMI, IMM dan sebagainya. Sebagai gerakan yang solid, KAMMI harus mempunyai arahan ideologi, tujuan strategis dan seterusnya yang sudah direncanakan sedemikian rupa. Artinya, dalam dunia sistem, semua organisasi berangkat dari sebuah value yang harus diperjuangkan di tengah-tengah value organisasi-organisasi lain. Sifat hubungan mereka lebih politis daripada komunikatif.
Sedangkan sebagai kader KAMMI, individu mempunyai value yang perlu dikomunikasikan dengan value-value lain. Sifat value ini bukan paripurna. Melainkan sebatas pegangan bagi individu yang nota benenya kader untuk bertindak dalam kesehariannya. Proses ‘tawar-menawar’ dalam dunia kehidupan terjadi sedemikian longgar. Berbeda dengan ‘tawar-menawar’ yang ada di dunia sistem. Individu atau kader merupakan entitas yang pada titik tertentu bebas mengartikulasikan segala gagasan-gagasannya tanpa harus terbayang-bayangi dengan arahan strategis organisasi.
Praktik yang terjadi di lapangan berbeda dengan deskripsi ideal dua paragraf di atas. Di lapangan, para kader KAMMI tidak bisa membedakan mana dunia sistem dan mana dunia kehidupan. Yang ada para kader justru memaksakan logika dunia sistem di dalam dunia kehidupan. Rasionalitas instrumental sebagai penanda dunia sistem, mereka gunakan di dalam dunia kehidupan. Alhasil, tindakan mereka sangat instrumentalis dan akhirnya komunikasi menjadi mandeg.
Secara sederhana, dalam sebuah diskusi, kader KAMII berangkat dari sebuah kesimpulan nilai tertentu untuk diperjuangkan. Padahal, seharusnya semua nilai direlatifkan. Tidak berangkat dari kesimpulan dan berujung pada kesimpulan, melainkan berangkat dari eksplorasi dan berujung pada kesimpulan setelah melalui proses yang panjang. Jika para kader berangkat dari rasionalitas komunikatif ketika menghadapi suatu diskusi, maka pandangan-pandangan mereka akan relatif lebih fleksibel dan tidak memaksakan kehendak. Setting forum dalam rangka mengarahkan pembicaraan ke arah yang mereka tuju merupakan hal yang tidak seharusnya ada. Karena di dalam dunia kehidupan mereka sepatutnya bertindak sefenomenologis mungkin atau sealamiah mungkin. Nilai yang mereka dapatkan dari organisasi (KAMMI) hanya bersifat pegangan, bukan sebuah tujuan yang harus diperjuangkan secara membabi-buta.
Kecenderungan ini berbeda dengan kader dari organisasi lain, misal PMII, HMI dan sebagainya. Ketika berada dalam dunia kehidupan, antarkader satu bendera pun dapat saling mengkonfrontasikan gagasan atau idenya tanpa harus mengekor satu dengan lainnya. Sedangkan kader KAMMI, sering penulis jumpai jika satu kader sudah menyatakan ‘A’, maka kader lain cenderung akan mengekor, meskipun dengan lenggak-lenggok yang lain. Tetapi, tetap berujung pada pernyataan ‘A’. Tidak ada perbenturan ide yang mencolok antarkader di dalam dunia kehidupan. Mereka lebih nampak sebagai makmum dari suatu ide yang digulirkan oleh kader tertentu, khususnya para figur gerakannya.
III
Kecenderungan semacam ini terjadi tidak hanya pada satu atau dua kader, melainkan sebagian besar. Hanya sebagian kecil saja yang dapat merelatifkan gagasan atau idenya dan berdialektika dalam dunia kehidupan secara spontan atau alamiah. Maka pertanyaan yang pantas untuk diajukan adalah bagaimana sebenarnya sistem pengkaderan di dalam KAMMI sehingga para kadernya cenderung berpikir monolitik?
Jawaban sepintas penulis temukan ketika berdiskusi dengan salah satu kader KAMMI, yakni Sdr. Khoirurrizqo. Pengkaderan dalam KAMMI tidak berbeda jauh dengan gerakan mahasiswa yang lain. Hanya saja, dalam pengkaderan tahap awal, biasanya kader akan diberikan referensi gagasan yang sudah ditentukan, misal; Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Anwar Jundi dan sebagainya. Biasanya kader menemukan referensi lain, yang sifatnya suplemen dan di luar tradisi KAMMI secara individual.
Sdr. Khoirurrizqo juga mengakui bahwa KAMMI mengidap kemandulan pemikiran. Pergulatan ide tidak terjadi seliar atau sebebas seperti yang terjadi ada PMII, HMI atau gerakan mahasiswa yang lain. Menurutnya, ini lebih disebabkan oleh arahan KAMMI Pusat (Jakarta) yang sangat dominatif. Dia juga menceritakan bagaimana KAMMI wilayah Makasar ketika melakukan advokasi buruh justru mendapat kritik atau peringatan keras dari KAMMI Pusat. Padahal, menurut Sdr. Khoirurrizqo, advokasi buruh secara esensial merupakan praksis perjuangan yang juga sangat islami.
Selain itu, Sdr. Khoirurrizqo juga menyatakan bahwa KAMMI terlalu berorientasi kepada struktur atau penguasaan pemerintahan mahasiswa. Sehingga mereka sedikit mempunyai jaringan kerja dengan lembaga-lembaga lain yang sifatnya multikultural. Menurutnya, kecenderungan ini berbeda dengan KAMMI yang ada di wilayah Yogyakarta. KAMMI di Yogyakarta yang cukup membasis, mereka juga sering melakukan diskusi dengan Insist atau lembaga-lembaga pengkajian yang lain. Sehingga pada sistem berpikir dan gagasan pun berbeda dengan KAMMI Purwokerto, apalagi Jakarta.
Ketika penulis menanyakan kenapa kader KAMMI cenderung berpikir monolitik dan makmuman, secara apologetis Sdr. Khoirurrizqo menyatakan bahwa inilah perbedaan Kesatuan dengan Himpunan, Pergerakan atau lainnya. Meskipun demikian, penulis rasa jawaban Sdr. Khoirurrizqo bukan sebuah jawaban yang serius atau prinsipil. Lebih merupakan permakluman atau mungkin dalam kerangka bercanda.
IV
Jika persoalan mendasar kebuntuan pemikiran pada masalah pengkaderan, maka persoalan ini menyangkut masalah yang sangat mendasar, yakni epistemologis. Penulis memprediksikan bahwa kader-kader KAMMI sedikit yang mampu melintasi batas (passing over) ideologinya. Konkretnya, sedikit kader-kader KAMMI yang membaca dan memahami referensi dari sudut pandang lain, misal Marx, Althusser, Foucault, Arkoun, Hanafi, Iqbal, atau para cendekiawan tanah air.
Persoalan ini lebih disebabkan oleh aprioritas ideologis daripada ketaktersediaan referensi. Aprioritas ideologis penulis prediksi bermula dari pengkaderan tahap awal. Entah disengaja atau tidak, mengarahkan pada referensi ide tertentu menjadikan kader menolak ide-ide yang lain. Penulis khawatir jika hal ini disengaja, artinya ada proses negasi ide-ide lain yang dianggap akan meracuni pemikiran kader. Jika proses ini disengaja, maka kemandulan pemikiran merupakan bias dari otoritas atau kuasa wacana yang dijalankan oleh KAMMI secara kelembagaan.
Penulis sering menjumpai kader HMI, PMII, IMM yang paham betul dengan beebrapa pemikir di atas untuk kemudian menggunakannya sebagai pisau analisis. Tetapi, jarang bahkan nyaris tidak ada penulis jumpai kader KAMMI yang meminjam pisau analisis dari pemikir lain, selain Banna, Quthb, Jundi dan sebagainya.
Penulis sangat khawatir jika hal ini berangkat dari eksklusivitas pemikiran yang menghukumi bahwa pemikir-pemikir tersebut bukan berasal dari Islam. Dan lebih jauh lagi berasal dari Barat yang harus dijauhi. Padahal, dalam kajian pemikiran Islam, turats (warisan) sebenarnya milik orang lain, yakni para pendahulu. Sedangkan pemikiran Barat juga milik orang lain. kedua-duanya milik orang lain, bukan milik kita sendiri. Sehingga membuang kedua-duanya adalah sangat naif. Sedangkan menggunakan kedua-duanya secara tidak kritis sangatlah berbahaya. Seharusnya, kita harus bijak dalam menghadapi kedua-duanya. Tidak menolak dan menerimanya mentah-mentah.
Penulis melihat kecenderungan semacam ini berangkat dari asumsi bahwa Islam telah menyediakan segala sesuatunya dengan lengkap atau komprehensif. Padalah untuk mengaksesnya, dibutuhkan pisau analisis yang tidak sederhana. Pada titik ini, meminjam pisau analisis tradisi lain menurut hemat penulis bukanlah suatu hal yang ‘haram’ dan kemudian kita menjadi ‘murtad’ dari ke-Islam-an atau ke-KAMMI-an kita. Coba kita ingat, bahwa kejayaan Islam di mana Abbasiyah dengan proyek rasionalismenya tidak bisa dipisahkan dari peradaban yang lain, yakni filsafat Yunani.
Para ulama atau pemikir klasik tidak segan-segan meminjam pisau bedah filsafat yang tajam. Sejarah ini terekam dengan baik dalam kitab-kitab kuning masa klasik Islam. Kejayaan Islam tidak berangkat dari proses menutup diri, melainkan membuka diri dengan sikap kritis. Kemunduran, jika kita ingat, justru disebabkan oleh serangan al-Ghozali—tanpa mengurangi rasa takzim kepada beliau—yang melarang umat Islam mempelajari filsafat. Di tangan al-Ghozali, Islam lebih nampak dengan kesejukannya yang melipur lara umat akibat tragedi politik. Selain pada squel waktu ulama klasik, kita juga harus membaca secara kritis bagaimana para sahabat awal (khususnya masa Umar ibn Khotob dan Abu Bakar) melakukan banyak terobosan (ijtihad) terkait dengan penyelesaian masalah umat.
KAMMI seharusnya mampu membaca sejarah (siroh) masa awal Islam secara kritis. Tidak hanya membaca dengan penuh keketakjuban atau terjebak pada romantisisme masa lalu. KAMMI seharusnya mampu melakukan proses pembacaan masa lalu dengan visi ke-akan-an.
V
Seperti yang penulis singgung di awal, bahwa tulisan ini berangkat dari keprihatinan yang mendalam terhadap kader-kader atau KAMMI secara kelembagaan. Penulis melihat KAMMI mempunyai potensi yang luar biasa. Hanya saja potensi tersebut belum tergali dengan optimal. Justru yang ada, jika logika pengkaderan KAMMI kita paralelkan dengan sistem manufaktur pendidikan, maka KAMMI tak ubahnya pabrik yang sedang memproduksi kader-kader yang mempunyai militansi besar, namun rendah dalam kapasitas pemikiran.
Sebagai out sider penulis prihatin, karena para kader KAMMI merupakan manusia yang mempunyai potensi kemanusiaan yang luar biasa. Hanya saja, ketika masuk ke dalam KAMMI mereka semakin kerdil, menutup diri, dan apriori terhadap ide-ide lain tanpa melalui proses pemahaman yang utuh.
Kritikan ini semoga menjadi umpan balik bagi KAMMI. Tidak dalam rangka menjatuhkan, melainkan membangun. Toh, pada dasarnya kita sama-sama dalam rangka ber-fastabiqul khoirot. Tidak ada salahnya jika kita saling berbagi pengalaman, juga berbagi pengetahuan.
Yang jelas, KAMMI secepat mungkin melakukan proses evaluasi di dalam kurikulum pengkaderan. Karena pada titik itulah masalah kemandulan pemikiran berasal. Tentu saja hal ini harus dimulai dengan sikap keterbukaan, kejujuran untuk mengakui bahwa pandangan KAMMI pun sama relatifnya dengan pandangan gerakan lain, pun penulis. Menginsyafi kerelatifan artinya membuka peluang untuk terus-menerus mencari atau mendekati kebenaran.
Setelah Tuhan berfirman, dan firman-Nya sudah terkodifikasi di alam mushaf. Maka sudah tidak ada lagi kebenaran yang sifatnya mutlak. Di tangan para mufassir, ulama, dan sebagainya kebenaran menjadi relatif. Proses di dunia adalah proses mencari dan selalu mencari kebenaran mutlak milik-Nya.
Jika kita menyatakan sudah menemukan kebenaran mutlak-Nya, maka sejatinya kita tengah memproklamirkan masa tutup buku. Final. Tidak ada lagi yang perlu kita lakukan kecuali taqlid. Dan taqlid merupakan salah satu kejumudan umat. Islam mampu berjaya hanya dengan terobosan-terobosan (ijtihad) yang kreatif.
Semoga kader atau KAMMI dapat mengambil manfaat dari tulisan ini. Atas kekurangannya, penulis minta maaf. Wallahu a’lam bishshowab. []
3 comments :
Hai Mas, posting panjang juga ya? pantesan bisa keterima sebagai salah satu peserta lomba review situs belajar menulis dot com. Sedikit komentar biar nyambung, semua organisasi yang dibahas itu koq kayanya cuma NATO aja ya? C'mmon, sekarang sudah gak jaman lagi 'unjuk rasa', ini masanya untuk 'unjuk karya'. Jangan ngaku aktivis kalo cuma bisa umbar mulut doang. Gimana? Pedes toh? :)
Salam,
Ecko
Wah sama mas dengan kekhawatiran saya. Walaupun pada beberapa titik ada yang sedikit berbeda dengan saya. Seperti pada pendapat mas tentang Ghozali.
Mas kayanya asyik kalau mas berdiskusi dengan anak-anak Komunitas Nuun yang berpahit getir berhadapan dengan para kader KAMMI di Jakarta.
Saya menunggu dialektika mas dengan Komunitas Nuun. Kayaknya bakalan hangat.
Mereka ada di blog komunitas-nuun.blogspot.com/
bismillah.
saya selaku bukan kader KAMMI bahkan under Bow nya..
bukan...
saya berbicara disni sebagai seorang pengamat dinamika kampus yang sungguhluar biasa..
setelah membaca tulisan anda..
sepertinya anda belum mengamati KAMMI secara keseluruhan..
model makmum yang anda bicarakan..bisa saya katakan penafsiran yang kurang sempurna..
kalau anda pernah ikut KAMMI..meski saya belum pernah...
tapi saya tau pasti ..insyaAllah..
bukan memakai prinsip makmum atau hanya mengekor...
kalaupun anda mau mengamati lebihlanjut..dan mau bertindak objektif artinya hasil pengamatan anda bisa dipertanggungjawabkan..
saya mengamati bahakn juga pernah ikut andil dalam kancah perpolitikan kampus...kalau anada bisa total..
inSyaAllah anda juga akan bisa mengambil pelajaran lebih banayk lagi..
Umi peduli dinamika kampus..
email:mie_brenz@yahoo.com
Posting Komentar