
Oleh: Firdaus Putra A.
Musibah atau bencana terjadi ketika alam menunjukan gelagat yang berakibat buruk bagi manusia. Sudut pandang demikian memang sangat antroposentris. Manusia merupakan penentu apa itu musibah atau bencana dan apa yang bukan. Padahal, alam mempunyai siklus khasnya sendiri. Lempengan bumi tiap sepersekian tahun akan bergeser, demikian juga iklim dan sebagainya. Lantas bagaimana kita harus mensikapi bencana alam yang silih berganti singgah di negeri ini?
Ketika bencana terjadi, manusia serta-merta menyalahkan alam. Hal ini sudah menjadi kebiasaan sejak dulu kala. Kebiasaan ekstrospeksi, menilai apa-apa yang berada di luar dirinya. Manusia menjadi kurang bisa introspeksi atau mawas diri. Kebiasaan ekstrospeksi merupakan panjang tangan dari sudut pandang yang antroposentris tadi.
Sudut pandang antroposentris tidak ubahnya memposisikan alam sebagai budaknya. Alam dikuras sedemikian rupa, dieksploitasi, ditambang, digunduli dan seterusnya. Alam dianggap semata-mata sebagai alat pemuas kebutuhan manusia. Padahal, alam mempunyai cara hidupnya yang khas, juga mempunyai cara adaptasi atas perlakukan manusia yang khas pula. Akhirnya, bencana datang sebagai peringatan kepada manusia karena melewati ambang batas toleransi kehidupan. Alam marah!
Pandangan yang memusatkan alam sebagai sesuatu yang dinamis, harmonis, hari ini sama sekali kurang populer. Ketika ada bencana alam, maka langkah yang diambil bagaimana menghadapinya dengan berbagai kecanggihan teknologi manusia. Sebagai upaya praktis jangka pendek hal itu memang benar. Namun, seringkali kita melupakan visi jangka panjang bahwa seharusnya kita bersikap preventif dengan sikap hidup yang harmonis antara manusia-alam.
Tengoklah kearifan masyarakat lokal. Mereka menggauli alam lingkungannya sebagaimana bergaul dengan sesama. Dan seakan-akan mereka mampu berbicara langsung dengan alam. Menangkap pesan alam, tentang apa yang diinginkannya. Ekosentrisme sedemikian terajut. Manusia-alam menjadi satu.
Lantas apa atau siapa yang perlu kita rubah? Nampaknya merubah alam sama sekali bukan pilihan yang bijak. Merubah atau memperbaiki alam dengan berbagai rekayasa teknologi merupakan cermin keangkuhan kita. Keangkuhan seorang Tuan kepada budaknya. Alam sudah terlalu banyak menerima aturan dari manusia. Ia sudah bosan dengan banyak aturan.
Pilihan yang bijak adalah bagaimana manusia yang berubah diri. Menyelaraskan sikap hidupnya dengan alam. Mau mengerti apa keinginan alam. Insyafilah bahwa hari ini manusia sudah kelewat batas. Untuk kemudian mau beradaptasi dengan cara hidup alam yang dinamis dan berubah-ubah.
Konkretnya, kita harus kembali menghidupkan kearifan-kearifan lokal dari masyarakat yang bervisi ekosentris. Pada sisi lain, kita harus mulai mengikis syahwat kerakusan kita. Mengurangi eksploitasi, penggundulan, penambangan yang sifatnya berlebihan. Memakai produk dari alam dengan cara sehemat mungkin agar proses eksploitasi baru tidak terjadi dalam skala besar-besaran dan dalam waktu yang cepat.
Harmonisme hubungan antara manusia-alam merupakan visi kehidupan yang sangat beradab. Memaksakan kehendak manusia terhadap alam, hanya akan menjadikan alam marah; lihatlah banjir bandang di Karawang, longsor di Malang, gelombang pasang di Kuta, dan kita sama-sama tidak tahu kemarahan apa lagi yang akan terjadi? Semoga jangan!
0 comments :
Posting Komentar