
Oleh: Firdaus Putra A.
Suatu tempok saya melintasi jalan raya Kab. Purbalingga. Di satu perempatan jalan saya melihat monumen sejarah dalam bentuk patung Jenderal Soedirman. Patung itu berdiri, setengah membungkuk. Tangan kanannya memegang tongkat. Sedang tangan kirinya memegang teropong. Di sela-sela ikat pinggangnya membujur dari kanan ke kiri satu pucuk keris.
Saat itu saya berada di dalam bus, jurusan Purwokerto. Tidak ada hasrat untuk berhenti, turun untuk menanyakan kenapa monumen patung tersebut seperti itu? Atau lebih tepatnya, harus seperti itu? Sampai sekarang pun saya tak pernah menanyakan hal ihwal patung tersebut ke teman saya yang asli Purbalingga. Atau berusaha mencarinya di situs daerah, nasional pun internasional.
Hanya saja sampai sekarang saya masih mereka-reka, kenapa harus seperti itu? Tongkat di tangan kanan, teropong di kiri dan keris menyelip di pinggangnya? Saya mencoba meraba makna yang sedang disuguhkan oleh sikreator, bisa jadi Bupati atau Pemda Purbalingga.
Menurut saya patung dengan pose semacam itu mengandung makna yang dalam dan sangat canggih. Canggih dalam kerangka paradigma berpikir ke depan. Tongkat saya maknai sebagai simbol dari pegangan. Dan lebih spesifik, jika kita ingat sejarah masa lalu, wali-wali, sunan atau ulama sepuh sering memakai tongkat untuk berjalan. Jadi, tongkat saya maknai sebagai sebuah pegangan nilai agama atau kepercayaan yang mengarahkan langkah Jenderal Soedirman dalam berjuang.
Sedangkan teropong menurut saya merupakan simbolisme dari teknologi. Mari kita ingat, di dalam teropong terdapat sebuah teknologi yang sederhana tetapi mendasar, yani prisma segitiga dan dua buah lensa. Prisma berfungsi membelokan cahaya atau imej, sedangkan lensa berfungsi untuk membesarkan atau mengecilkan imej yang diindera. Intinya, teropong mewakili pemanfaatan teknologi bagi perjuangan.
Ikon terakhir yakni senjata keris. Kita tahu keris merupakan senjata tradisional suku Jawa. Dalam konteks ini saya maknai bukan pada fungsinya sebagai senjata, melainkan keris merupakan produk budaya. Dan budaya terdefinisikan sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Lebih umum lagi saya maknai sebagai local wisdom atau kearifan lokal, yakni masyarakat Jawa.
Tiga ikon di atas menurut saya merupakan permainan simbol yang luar biasa. Jika kita kontekstualisasikan pada masa sekarang, maka patung Jenderal Soedirman merupakan figur atau ideal type perjuangan masyarakat Purbalingga (juga Banyumas). Perjuangan dalam makna terbarunya yakni pembangunan daerah.
Kontekstualisasi makna patung di atas menurut saya mengarah pada visi pembangunan yang tidak bisa dilepaskan dari tiga nilai dasar; pertama, pembangunan seyogyanya memperhatikan nilai agama atau kepercayaan. Tentunya sangat mudah untuk dipahami, mengingat masyarakat kita termasuk masyarakat beragama. Sedangkan tongkat ujungnya selalu menancap ke tanah. Artinya nilai-nilai agama atau kepercayaan tersebut harus membumi pada konteks riil kemasyarakatan. Sebuah pemahaman tentang nilai keagamaan yang tidak melangit, berpihak kepada kemanusiaan dan produktif bagi kemasyarakatan.
Selain berdasar pada nilai agama yang membumi, pembangunan akan maju dengan memanfaatkan teknologi. Sebuah proses mengarungi modernitas yang menuntut kecepatan dan percepatan. Dengan teropong kita dapat melihat sesuatu yang jauh di sana menjadi dekat. Teknologi melipat ruang dan waktu. Dan pembangunan akan menjadi lebih efektif dan efisien.
Pemanfaatan teknologi dalam pembangunan seyogyanya tidak kebablasan. Rem yang dapat mengontrolnya yakni keris atau kearifan lokal. Meskipun teknologi telah melipat ruang dan waktu, dampak dari pelipatan itu tentunya dapat diimbangi dengan menggali atau nguri-uri kembali kearifan lokal masyarakat. Pembangunan tidak hanya bertumpu kepada penggunaan teknologi yang jor-joran, tetapi juga dapat harmoni dengan alam.
Visi yang saya temukan dalam patung itu merupakan visi post-tradisionalisme. Sebuah visi di mana kita tidak semata mengandalkan teknologi atau sinis kepada teknologi. Melainkan kita mampu mensinergikan antara teknologi, kearifan lokal dan mentransendensikannya kepada nilai agama atau kepercayaan.
Tidak sepenuhnya modern. Juga tidak seluruhnya tradisional. Jika kita ingat satu maqolah, “Mengambil dari hal baru yang baik, dan tidak meninggalkan dari hal lama yang baik”. Visi ini merupakan sebentuk adaptasi unik dalam rangka menjaga eksistensi masyarakat di tengah gempuran modernitas. Tidak sepenuhnya takluk pada modernitas. Dan tidak juga sepenuhnya tunduk pada tradisionalitas dan religiusitas.
Jika benar rabaan saya, maka sang kreator merupakan sosok yang arif lagi bijak. Minimalnya kreator sudah melakukan refleksi terhadap zaman. Dan lebih dari itu, meramalkan kemungkinan kebutuhan di masa depan. Sebuah pandangan yang sunggu visioner.
Patung Jenderal Soedirman di Purbalingga dengan pose dan ikonnya menurut saya dibangun bukan tanpa kesengajaan. Tetapi melalui perencanaan yang matang dan pandangan yang mendalam. Artinya semua itu bukan kebetulan atau iseng semata.
Buktinya, kenapa patung itu tidak dibangun, misalkan telunjuk tangan kanan menunjuk ke depan ke arah angin tertentu. Sedangkan yang kiri memegang werangka keris. Posisi kaki seperti berlari atau berjalan cepat. Pose seperti ini nampak seperti memberi komando untuk maju ke depan.
Pertanyaanya, dalam hidupnya Jenderal Soedirman tentunya memiliki banyak ‘pose’ pada setiap kegiatan atau tempat yang berbeda. Tetapi kenapa yang muncul adalah keris, tongkat dan teropong? Bukan yang lain? []
0 comments :
Posting Komentar