Refleksi Pesta Akhir Tahun


Oleh: Firdos Putra A.

Tawangmangu, Karanganyar, Kuta, Bojonegoro, mengingatkanku pada tahun di mana gelombang Tsunami meluluhlantakkan Aceh. Memang Tsunami terjadi di bulan Desember, bulan penghujung tahun. Tapi dampaknya aku yakin belum pupus sampai awal tahun menjemput. Dan benar.

Sedangkan di kota lain, gemerlap kembang api, tiupan terompet mengawali tahun di mana negeri ini sebenarnya belum pantas untuk bersuka-cita. Aku tertegun, kenapa kita kurang peduli terhadap masyarakat lain yang masih menangis. Saat itu aku ingat, beberapa event acara, baik live maupun di televisi mengingatkan para penontonnya untuk jangan berlebihan.

Akhir tahun ini pun sama. Bencana menjadi catatan dalam kalender yang akan berganti. Aku rasa hampir sama seperti tahun di mana Tsunami terjadi. Satu masyarakat menangis, sedang yang lain berlebihan dalam bersuka-cita. Sama sekali toleransi, empati tidak mewujud di sebuah perayaan awal tahun.

Lihatlah para muda-mudi yang berpasang-pasangan memacu motornya melewati jalan protokol. Lihatlah pula muda-mudi yang asyik berjingkrak-jingkrak menikmati alunan musik di atas panggung. Lihatlah kepulan asap di sana-sini dari lubang knalpot ratusan motor. Lihatlah kemacetan, kegaduhan, kemeriahan, kesorak-soraian, keceriaan, kengerian, ketaknyamanan yang campur-baur, menyatu dalam ritual akhir tahun.

Malam akhir tahun menghipnotis muda-mudi untuk keluar rumah. Memacu motor mereka ke arah pusat kota. Awal perjalanan mereka akan berhenti di sebuah pom bensin untuk mengisi tangki bensin yang menipis. Berbekal tangki bensin yang penuh, mereka dengan angkuhnya merajai setiap jalanan. Sampai pukul 00.00 WIB mereka akan berhenti, berkumpul di satu titik. Untuk meluangkan waktu sejenak, melaksanakan ritual sakral peniupan terompet dan penyelaan kembang api. Bagi yang kuat, mereka akan pulang selepas dini hari menyambut fajar. Sampai di rumah, tangki bensin hanya bersisa satu liter atau kurang.

Bayangkan, berapa ratus atau ribu liter bensin yang mengepul menjadi asap. Terbang ke langit dan menjadi sisa pembakaran yang membuat langit pekat. Berapa ratus atau juta rupiah malam itu perputaran uang di satu kota. Hanya dalam hitungan enam sampai delapan jam. Sebuah pesta yang sangat glamor. Para pesertanya harus bermodal dan berani membuang modalnya.

Bayangkan, berapa ratus atau ribu rupiahkan yang kita masukan ke dalam charity box untuk Tawangmangu atau Aceh tahun dulu. Atau mungkin sama sekali kita tidak mengalokasikan untuk kemalangan tersebut. Mengalokasikan sama dengan mengingat, dan mengingat hanya akan membawa rasa sedih yang merusak kegebyaran, kesukariaan pesta awal tahun. Atau mungkin salah.

Prosesi akhir tahun bagaikan hipnotis massal yang digelar untuk meyakinkan orang, bahwa memperingatinya merupakan pengalaman berharga tentang menjadi saksi peralihan tahun. Prosesi akhir tahun layaknya undangan massal, di mana setiap orang menghadirinya dengan niat bersuka-cita. Sedikit orang yang menjadikannya sebagai permulaan dari sebuah diary kehidupan yang bertulis, “Hari ini harus lebih baik dari kemarin. Dan hari esok harus lebih baik dari hari ini”. Atau mungkin catatan semacam itu sudah menjadi klise dan sama sekali tidak populer.

Aku pernah sesekali merayakan pesta akhir tahun di sebuah alun-alun di satu kota. Dan ternyata aku tidak bisa menikmatinya. Akhir tahun sama halnya dengan kemacetan yang aku jumpai di Jakarta, sama sekali tidak menyenangkan. Dan aku heran, kenapa masih banyak muda-mudi memenuhi undangan itu? []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :