
Oleh: Firdos Putra A.
Malam itu semua muda-mudi keluar dari rumah untuk memenuhi sebuah undangan pesta. Sebuah pesta melepas, menyobek atau mengganti kalender. Pesta itu digelar di sebuah lapangan, lapangan Mataram namanya. Posisinya di tengah-tengah kota. Meski bukan alun-alun, lapangan itu kini sudah sedemikian ramai. Tidak kalah dengan alun-alun kota.
Motor berjalan pelan. Klakson dinyalakan, membuat pekak telinga. Knalpot dimodif, agar mengeluarkan suara yang nyaris seperti knalpot rusak. Bunyi terompet juga tidak absen. Di sana-sini muncul suara. Benda-benda bersuara, juga dari atas panggung. Sound system besar meneruskan gelombang suara sampai beberapa ratus meter. Di bawahnya, banyak orang berjingkrak-jingkrak menikmati alunan musik. Berganti penyanyi, satu petasan besar disulut. “Duor ...!!!”. Perempuan berteriak. Laki-laki bersorak. Anak-anak terdengar menangis dari kejauhan.
Malam itu waktu menunjukan pukul 11.30. 30 menit lagi untuk menyambut awal tahun 2005. Tanpa dikomando semua motor bergegas menuju pusat lapangan. Beberapa jalan berbeda arah menjadi macet. Satu orang berpikir sama dengan yang lain, ingin saling mendahului untuk mendapatkan posisi strategis di depan panggung. Kemacetan bertambah, motor hanya melaju beberapa meter selama 20 menit. Semua orang seakan menjadi kalap, ingin cepat, ingin saling mendahului. Saling hardik pun terjadi. Satu pengendara dengan yang lain saling menyalahkan. Saling memerintah untuk berlekas-lekas. Klakson mereka pencet berturut-turut mirip peringatan untuk segera lari.
Di bebarapa ruas jalan menuju lapangan, tempat pesta waktu itu, kemacetan sama sekali tak tertolong. Sampai pukul 00.00, kemacetan juga belum kunjung mencair. Di tengah lapangan, suara MC menggema kuat. Menghitung mundur dari angka sepuluh. Dan akhirnya, sesaat sepersekian detik hening. Dan tiba-tiba, toet ... toet ... toet ..., semua terompet di tangan berbunyi. Kembang api menyala, menerangi atas lapangan yang sengaja dipadamkan lampunya. Petasan ukuran besar dinyalakan. Dum ... dum ... dum, beberapa kali mengiringi toet ... toet ... toet .... Tanpa dikomando semua orang bertepuk tangan. Bergembira. Keriangan muncul dari wajah-wajah mereka.
Dan tiba-tiba, satu suara lantang menghentikan semua aktivitas. Sesosok perempuan berdiri tegap di atas panggung. Bercelana jeans, berkaos ketat. Tanpa permisi menyerobot mikropon yang dipegang MC. “Semuanya diam!”, hardiknya keras. “Cukup kawan-kawan, cukup. Jangan terlalu berlebihan”, dia mencoba berbicara beberapa saat setelah semuanya diam. “Kita sudah cukup dengan kemeriahan ini. Terompet sudah kita tiup, petasan sudah meledak di sana-sini. Semua musik sudah kita dengarkan. Tepuk tangan juga sudah. Tawa riang sudah. Jeritan, hentakan juga sudah. Jadi saya rasa cukup”.
“Kawan-kawan, saya tidak tahu apakah keriangan semacam ini bisa dirasakan oleh saudara-saudara kita di Aceh? Tapi saya yakin mereka sedang menangis, mereka sedang kesusahan, mereka sedang menanti bantuan”. Tiba-tiba saja, semua orang berdiam. Lapangan menjadi hening. Mesin motor dimatikan tanpa komando. Suara perempuan itu seakan menyihir muda-mudi di tengah lapangan. Beberapa muda hanya berbisik. Mungkin membenarkan atau mengumpat kesal. Kesal karena pesta mereka diinterupsi oleh perempuan yang tidak dikenal.
“Kawan-kawan ... saya masih muda. Usia saya sama seperti kalian. Belasan atau dua puluhan tahun. Saya pun masih bisa menikmati alunan musik, suara terompet, ledakan petasan dan sebagainya. Hanya saja beberapa menit yang lalu saya merinding, seorang kawan di Aceh sana mengirim pesan singkat, “Wi, tolong sampaikan pada masyarakatmu, besok atau lusa kirim beras, mie, juga pembalut. Mungkin di Jawa banyak orang dermawan”, si perempuan membaca pesan itu dengan terisak tangis. Beberapa perempuan di lapangan turut terhipnotis, menangis.
“Kawan-kawan ... malam ini kita masih beruntung. Bisa menikmati malam peralihan tahun. Ya ... dengan pesta ini. Kita masih beruntung Tsunami tidak menghantam pinggiran pesisir kita”, dan tiba-tiba, mikropon di tangan perempuan itu ditarik oleh seorang laki-laki berseragam hitam. Nampaknya seorang keamanan event organizer. Perempuan itu mempertahankan mikropon tetap di tangannya. “Hei jangan ganggu dia!”, sebuah suara lantang muncul dari jubelan orang di tengah lapang. “Biarkan di teruskan! Lepaskan dia! Berikan mik-nya!”. Tanpa di komando, beberapa suara saut-menyaut, “Iya, jangan ganggu dia. Berikan mik-nya!”. Ratusan muda-mudi seakan sepakat tetap ingin mendengarkan suara pilu si perempuan. Dan akhirnya bagian keamanan EO melepaskannya. Si perempuan meneruskan.
“Kawan-kawan ... kita ...”, suara perempuan itu terbata-bata. Isak tangisnya semakin menjadi. Tiba-tiba dari tengah lapangan muncul teriakan lagi, “Allahu akbar ... Allahu akbar ... Allahu akbar”, tiga kali berturut-turut. Suasana menjadi semakin hening. Semua orang masih tetap terdiam. Menunggu si perempuan berkata.
Si perempuan menghela napas panjang. Si perempuan mengangkat tangannya. Dan ia pun bertiak dengan sekuat tenaga, “Atas nama Tuhan Yang Maha Kasih, atas nama rasa kemanusiaan yang masih bersisa di hati kita. Mari kita kumpulkan sedikit rizki kita untuk kita berikan ke masyarakat Aceh. Kawan-kawan setuju?!”, tanya perempuan itu mengakhiri pekikannya.
“Setuju ...! Setuju ...! Setuju ...!”, teriak muda-mudi di tengah lapang. Seakan mereka sudah terhipnotis dengan orasi si perempuan. “Mari, semuanya, ambil sebagian uang kita di saku. Kepada EO, atau siapapun, kita mohon untuk membantu mengumpulkan amal itu. Tolong yang memakai topi dilepas sementara untuk diputar”. Semua orang melakukan apa yang diperintahkan si perempuan. Beberapa lelaki-perempuan di tengah lapang berinisiatif memutar kardus bekas air mineral. Ada juga yang memakai topinya. Ada juga laki-laki yang melepas kaosnya untuk menampung sumbangan dari muda-mudi.
Kurang dari 20 menit, pengumpulan dana itu selesai. Beberapa wartawan nampaknya tidak ingin melewatkan kejadian spontan yang mengharukan itu. Mereka sudah menangkap banyak peristiwa. Tetapi peristiwa spontan yang seperti ini belum pernah. Dengan rakus mereka mengabadikan semua kegiatan. Tidak ketinggalan beberapa wartawan naik ke atas panggung untuk membidik wajah si perempuan misterius itu.
“Terima kasih kawan-kawan .... Semoga amal ini bisa bermanfaat bagi masyarakat Aceh. Semoga Tuhan membalas amal baik kita semua. Amin. Mari kita akhiri dengan memanjatkan doa untuk keselamatan masyarakat Aceh, kota kita dan juga diri dan keluarga kita. Berdoa menurut agama dan kepercayaannya masing-masing di persilahkan”. Keadaan hening kembali. Semua muda-mudi menundukan wajahnya. Beberapa mulut terlihat merapal doa. Ada yang menangis. Ada yang hanya diam sembari menengadahkan tangannya ke atas.
“Selesai. Saya mohon kita bisa kembali ke rumah masing-masing dengan cara yang tertib. Setuju?!”, seru perempuan itu. “Setuju!”, jawab muda-mudi bersamaan. Lantas si perempuan menyerahkan mikropon itu ke MC. Bergegaslah ia turun. Beberapa wartawan mengejarnya untuk diwawancarai. Tapi anehnya, perempuan misterius itu menghilang di balik panggung.
Esok paginya, salah satu media massa menerbitkan peristiwa amal spontan itu menjadi head line berita. Ditulisnya tentang situasi malam alih tahun itu dengan gaya features. Dan juga tidak lupa mencatat tindakan heroik si perempuan misterius. Hanya saja, di akhir laporan, surat kabar itu mencatat bahwa perempuan yang kemarin malam naik ke atas panggung diidentifikasi sebagai Ranilla Kusuma Dewi, seorang mahasiswi asli Tasikmalaya yang hanyut diterjang Tsunami saat ia pulang ke Aceh. Kejadian itu berlangsung tiga atau empat hari sebelum malam akhir tahun.
Masyarakat Pekalongan pun menjadi gempar dengan pemberitaan itu. Beberapa muda-mudi yang datang di lapangan Mataram malam itu menangis histeris. Warung kelontong, majelis pengajian, cafe dan lainnya, ramai membicarakan kejadian di lapangan Mataram. Dan banyak di antara mereka mempertanyakan, kenapa Ranilla muncul di Pekalongan, bukannya di Tasik, kota asalnya atau di kota lain? []
1 comments :
sungguh cerita ini? AllahhuAkbar
masyaAlloh, sungguh, saya sedikit merinding mendengarnya, sedikit terharu dan tersentak, thx atas infonya
Posting Komentar