
Penjajakan Konseptual dan Rekomendasi
Oleh: Firdaus Putra A.
Mahasiswa dan preferensi sistem
Sistem apa yang dikembangkan oleh lembaga mahasiswa biasanya menginduk dari sistem negara di mana mahasiswa tersebut eksisten. Sebuah kewajaran, mengingat sistem—dalam konteks ini sistem lembaga, pemerintahan, atau kepemimpinan—merupakan refleksi dari kondisi sosial-politik makro yang berkembang di masyarakat. Suatu preferensi sistem tidak menjadi masalah sejauh sistem itu dianggap mampu mengakomodasi atau mewadahi kebutuhan-kebutuhan lembaga mahasiswa.
Lembaga mahasiswa dalam konteks tulisan ini lebih mengacu kepada lembaga mahasiswa internal kampus. Meskipun penggunaan term ini sebenarnya cukup problematis. Karena lembaga internal kampus mengisyaratkan adanya lembaga ekstrenal kampus, yang artinya logika NKK/BKK kita legitimasi baik secara sadar maupun tidak. Klasifikasi lembaga internal kampus dalam konteks ini hanya akan difungsikan sebagai unit analisis sosiologis sebagai abstraksi kondisi sosial yang complicated.
Lebih jauh, lembaga mahasiswa secara khusus akan mengacu pada praktik pemerintahan mahasiswa atau lebih populer dengan istilah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Legislatif Mahasiswa (DLM), serta Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) sebagai departemen-departemen pemberdayaan yang secara langsung bersentuhan dengan basis. Adapun Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) merupakan afiliasi berdasar lingkup kajian suatu jurusan tertentu. Meskipun tidak menutup kemungkinan untuk menyemai semangat perjuangan dan pemberdayaan melalui lembaga ini.
Kecenderungan yang terlihat akhir-akhir ini, pemerintahan mahasiswa lebih memilih bentuknya dalam kerangka lembaga eksekutif dan legislatif. Pilihan ini didasari dari pertimbangan tentang berjalannya mekanisme kontrol kepada lembaga eksekutif. Sedangkan dulu, pemerintahan mahasiswa lebih familiar dalam bentuk Senat Mahasiswa atau Dewan Mahasiswa. Adanya fungsi lembaga legislatif mahasiswa hari ini lebih merupakan refleksi dari kondisi kontemporer terkait dengan ‘politik kampus’ yang semakin rumit.
Penubuhan lembaga legislatif yang juga sebagai lembaga kontrol lebih dipicu persoalan politis daripada semangat pemberdayaan. Meskipun pada praktiknya, seringkali lembaga legislatif di beberapa fakultas tidak berjalan dan berlangsung secara maksimal. Alhasil, niatan penubuhan mekanisme kontrol melalui satu lembaga khusus dengan sendirinya mandul. Tidak hanya pada konteks mekanisme kontrol, tetapi juga fungsi-fungsi legislasi berjalan tersendat. Untuk membaca relasi lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif akan dibahas dalam tulisan yang lain.
Kecenderungan pilihan sistem kelembagaan, seperti disinggung di awal merupakan refleksi dari kondisi makro yang sedang berlangsung. Perubahan format lembaga, dari Senata atau Dewan menjadi lembaga eksekutif juga dapat dibaca dalam kacamata serupa. Ada semacam gairah dari pegiat kampus untuk selalu up to date dengan perkembangan sistem makro. Kecenderungan semacam ini mulai nampak paska reformasi di mana angin segar berhembus yang juga membawa perubahan pada pilihan format pemerintahan atau kepemimpinan.
Pemerintahan mahasiswa dan birokrasi kampus
Sebenarnya adanya pemerintahan mahasiswa berangkat dari agenda pemberdayaan mahasiswa dalam arti seluas-luasnya. Mulai dari memberdayakan mahasiswa sebagai basis konstituen. Advokasi mahasiswa sebagai bentuk keberpihakan terhadap konstituen. Juga mempengaruhi kebijakan kampus yang digulirkan oleh birokrasi fakultas atau universitas. Semua pemerintahan mahasiswa, apapun format pemerintahannya, berujung pada tiga agenda besar tersebut.
Berangkat dari tiga agenda besar itu, maka posisi dan peran pemerintahan mahasiswa amatlah strategis. Dalam konteks bagian ini akan lebih memfokuskan pada isu posisi dan peran pemerintahan mahasiswa berhadapan dengan birokrasi kampus.
Pengalaman di beberapa fakultas bahwa ketika satu pemerintahan mahasiswa melakukan praksis politik, seperti mengaspirasikan kebutuhan konstituen, menuntut kebijakan kampus agar berpihak kepada mahasiswa, mempengaruhi proses pengambilan kebijakan, sampai pada mendesakkan aspirasi kepada birokrat, masalah yang selalu muncul yakni logika representatifitas atau keterwakilan.
Sebenarnya logika keterwakilan yang dipertanyakan oleh birokrat kampus adalah masalah legal-formal ketika satu lembaga mahasiswa mentasbihkan dirinya sebagai lembaga yang mewakili aspirasi keseluruhan mahasiswa. Hal ini lahir dari logika kontrak politik yang dilaksanakan oleh pemerintahan mahasiswa terhadap konstituennya. Sehingga menjadi naif ketika pemerintahan mahasiswa justru menafian logika keterwakilan di atas. Logika ini merupakan turunan dari pilihan sistem, format pemerintahan yang merujuk kepada sistem demokrasi.
Di banyak kasus di beberapa fakultas, pemerintahan mahasiswa selalu mengalami masalah dengan logika keterwakilan ini. Padahal, jika satu pemerintahan mahasiswa dapat mengupayakan prinsip keterwakilan, maka gerakan yang akan diusunya dapat terlaksana secara maksimal. Artinya, pemenuhan prinsip keterwakilan merupakan persoalan yang urgen untuk selalu diupayakan.
Prinsip keterwakilan dan PEMIRA
Lembaga atau pemerintahan mahasiswa yang sudah mentasbihkan dirinya mengikuti aturan main demokrasi mau tidak mau juga harus mengikuti logika keterwakilan. Logika ini bekerja melalui modus kontrak politik antara pemerintahan mahasiswa dengan seluruh mahasiswa sebagai basis konstituen.
Jika pemerintahan mahasiswa belum mampu mengupayakan keterwakilan konstituen, maka aspirasi, tuntutan dan seterusnya hanya akan dipandang sebelah mata. Lebih berbahaya lagi bila birokrat memandang hal ini sebagai kebutuhan atau kepentingan golongan tertentu yang tidak mengakomodir keseluruhan aspirasi mahasiswa. Klaim sektarian dari birokrat dapat dicegah melalui mekanisme kontrak sosial yang mewujud pada logika demokrasi prosedural.
Demokrasi prosedural merupakan sebuah bentuk demokrasi kuantitatif. Yang artinya jumlah lebih diperhitungkan daripada kualitas suara. Karena lebih mengutamakan jumlah, maka demokrasi prosedural menuntut partisipasi publik sebanyak-banyaknya dalam rangka ‘menandatangangi’ kontrak politik kepada pemerintahannya.
Pengalaman di banyak fakultas, demokrasi prosedural secara teknis sudah berjalan. Hanya saja, tingkat partisipasi publik sangat minim. Contoh pengalaman Fakultas ISIP pada tahun 2006 yang hanya mampu melibatkan publik (mahasiswa) untuk ‘menandatangani’ kontrak politik berkisar 700-an orang. Padahal jumlah keseluruhan mahasiswa FISIP lebih dari 3000 orang. Bisa dilihat rasio keterwakilan dari angka tersebut. Atau juga kasus Fakultas Ekonomi pada tahun yang sama, tingkat partisipasi hanya menembus angka 600-an, dari jumlah keseluruhan lebih dari 4000 mahasiswa aktif.
Hal ini menjadi potret buram ketika mahasiswa ingin menggagas demokrasi kampus. Karena konstituen belum mampu dilibatkan secara penuh. Ketika mahasiswa menuntut pelibatan formulasi kebijakan kampus, di lapisan bawah sendiri sama sekali tidak pernah terlibat. Ada jarak politik antara para pegiat kampus yang tergabung dalam pemerintahan mahasiswa dengan basis konstituen. Dan nampaknya, birokrat kampus membaca hal itu sebagai celah untuk mematahkan desakan atau tuntutan yang mengaatas-namakan pemerintahan mahasiswa.
Pemilihan Raya (PEMIRA) pada pengalaman beberapa tahun di beberapa fakultas sebenarnya mandul dan tidak dapat mengupayakan prinsip keterwakilan. Untuk itu, bagaimana cara mengupayakan partisipasi publik sebanyak-banyaknya agar prinsip keterwakilan dapat dicapai melalui demokrasi prosedural?
Rekomendasi
1. Sebenarnya berbicara keterwakilan selain secara etis terkait dengan kontrak politik, juga berkaitan dengan stadar keterwakilan. Dalam demokrasi prosedural yang kuantitatif, maka standar yang baku adalah angka. Angka ini diambil dari rasio tingkat partisipasi publik dengan jumlah populasi yang ada di satu fakultas. Semisal, bilamana populasi Fakultas ISIP adalah 4000 mahasiswa, maka separuh plus satunya (50%+1) 2001 mahasiswa. Jika tingkat partisipasi publik dalam PEMIRA dapat mencapai angka 2001, dalam logika demokrasi prosedural perolehan itu dianggap representatif. Implikasinya, pemerintahan mahasiswa secara de jure adalah legitimit, lebih-lebih secara de facto.
2. Untuk menjamin secara legal legitimasi, maka standar keterwakilan harus dimasukan dalam AD/ART suatu sistem pemerintahan mahasiswa. Resikonya, dengan berbagai cara hal itu harus diupayakan agar pemerintahan mahasiswa dapat dianggap sah. AD/ART ini kemudian harus disepakati oleh birokrat sebagai aturan main yang disepakati bersama.
3. Untuk mewujudkan tingkat partisipasi publik yang tinggi, maka mekanisme-mekanisme dalam PEMIRA harus ditinjau ulang. Seperti mekanisme TPS sebagai sarana pemungutan suara untuk diganti dengan mekanisme jemput bola atau masuk ke kelas-kelas. Atau jika memungkinkan memakai dua mekanisme itu, yakni TPS dengan jemput bola. Terobosan ini sudah dibuktikan di Fakultas Ekonomi tingkat partisipasi publik pada PEMIRA 2007 mencapai angka 1100-an, dua kali lipat dari tahun 2006. Padahal PEMIRA tersebut diselenggarakan hanya oleh lima orang panitia.
4. Pembatasan waktu pemungutan suara harus lebih mempertimbangkan tinggi-rendahnya tingkat partisipasi publik. Artinya, pembatasan waktu pemungutan suara tidak hanya diputuskan berdasar berapa lamanya kerja, lima atau tujuh hari. Tetapi, selama standar keterwakilan 50%+1 belum tercapai, maka pemungutan suara belum ditutup. Hal ini sebenarnya merupakan siasat melawan birokrat kampus yang berlindung dibalik prosedur, maka pembatasan waktu dalam tata aturan sebenarnya sifatnya tidak terlalu tinggi kedudukannya, hanya dibawah Ketetapan Komisi PEMIRA. Maka bisa saja ketetapan itu berbunyi, waktu pemungutan suara dari tanggal ... sampai pada tanggal ... Dan bila belum memenuhi standar keterwakilan maka waktu akan ditambah.
5. Merekrut sebanyak-banyaknya anggota untuk menjadi Komisi PEMIRA.
6. Seluruh elemen mahasiswa terlibat secara pro-aktif. Pengalaman di Fakultas Ekonomi, lima orang yang bekerja membuat PEMIRA dengan terobosan baru tersebut belum maksimal. Bisa kita bayangkan bila UKM atau HMJ yang jumlahnya tiap fakultas lebih dari enam, memperbantukan personilnya sebagai anggota Komisi PEMIRA.
7. Mengusahakan sumber dana yang mencukupi. Secara prefentif, pemerintahan mahasiswa sebelumnya harus memberikan kas untuk digunakan sebagai PEMIRA. Bila masih kurang, maka elemen kampus, seharusnya dapat diminta sumbangan. Bila masih kurang, maka panitia penyelenggara bisa meminta kepada mahasiswa sebagai konstituen. Cara terakhir dengan mencari dukungan dana dari pihak luar, misal swasta.
Demokrasi prosedural sangat terkait dengan mekanisme-mekanisme teknis yang meliputi banyak hal. Karena keterbatasan fasilitas, maka demokrasi prosedural mahasiswa harus diminimaliskan atau disederhanakan. Minimalis dalam artian cara, substansi atau pemenuhan prinsip-prinsip tertentu.
Mengupayakan keterwakilan mahasiswa dalam PEMIRA bukanlah sebuah tujuan final dari demokrasi prosedural yang minimalis. Melainkan sebuah jembatan untuk menggapai tiga agenda penting di atas sebagai raison d’etre adanya pemerintahan mahasiswa.
Tujuh rekomendasi di atas meskipun nampak rumit, tetapi merupakan minimalisasi dari logika demokrasi prosedural yang seharusnya (gaya negara). Kuncinya, bagaimana kita mensiasati kesulitan, kerumitan yang ada terkait dengan partisipasi publik untuk kemudian menaikkan posisi tawar kita dengan birokrat kampus.
Saya rasa perjuangan mahasiswa melalui pemerintahannya bukan sesuatu yang main-main. Untuk itu, saya menawarkan tujuh rekomendasi (khususnya nomor satu sampai empat) dalam kerangka keseriusan sikap. Jika pemerintahan mahasiswa ingin berdaya, maka kita harus mengupayakannya dengan berbagai cara. Resiko merupakan bentuk lain dari tantangan yang harus kita selesaikan.
Tulisan ini berangkat dari pengamatan lapangan, bahwa sikap untuk memperjuangkan aspirasi melalui pemerintahan mahasiswa hari ini menurut saya belum sungguh-sungguh. Dan parahnya, hubungan antar elemen mahasiswa biasanya akan memanas dan tidak kondusif ketika mendekati masa-masa PEMIRA. Perebutan kekuasaan di struktur mahasiswa sayangnya harus dibayar dengan biaya yang mahal, yakni tercerai-berainya elemen-elemen mahasiswa. []
Baca juga tulisan saya sebagai berikut:
Menggugat ‘Pemerintahan Mahasiswa’:
Reformulasi Format Gerakan Mahasiswa Menuju ‘Serikat Mahasiswa’
Cerdas atau Culasnya Gerakan Mahasiswa
Pudarnya Sense of Student Movement FISIP
Rethinking Apatisme Mahasiswa
Demokrasi Minimalis untuk Pemerintahan Mahasiswa:
Studi Kasus PEMIRA BEM KMFE
Demokrasi Minimalis untuk Pemerintahan Mahasiswa:
Penjajakan Konseptual dan Rekomendasi
0 comments :
Posting Komentar