Indonesia, Skulerisme dan Demokrasi


Oleh: Firdaus Putra A.

Seperti kata ‘liberal’, skuler atau skulerisme juga cenderung dimaknai secara peyoratif. Padahal, jika kita mau jujur, semenjak dideklarasikan, Indonesia termasuk dalam negara skuler. Kedaulatan di tangan warganya, bukan Tuhan. Yang untuk menyelenggarakannya didelegasikan kepada para wakil rakyat—bila term ini masih mencukupi—melalui mekanisme pemerintahan presidensil.

Anehnya, menggunakan term skuler atau skulerisme seakan-akan tabu. Ada juga yang mengartikan skulerisme merupakan paham yang memisahkan kehidupan dengan agama. Pernyataan itu tidak sepenuhnya, hanya saja yang perlu diperjelas adalah konteksnya. Pernyataan itu menjadi benar jika kita tempatkan dalam konteks hubungan antara negara dengan agama. Meskipun, sebenarnya tidak ada satu negara pun yang benar-benar skuler dalam artian mengasikan agama. Yang ada seringkali nilai-nilai universal agama ditransformasikan dalam sebuah kebijakan publik bagi seluruh warga negara tanpa membedakan asal usul agamanya.

Sebutlah Amerika, dalam mata uangnya jelas-jelas tertulis In the name of God atau Atas Nama Tuhan. Padahal hari ini Amrika kita ketahui sebagai negara skuler. Untuk itu, skulerisme lebih tepat jika kita pahami sebagai pemisahan ruang antara kuasa negara dan kuasa agama.

Jika kita mengacu kepada Piagam Madinah sebagai cikal bakal negara dalam budaya Islam, maka di sana sudah jelas dinyatakan bahwa negara menjamin semua agama. Tetapi, negara tidak didasarkan oleh agama tertentu. Kedudukan antara yang Islam, Yahudi dan Kristen sederajat di mata negara. Tidak ada pembeda-bedaan. Dan untuk masalah agama, negara sama sekali tidak ikut campur. Mekanisme diserahkan sepenuhnya kepada agama melalui organisasi keagamaan yang bersifat lepas dari negara.

Praktik skulerisme di Indonesia sebenarnya senantiasa mendapat cobaan. Hal ini terjadi sejak kemerdekaan negara ini diproklamasikan. Jika kita ingat perdebatan tentang Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta, maka ada sebagian dari kelompok Islam yang ingin mendasarkan negara berdasar agama Islam. Dalam pergulatan kekuasaan, melalui struktur kekuasaan tertentu, kelompok ini kalah atau dikalahkan. Meskipun kalah, energi untuk kembali mengukuhkan Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta tidak hilang sama sekali. Bahkan pada perjumpaan kontemporer agenda-agenda mereka, secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi berusaha melakukan perubahan azas negara menjadi Islam.

Sebenarnya kita perlu membaca sejarah di masa Soekarno dengan kritis. Ketika kita sepakat bahwa negara ini berdiri berdaulat kepada warganya melalui azas Pancasila, bukan semata-mata karena kita hormat atau menghargai para founding fathers. Melainkan bahwa ijtihad kenegaraan mereka memang benar-benar merupakan solusi final untuk membangun Indonesia di atas pluralitas; etnis, kepercayaan, agama, suku dan sebagainya. Sejarah awal pendirian negara Indonesia merupakan sikap rahmatan lil ‘alamin dari para pendiri yang tidak memaksakan kehendak atau keyakinannya kepada golongan lain. Sikap ini merupakan cara pandang yang visioner dalam membaca Indonesia di kala itu dan masa mendatang. Melalui ijtihad mereka, rahmatan lil ‘alamin sebagai kabajikan horizontal di dalam Islam dapat terwujud.
Meskipun republik ini sudah berdiri lebih dari 60 tahun, usaha-usaha untuk mengubah dasar negara masih saja muncul di banyak wilayah. Kecenderungan ini dapat kita lihat dari bermunculannya Perda-perda Syariah yang sebenarnya bias agama tertentu, yakni Islam. Dalam kesempatan lain, agama yang lain, yakni Kristen, mengeluarkan peraturan serupa dengan Perda Injil. Alhasil, umat Islam marah dan seakan kebakaran jenggot. Padahal sikap umat Kristen di Papua merupakan reaksi atau respon terhadap sikap awal umat Islam yang memaksakan kehendak. Melalui indikator ini sebenarnya kita sudah dapat melihat bahwa peraturan pemerintah apapun bentuknya, jika didasarkan kepada agama tertentu pasti akan diterima secara negatif oleh agama yang lain.

Perjuangan penegakan syariat Islam, entah melalui jalur parlemen maupun tidak, sebenarnya merupakan bentuk pembajakan demokrasi. Kelompok-kelompok seperti itu hanya memanfaatkan demokrasi sebagai jalan untuk mewujudkan kepentingannya, yakni penegakan syariat Islam. Di lain kesempatan, bila sampai tujuan mereka terwujud, mereka akan membuang jauh-jauh demokrasi sebagai sistem pemerintahan.

Dengan mengatasnamakan demokrasi, yang tentunya juga dijamin oleh demokrasi, suara mereka mulai nyaring. Sebutlah Hizbuttahrir Indonesia yang secara terang-terangan bertujuan untuk mengganti azas, sistem pemerintahan menjadi Islam. Di lain sisi, atas nama demokrasi juga, pemerintah tidak dapat memberangus atau membubarkan organisasi semacam itu. Sehingga standar penilaian tidak bisa kita dasarkan kepada legal-formal semata, melainkan penilaian secara etis.

Demokrasi dalam kehidupan bernegara sebenarnya merupakan win-win solution dalam memandang keragaman agama yang ada di Indonesia. Bila hari ini ternyata banyak masalah yang belum bisa diselesaikan oleh pemerintah Indonesia, tentunya bukan semata-mata sistem demokrasi yang cacat. Menyalahkan sistem sebagai akar masalah dari kartu-marutnya bangsa ini, sehingga berupaya merubah dengan sistem lain merupakan pandangan yang naif. Toh di negara lain demokrasi dapat melahirkan kesejahteraan dan juga keadilan, seperti Venezuela. Dan juga di negara lain pula, sistem Islam hanya manis terlihat dari luar dan sebenarnya sangat menindas, Arab Saudi.

Posisi demokrasi maupun Islam sebagai sistem pemerintahan, sebenarnya setara. Tidak ada yang lebih tinggi. Semuanya merupakan hasil dari olah pikir manusia atau ijtihad manusia semata. Perbedaannya terletak pada sumber kedaulatan. Dan jika kita mau jujur membaca sejarah, sebenarnya ketika agama bersanding dengan negara, agama hanya sebatas dijadikan ‘tukang stempel’ untuk melegitimasi kekuasaan negara. Kekuasaan yang dilegitimasi agama akan nampak sebagai kekuasaan yang mutlak sifatnya dan sakral. Padahal, sebagai penyelenggara masalah publik sifat lembaga negara adalah profan. Menyatukan agama dengan negara dalam kerangka teokrasi hanya akan menodai kesakralan agama itu sendiri. Sama artinya memprofankan sesuatu yang sakral.

Alangkah baiknya jika negara ini tetap meneguhkan skulerisme dan demokrasi yang sifatnya bebas dari bias agama. Sedangkan posisi agama hanya secara esensial sebagai nilai in put dalam menyelenggarakannya. Memformalkan hanya akan berujung pada pemberangusan, penindasan dan penutupan akses bagi yang lain.

Perlu saatnya bagi kita untuk membersihkan term ‘skulerisme’ atau ‘demokrasi’ yang dibajak oleh kelompok-kelompok yang bervisi sektarian. Mereka hanya memanfaatkan arena demokrasi untuk kemudian membunuhnya. Mereka hanya membajak logika demokrasi untuk mewujudkan kepentingan golongannya. Tidak ada niatan dari mereka untuk tetap menyelenggarakan sistem demokrasi yang mampu menjamin setiap golongan berkedudukan setara di mata negara. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 comments :

Anonim mengatakan...

setidaknya ada tiga arus pemikiran yang masing-masing dianut oleh aktivis muslim.

1. purifikasi ajaran islam
2. liberalisasi pemikiraan islam
3. islamisasi ilmu pengetahuan.

kau sudah memilih no 2.
silakeun berjalan, kelak akan menemukan muaranya :-)