Semacam Testimoni
Oleh: Firdaus Putra A.
Saya mulai mengenal beliau awal tahun 2004. Raut mukanya dan tubuhnya masih sama, tidak terlalu berubah. Meskipun aslinya beliau sudah lanjut usia. Beliau lahir tahun 30-an. Saat ini mungkin sudah memasuki usia 70 tahunan. Meskipun sudah lanjut, tubuhnya masih sehat dan tidak layu. Tatap matanya masih tegas. Tutur katanya masih saja sama, menyentak.
Aktivitas beliau sebagai seorang penjual nasi rames. Tempat berdagangnya di depan kampus FISIP UNSOED. Oleh kawan-kawan kampus tempat itu dikenal sebagai Warteg depan FISIP. Secara fisik tidak ada perbedaan antara warteg milik Pak Slamet dengan warung tegal yang lain. Hanya saja, warteg Pak Slamet sering dijadikan tempat kumpul kawan-kawan pegiat kampus, wartawan, dan sebagainya. Biasanya juga dijadikan posko ketika hendak melakukan aksi massa, atau mencari sumbangan untuk bencana alam.
Dalam usianya yang sudah lanjut beliau tetap berorganisasi. Saat ini beliau dipercaya sebagai Ketua Paguyugan Petani Banyumas (PPB) dan juga sebagai Koordinator Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) untuk wilayah Jawa Tengah. Dalam penuturannya, beraktivitas dalam organisasi sudah dimulai sejak muda dulu. Bahkan, sampai beliau menikah dan mempunyai empat putri, masih saja menyempatkan diri untuk berorganisasi. Malah katanya, “Saya akan milih organisasi jika keluarga saya melarang saya berorganisasi”. Beliau adalah sosok dari masyarakat sipil yang cerdas dan tercerahkan.
Hampir setiap hari saya bertemu, berbincang dan bercanda dengan beliau. Karena hampir setiap hari saya makan, beli koran, atau sekedar minun dan merokok di warteg itu. Pergaulan saya dengan beliau cukup intens. Seringkali beliau bercerita tentang masa lalunya, yakni tentang kisah penjara Pulau Buru. Atau tentang kisah dimana masa kecilnya ia sangat dekat dengan Istana Merdeka. Katanya, “Dulu saya sering melihat dan ketemu Soekarno, juga anak-anaknya. Kalau staf istana, manggil Soekarno itu bukan Bapak, tapi Babeh”, tuturnya dengan pandangan menerawang ke masa lalu.
Di antara saudara-saudaranya—yang saat ini tinggal di Banjarnegara, beliau merupakan orang yang paling ‘bandel’, dan secara ekonomi kekurangan. Padahal, jika beliau mau, beliau bisa kaya. Karena secara nasab, keluarganya termasuk tokoh masyarakat. Di zaman Belanda, ayah atau kakeknya adalah seorang Wedana. Hanya Pak Slamet saja yang sampai hari ini tidak menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sedangkan semua saudara-saudaranya menjadi PNS di Pemda Banjarnegara.
Menurutnya, “Hidup bukan sekedar untuk menjadi kaya. Kalau hanya itu sebenarnya mudah”. Sering dia bercerita tentang politik Banyumas. Apa lagi seperti saat ini yang mendekati hari pemungutan suara, PILKADA Banyumas, tanggal 10 Februari 2008. Sebagai warga sipil yang cerdas, melalui organisasi taninya beliau mengundang empat calon untuk mempresentasikan program-programnya di depan para petani di Desa Semaya, Baturaden bagian atas. Lebih jauh lagi, para petani akan meminta calon untuk menandatangani kontrak politik. Jika bersedia, maka tidak menutup kemungkinan para petani akan memberikan suaranya.
Dari sepak terjangnya, tidak sedikit beliau mempunyai musuh politik. Tidak sedikit pula kawan-kawan beliau yang dengan setia menemani dan mendukungnya. Tidak hanya para petani yang berada di desa, tetapi juga para pegiat kampus, pejabat publik, aktivis LSM baik lokal maupun nasional dan sebagainya. Hal itulah yang membuat dirinya tetap tegar.
Secara pribadi saya sangat salut pada beliau. Dalam usia yang sudah lanjut, mempunyai tanggungan keluarga, dan kebutuhan hidup yang lainnya,beliau masih konsisten dalam bertindak. Pernah suatu hari beliau hendak diberi uang oleh Ketua DPRD Banyumas untuk transport ke Jakarta dalam rangka menghadiri pertemuan organisasi tingkat nasional. Sedikit orang seperti beliau, dengan tegas dan sopan ia menolak uang tersebut. Meskipun ia tahu uang tersebut dari saku pribadi dan bukan dalam rangka menyuap. Beliau berpedoman, “Sekali kita mau menerima uang dari para pejabat, maka dua dan tiga kali kita akan merasa keenakan. Setelah itu, kita menjadi budaknya”.
Baru beberapa bulan yang lalu istrinya sakit dan harus menjalani opname. Karena warung tidak terlalu ramai, ia harus mencari uang untuk mengurus berobat istrinya. Sebagian ia dapatkan dari kawan-kawan mahasiswa yang berinisiatif untuk mencari dana spontanitas. Sebagian yang lain ia usahakan melalui surat keringanan biaya. Sampai pada titik ini ia masih berjuang untuk menegakkan idealismenya. Ia tidak mengemis-emis kepada para pejabat. Padahal, jika mau pasti akan diberi. Tetapi ia memilih untuk tidak melakukannya.
Pada setiap pertemuan ilmiah; seminar, diskusi publik dan sebagainya beliau selalu hadir. Dan jika sudah bertanya atau mengeluarkan komentar, beliau tidak tedeng aling-aling. Jika mengkritik, maka ia sampaikan secara tegas. Sikap beliau ini sering memerahkan telinga pejabat atau pembicara yang mengisi kegiatan tersebut. Di lain kesempatan, beliau juga pernah beberapa kali tampil sebagai pembicara dalam seminar nasional di Luar Jawa.
Tak henti-hentinya juga beliau mengkritik LSM-LSM yang selalu mengatasnamakan petani atau masyarakat. Menurutnya, “LSM itu kan hanya jualan. Jualan kemiskinan. Mereka dibayar. Apa mereka (orang-orang LSM) mau bekerja di organisasi saya (PPB) tanpa dibayar sedikitpun”. Keikhlasan beliau memang sudah mendarah daging. Semua usahanya ditujukan untuk kepentingan banyak orang. Seperti ketika beliau menanam benih cipir yang bermula dari tiga buah cipir tua. Dengan telaten beliau tanam. Hasil bijinya belia kumpulkan dan ditanam lagi. Sampai saat ‘memanen’ yang kesekian kalinya, terkumpul benih dari biji cipir kurang-lebih tiga kilogram. Lantas biji itu tidak ia jual, melainkan ia berikan secara cuma-cuma kepada petani di Semaya agar ditanam.
Jika kita mau mensejajarkan, konsistensi sikap beliau hampir sama dengan Pramoedya Ananta Toer. Hanya saja beliau kurang pandai menyusun karya tulis, sehingga namanya kurang monumental. Itulah Pak Slamet, beliau merupakan potret dari masyarakat sipil yang cerdas, yang tahu hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Kritis terhadap negara. Ia hidup dengan kesahajaan. Ia hidup tidak hanya untuk diri dan keluarganya, tetapi untuk kemanusiaan. Semoga beliau konsisten sampai akhir hanyatnya. Semoga! []
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 comments :
Posting Komentar