Mengapa Saya Menulis?


Oleh: Firdaus Putra A.

Sebagian kawan saya pesimis terhadap apa yang saya lakukan. Mereka beranggapan bahwa pemikiran dan tentunya juga tulisan, tidak terlalu siginifikan dalam memberdayakan mahasiswa atau masyarakat. Pandangan semacam ini merupakan pandangan yang deterministik, bahwa pemberdayaan mengharuskan keterlibatan secara fisik. Keterlibatan fisik, pada titik tertentu saya sepakat. Tetapi memutlakkan pandangan semacam ini saya kira tidak tepat.

Sampai hari ini saya masih meyakini bahwa pemikiran atau tulisan masih signifikan sebagai salah satu media perjuangan. Perjuangan di sini saya maksudkan dalam maknanya yang paling luas, yakni berusaha dengan sungguh-sungguh mengupayakan kehidupan yang lebih baik dan beradab. Pemikiran dan tulisan, menurut saya merupakan semangat dari perjuangan itu sendiri. Sejatinya, tidak ada di dunia ini, dimana kita berjuang tanpa berpikir dengan serius.

Saya memaknai pemikiran dan tulisan sebagai media perjuangan. Untuk itu, saya selalu berusaha berpikir dan menulis secara bertanggung jawab. Artinya, saya selalu berpikir bagaimana dampaknya bila orang lain membaca tulisan tersebut. Apakah akan menjadikan dia tercerahkan atau justru membuat dia tambah jauh dari yang diharapkan.

Menulis dengan tanggung jawab tentunya bukan sekedar kecakapan teknis tentang bagaimana merangkai kata menjadi kalimat. Menyusun dan mengkoherenkan kalimat menjadi sebuah paragraf dan seterusnya. Tetapi, lebih pada titik konsistensi semangat tulisan itu sendiri. Kadang saya heran dengan banyaknya peminat pelatihan penulis muda, workshop menulis esai dan cerpen, dan sebagainya.saya kita menulis bukan semata persoalan menentukan tema, menyusun kerangka, dan menuliskannya di atas kertas. Melainkan bagaimana si aktor memiliki keberpihakan tertentu terhadap apa-apa yang dituliskannya adalah hal yang mendasar.

Pelatihan penulisan pada titik tertentu saya sepakat. Tetapi jika kita perhatikan, pelatihan penulisan tak ubahnya seperti pabrikasi penulis. Sebuah proses sistematis dalam rangka melahirkan penulis-penulis baru. Hampir mirip mungkin dengan kontes menyanyi. Apa yang akan terjadi dengan logika semacam ini? Menurut saya orang menulis bukan lagi untuk melakukan artikulasi ide-ide yang menurutnya pantas disemai. Melainkan lebih pada persoalan bagaimana menulis untuk mencari uang.

Lihatlah di beberapa pelatihan, mereka selalu menjual jargon yang terdengar manis, “Kaya Melalui Menulis”. Apakah sesederhana itu? Menulis jika demikian dipahami sebagai bagaimana saya mendapatkan uang dari tulisan yang saya jual. Akibatnya, tulisan-tulisannya akan mengikuti logika pasar. Semisal, tema atau isu apa yang hari ini sedang tren, maka akan ia racik sedemikian rupa menjadi sebuah karya. Para penulis yang hanya ingin mencari keuntungan (menjadi kaya) dari tulisannya, menurut saya hanya menulis dengan tangannya, akalnya tanpa menggunakan hati nuraninya.

Pada sisi lain, ada sebagian orang yang menulis dan memperoleh uang atau fee dari tulisan yang dipublikasikannya. Tetapi, para penulis ini biasanya berangkat dari value tertentu yang jika kita mau merunut semua karyanya pasti mempunyai konsistensi gagasan atau ide. Merekalah yang berjuang melalui tulisan. Tidak sekedar menulis untuk mencari uang.

Menulis menurut saya merupakan bentuk konkret dari usaha berpikir kita. Sehingga dari tulisan bisa kita lihat pandangan atau sikap hidup sang penulisnya. Menulis bukan aktivitas yang terbebas dari konteks. Menulis menjadi hidup justru ketika ia berangkat dari konteks riil yang ada di masyarakat.

Menulis pada hakikatnya merupakan kerja hati. Ia mensyaratkan keteguhan hati penulisnya. Menulis dengan hati tentu saja akan berbeda dampaknya daripada sekedar kecakapan teknis merangkai kata. Menulis dengan hati merupakan sebentuk seni yang mengandung nilai keberpihakan. Posisi penulis tidak bebas nilai. Dan tulisannya juga tidak bisa kita baca secara bebas nilai. Penulis mempunyai visi tertentu. Tulisannya mengandung misi tertentu.

Oleh karena itu, para penulis yang menggunakan hatinya adalah mereka yang dilahirkan. Writer is born, not create. Mereka dilahirkan dari sebuah konteks masyarakat tertentu. Mereka menjejak di masyarakat. Melalui jejakan itu, tulisan merupakan refleksi atas kondisi yang tengah terjadi di masyarakat. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 comments :

Anonim mengatakan...

idealis tanpa realistis ?