Mengapa Saya Liberal?


Sebuah Manifesto Perlawanan
Oleh: Firdaus Putra A.

Judul semacam ini untuk pertama kalinya saya tulis dan publikasikan. Bisa dimaknai tulisan ini sebagai bentuk manifesto pandangan atau sikap saya. Saya membutuhkan proses yang lama untuk sampai pada manifesto ini. Apalagi di tengah kondisi dimana kata ‘liberal’ cenderung dimaknai secara peyoratif. Padahal kata ‘liberal’ tidak berbeda maknanya dengan kata ‘mandiri’, ‘merdeka’, ‘bebas’ dan seterusnya. Hanya saja, kata liberal seringkali dihubungkan dengan ideologi kapitalisme. Meskipun pada titik tertentu kapitalisme dengan liberalisme bertemu. Tetapi pertemuan itu sebenarnya juga terjadi terhadap ideologi besar lainnya; nasionalisme yang mewujud pada anti-kolonialisme, komunisme yang anti-penindasan dan sebagainya.

I
Keliberalan saya sebenarnya dimulai semenjak saya nyantri di PP HM Putra Lirboyo Kediri, yang sekarang berganti nama menjadi PP HM Al-Mahrussiyah Lirboyo Kediri. Pergantian nama ini diambil dari nama sesepuh pendiri pondok, yakni Romo Yai Mahrus. Sedangkan saat ini pondok diampu oleh keturunannya, yakni Romo Yai Imam Yahya Mahrus.

Hanya dua tahun saya nyantri di sana. Jadi lebih tepat kalau disebut mampir belajar. Karena biasanya orang nyantri minimalnya lima tahun untuk sampai pada penguasaan ilmu (alat, akhlak, aqidah dan juga fiqih) yang mendalam. Saya memilih untuk keluar dari pondok pesantren itu karena kondisi pondok yang menurut saya kurang konfusif dan feodal.

Pada suatu ketika terjadi aksi demonstrasi untuk menggugat Kepala Sekolah Madrasah Aliyah HM Tribakti. Sekolah menengah agama yang setara dengan SMA umum yang bernaung di bawah satu yayasan HM atau Hidayatul Mubtadi’in. Dengan pembina yang tentunya sama, yakni Romo Yai Imam Yahya Mahrus.

Saat itu kami (OSIS dan sebagian guru yang kritis) duga kepala sekolah melakukan tindak korupsi. Saya tidak ingat kejadian persisnya, mungkin tahun 2001-2002, kami menggelar demonstrasi menuntut kepala sekolah mengundurkan diri. Demonstrasi itu terjadi di halaman sekolah. Karena tidak mendapat respon, demonstrasi kedua kami gelar. Demonstrasi yang kedua kami tempuh dengan cara long march menuju Departemen Agama (Depag) Kota Kediri. Kami pikir bahwa Depag dapat membantu memediasi antara kami (murid) dengan pimpinan yayasan, yakni Romo Yai Imam tentang tuntutan kami. Dalam aksi long march itu tidak hanya murid atau santri putra saja yang ikut. Tetapi juga murid perempuan yang nota benenya adalah santri putri.

Paska aksi, malam harinya kami (pengurus OSIS) dipanggil ke ndalem Yai Imam. Dan ternyata beliau ghodlob atau marah dengan aksi siang itu. Karena peristiwa ini kali pertama terjadi di pondok pesantren. Tentunya pemberitaan media massa juga gencar. Jikalau tidak ‘diredam’, maka pemberitaan bisa sampai pada skala nasional. Mengingat PP Lirboyo merupakan salah satu pesantren besar di Jawa Timur.

Kemarahan Yai sampai pada klimaksnya. Satu persatu kami dihadiahi dengan pukulan di kepala dan tengkuk. Bahkan teman sedaerahku (Pekalongan, juga teman satu SMP) harus menerima beberapa kali tamparan di wajah. Dia adalah Ketua OSIS saat itu. Setelah selesai menceramahi dan memarahi, satu per satu dari kami disuruh keluar lewat pintu belakang. Ternyata di luar sudah disiapkan air satu ember besar. Satu per satu dari kami disiram air itu, pada wajah atau kepala. Dan tidak ketinggalan, satu kali pukulan dengan gayung di kepala, juga kami terima. Dan ternyata ta’zir semacam ini juga diterima oleh santri putri yang ikut long march juga para pengurusnya yang sebenarnya tidak tahu duduk permasalahannya.

Sesampai di kamar (pondok), teman saya Hadi Wibowo, Ketua OSIS, menangis. Saya sendiri hanya terdiam. Tidak menangis. Hanya berpikir kenapa sampai hal ini terjadi. Bukankah apa yang saya dan teman-teman lakukan adalah perjuangan sebagai salah satu bentuk nahi munkar? Saya merenungkan hal itu. Sampai esoknya, kami menerima kabar yang kurang enak didengar, tiga orang di antara kami dikeluarkan (DO) dari sekolah juga pondok. Mereka; Hadi Wibowo – Pekalongan, Abd. Rosyid – Madura, Isroul Muqoddas – Sumatera. Dan yang terakhir saya jumpai masih studi di STAIN Purwokerto.

Jiwa saya berteriak. Tidak rela teman-teman seperjuangan itu harus menerima perlakuan yang tidak semestinya. Hari demi hari pun saya lalui dengan setengah hati. Saya sudah pesimis dengan atmosfir pondok pesantren. Hasrat saya untuk tetap belajar di sana, minimalnya sampai lulus, mulai terkikis.

Nampaknya atmosfir pondok memang semakin tak bersahabat. Ada satu kebijakan pondok yang bagi saya tidak fair, yakni kebijakan ‘kos makan’. Kebijakan ini berbunyi “Santri HM Putra wajib ‘kos makan’ di ndalem. Yang tidak bersedia silahkan mencari pondok lain”. Kebijakan itu diundangkan melalui selebaran yang dilaminating yang ditempel pada setiap kamar. Ditandatangani oleh pimpinan pondok.

Kos makan mulai menjadi soal sesudah dua sampai tiga minggu berjalan. Menunya itu-itu saja; tahu-tempe yang kecil, sedikit sayur, telur yang banyak tepungnya atau lele goreng yang kecil, dan juga sedikit nasi. Karena makanan tidak diletakan di piring, melainkan ransum atau kotak makan untuk anak SD. Bukannya saya tidak mau prihatin dengan menerima menu semacam itu, melainkan dengan harga yang sama, santri bisa mendapatkan menu yang bervariasi—sesuai keinginannya—di kantin pondok tetangga atau sebelah. Sekedar gambaran, pondok pesantren Lirboyo terdiri dari beberapa pondok dengan pengasuh yang berbeda. Pada setiap pondok memiliki kantin sendiri yang bisa diakses oleh santri pondok lain.

Sampai pada suatu malam, ketika kami mengaji kitab Safinatunnajah, yakni kitab fiqih, kami bertanya kepada ustadz. Bagaimana hukum ‘kos makan’? Bukankah bai’ atau jual-beli harus ada aqad-nya? Dan kedua belah pihak harus sama-sama ikhlas-rela? Jika semua santri mau jujur, sedikit dari mereka yang rela atau ikhlas dengan menu semacam itu. Dan sang ustadz dengan dilematis menjawab, jika kalian ikhlas atau rela, maka sah hukumnya. Artinya, jika santri tidak rela, maka sebaliknya, tidak sah aqad-nya.

Hari demi hari saya isi dengan ghibah atau menggosip seputar kebijakan pondok yang bersifat sepihak itu. Hanya sedikit dari kami yang secara jujur mau mengakui bahwa atmosfir pondok sudah berubah dan tidak kondusif. Sampai saya dengan tiga kawan membentuk sebuah kelompok diskusi yang kami sebut dengan ‘Santri Kiri’. Terinspirasi dengan Kiri Islam yang digulirkan Hassan Hanafi. Perlu diketahui juga, berkat interaksi teman-teman dengan mahasiswa—karena pondok kami campur; SMP, SMA dan mahasiswa—kami saat itu sudah membaca buku-buku ‘berat’.

Sampai pada suatu diskusi, kami menyentil masalah ta’zim kepada usadz atau kyai yang diajarkan melalui kitab Ta’limul Muta’allim. Beberapa poin di dalam kitab itu yang menurut kami timpang, bahwa santri atau pelajar harus tho’atan wa sam’atan (taat dan tunduk) pada ustadz atau kyainya. Bagi kami hal ini sangat membelenggu kebebasan berpikir dan berekspresi, juga berpandangan. Sampai-sampai klimaksnya seorang ustadz senior marah-marah di kelas (pengajian) menyangkut masalah ini. Kondisi kami (Santri Kiri) semakin tertindas.

Sedangkan di sisi lain, internalisasi nilai barokah dan kuwalat begitu deras merasuk ke kesadaran kami. Posisi kami menjadi serba salah. Dan akhirnya, saya mengomunikasikannya dengan Ibu—saat itu Bapak sedang di Madinah, TKI—untuk keluar dari pondok. Teman saya keluar lebih dulu, pindah ke pondok lain. Dan saya menunggu sampai naik kelas tiga. Dan akhirnya saya pindah, meneruskan di MAN I Pekalongan.

II
Latar belakang di atas merupakan pengalaman sejarah yang bisa dibilang menentukan perkembangan pemikiran saya. Pertama, saya menjadi cukup kritis terhadap status quo yang reproduksi melalui agama atau tradisi. Kedua, siapapun manusia, tidak terkecuali pimpinan pondok pesantren, memiliki motif ekonomi. Dan untuk menjalankannya, beliau memanfaatkan struktur agama yang timpang, adanya elit dengan awam. Ditambah dengan proses mitologi adanya barokah dan kuwalat, menjadikan praktik ketimpangan ekonomi menjadi tidak tersentuh. Siapa yang berani menyentuh, maka akan terkena kuwalat. Alhasil, banyak dari santri seangkatan saya yang hanya bisa diam dan tunduk pada kebijakan.

Padahal, kalau kita cermati kebijakan kos makan sama sekali tidak berhubungan dengan masalah pendidikan. Melalui kuasa, kebijakan kos makan dijadikan alat untuk memaksa santri memilih tetap atau keluar dari pondok. Dan saya pernah membaca beberapa tulisan, bahwa biasanya kyai pondok pesantren secara sosio-ekonomi relatif mapan. Sedangkan santri, atau yang sudah tamat, sedikit yang mempunyai kedirian ekonomi. Berangkat dari analisis dalam tulisan tersebut, kebijakan kos makan saya nilai sebagai kebijakan yang secara ekonomis menghisap santri dan tentu saja mensejahterakan elit pondok.

Ketiga, untuk keluar dari nalar barokah dan kuwalat saya harus melalui proses yang panjang. Pertama, saya harus meruntuhkan klaim itu secara epistemik. Menurut saya, tidak ada kuwalat bagi orang yang memperjuangkan tegaknya keadilan. Tuhan yang akan menentukan, bukan kyai atau ustadz. Kedua, tidak ada manusia yang sempurna. Kesempurnaan hanyalah milik-Nya. Jadi, siapapun orang, tak terkecuali kyai, ustadz, habib pada titik tertentu pasti pernah berbuat salah. Dan menurut saya, kebijakan kos makan, juga men-DO siswa merupakan kebijakan yang salah. Meskipun itu dikeluarkan oleh seorang kyai, yakni Romo Yai Imam Yahya Mahrus.

Pengalaman di atas sedikit-banyak membekas dalam kesadaran saya. Bahwa ketimpangan sosial selalu direproduksi melalui struktur sosial yang timpang. Tidak kurang, juga didukung oleh ‘agama’ melalui klaim-klaim dan teks-teks agama yang timpang. Kesadaran inilah yang menjadikan secara ideologis saya liberal, yang berarti saya cenderung tidak tunduk kepada struktur yang mapan, yang menyembunyikan selubung kepentingan ekonomi atau politik tertentu.

Kesadaran semacam ini menjelma dalam kerangka berpikir, landasan epistem yang selalu memihak kepada kaum lemah atau yang dilemahkan. Liberal menurut saya merupakan penggugatan, kritik, perlawanan terhadap penindasan. Selanjutnya, liberal bisa kita formulasikan dalam dua definisi. Pertama, liberal yang bermakna ‘bebas dari’ dominasi, hegemoni struktur yang menindas atau aktor yang menindas. Kebebasan jenis ini bersifat pasif dan mendasar. Agar individu dapat melakukan aktivitas atau tindakan pertama kali ia harus bebas dari segala bentuk ketertekanan, kererkungkungan, dominasi dan intervensi.

Kedua, liberal yang bermakna ‘bebas untuk’ melakukan tindakan-tindakan yang bertujuan membebaskan individu atau masyarakat dari ketertekanan, ketertindasan juga dominasi dan intervensi. Dalam term yang kedua ini, kebebasan juga bisa berarti pembebasan. Sifat kebebasan yang kedua yakni aktif. Coba perhatikan buku Islam Liberal: Kritik Terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan, karangan Leonard Binder. Menurutnya Islam liberal merupakan kritik terhadap ideologi pembangunan yang ternyata melahirkan ketimpangan di sana-sini. Mirip dengan Islam Kiri atau al-Yasar al-Islam Hassan Hanafi. Juga bandingkan definisi liberal menurut Isaiah Berlin, dalam Empat Esai Kebebasan.

Coba perhatikan, pada titik ini bukankah liberal serupa dengan ideologi yang kekiri-kirian? Meskipun pada dasarnya liberalisme berangkat dari epos sejarah perjuangan kaum bangsawan terhadap dominasi gereja. Pemaknaan secara luas, yakni perjuangan sekelompok orang untuk melawan segala bentuk dominasi. Sedangkan sesudah bangsawan berkuasa dominasi dalam bentuk lain—secara ekonomi—akan terjadi. Pada titik ini, revolusi komunis atau sosialis merupakan praksis pembebasan (liberating) dari kelas berkuasa.

Untuk itu, saya memaknai liberal bukan dalam kerangka ideologi-ideologi besar yang telah mati—lihat Daniel Bell atau Fukuyama—melainkan sebuah ideologi perlawanan yang terserak di mana-mana yang selalu mengelilingi pusat kekuasaan. [l]iberalisme menurut saya merupakan jejaring kompleks anti-kuasa (status quo). Pada titik ini Foucault sudah menggambarkannya dengan sangat baik.

Kebebasan menurut saya tidak harus menunjuk kepada kapitalisme. Mengingat modus kebebasan sebenarnya muncul di banyak ideologi. Hanya mengaitkan kebebasan dengan kapitalisme, menurut saya merupakan pandangan yang terlalu picik dan masih terbayang-bayangi oleh narasi besar yang sebenarnya sudah mati. Kebebasan menurut saya yakni ketika individu mampu dan mau berkata “tidak” pada penindasan yang dirasakannya. Dan pada sisi lain mengupayakan pembebasan bagi dirinya, kelompoknya, masyarakatnya atau umat manusia untuk menuju pada kehidupan yang lebih adil dan beradab.

III
Dengan apa saya mencapai kebebasan atau pembebasan? Jika kita lihat latar belakang di atas, maka dapat kita lihat bahwa kebebasan lahir dari akal budi yang kritis. Tidak sekedar rasionalisme (instrumentalis) melainkan juga melalui nilai kemanusiaan sebagai perwujudan dari budi yang luhur. Mendasarkan hanya kepada rasionalisme, kita akan terjebak kepada positivisme yang dominatif. Karena pada dasarnya rasionalisme bersifat menindas, menguasai dan memanipulasi apa-apa yang berada di luar kesadarannya. Coba lihat Kritik Ideologi karangan Habermas.

Melalui humanisme, kita akan menemukan kebebasan merupakan praksis perlawanan bagi penindasan. Kebebasan sangat menjunjung tinggi visi kemanusiaan yang mendunia. Lihatlah, pemahaman agama tanpa diliputi nilai kemanusiaan akan nampak gersang dan legal-formal dan cenderung menindas, memberangus apa-apa yang keluar dari pakem keberagamaan arus utama (mainstream).

Sehingga melalui proses yang panjang, saya berani memanifestokan bahwa kebebasan atau liberal-isme, merupakan bentuk perlawanan yang di dasari oleh;
[] Relativisme pandangan. Bahwa setiap pandangan seseorang selalu bersifat relatif dan selalu mengandung motif atau kepentingan tertentu. Dengan merelatifkan pandangan, kita dapat melakukan penilaian kritis terhadap apa-apa yang sedang berlaku.

[] Rasionalisme kritis. Artinya untuk mampu membebaskan diri dari ketertindasan, sikap rasional kritis dibutuhkan sebagai analis yang mampu membongkar selubung ideologi yang direproduksi oleh struktur sosial yang timpang.

[] Humanisme universal. Pembebasan tidak hanya berhenti pada praksis komunitas atau golongan tertentu, melainkan secara umum ditujukan kepada umat manusia.

[] Transendentalisme pandangan. Transenden tidak semata mengacu kepada unsur atau nilai ketuhanan, melainkan juga cinta-kasih dan sebagainya. Artinya, praksis pembebasan merupakan praksis kemanusiaan yang seiring dengan nilai transendental, entah itu skuler transendental—dalam wilayah negara-masyarakat/sosio-politik. Atau teo-transendental—dalam wilayah masyarakat-agama/sosio-agama.

[] Anti-anarkhi. Kebebasan bukan dalam rangka mewujudkan kondisi zonder order atau tanpa keteraturan. Melainkan zonder order to order.

[] Apresiasi tradisi. Kebebasan tidak hanya menjunjung tinggi nilai-nilai modern, melainkan juga melakukan kritik kepada modernitas dan tidak segan-segan kembali kepada tradisi sebagai salah satu nilai kebudayaan yang humanis dan transenden.

[] Inklusif dan toleran. Kebebasan tidak meniscayakan diri sebagai pengampu kebenaran. Ia justru menghargai perbedaan pandangan (lihat poin 1&6) dan tidak segan untuk belajar dari yang lain. Kebebasan selalu bersifat terbuka.

VI
Mengapa saya liberal? Ternyata untuk menjawab pertanyaan sederhana ini saya membutuhkan waktu yang panjang agar saya yakin untuk ‘memilihnya’. Pengalaman kehidupan menurut saya merupakan konteks yang melahirkan pemahaman saya tentang kebebasan di atas. Tujuh poin di atas merupakan refleksi saya terhadap apa-apa yang bisa—menurut saya—nisbatkan kepada liberal atau kebebasan.

Memang jika kita lihat, tujuh poin di atas tidak akan berbeda jauh dengan semangat ideologi kiri. Karena sekali lagi, praksis kekirian merupakan perwujudan dari semangat pembebasan atau liberating. Di lain kesempatan, saya juga pernah menulis kiri-liberal, yang menurut saya tidak bertentangan dengan poin-poin pandangan di atas.

Di lain sisi, formulasi dan definisi sebenarnya saya insyafi sebagai proses reduksi makna atau realitas. Tetapi, formulasi dan definisi masih kita (masyarakat manusia) butuhkan untuk berkomunikasi. Hakikat hanya terletak pada rentetan proses panjang yang seringkali tidak bersifat hitam-putih.

V
Latar belakang di atas disusun bukan dalam rangka mencela praktik feodal dalam dunia pesantren, khususnya PP HM Putra Lirboyo Kediri. Tetapi merupakan refleksi atas realitas yang sebenarnya timpang. Untuk itu saya mohon maaf apa bila ada sebagian pembaca yang merasa tersinggung.

Lebih jauh, meskipun pengalaman di pondok menurut saya merupakan pengalaman yang kurang manis, saya sangat berterima kasih kepada PP HM Putra Lirboyo Kediri, karena telah mengantarkan saya pada kedirian sikap. Selain itu, secara teknis, meskipun hanya mampir dua tahun, saya menjadi mampu memahami pemikiran Islam dan menjadi tidak asing dengan term-term bahasa Arab. Secara tulus, sekali lagi saya beterimakasih kepada Romo Yai Imam Yahya Mahrus, dewan asatidz dan seterusnya.

Terakhir, saya meyakini bahwa Tuhan menciptakan banyak jalan yang berbeda untuk masing-masing orang yang berbeda. Pluralitas pengalaman mengantarkan kita kepada pluralitas pandangan. Keesaan hanyalah satu milik-Nya. Wallahu a’lam bishshowab. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

2 comments :

welcome my friends mengatakan...

ana g setju dg anda?>>>
cukup,
nanti ana mau ke HM.
by zenu

Anonim mengatakan...

ketimpangan memang mungkin terjadi di mana-mana, tapi kadang penindasan atau bukan hanya masalah persepsi dan perspektif, kecuali kamu pengikut strukturalisme Marxian tentu saja. lagi pula, satu hal kawan, liberal dan kiri kok kamu campur adukkan, belum lagi pemikir pasca modern macam Foucault. hmmm... tentu tidak ada yg salah dengan eklektisisme macam itu, tapi sepertinya ada banyak buku yg harus kau baca lagi.
selamat.