3.5% & 96.5%


Oleh: Firdaus Putra A.

*
Pernyataan "3.5% religius dan 96.5% religiusitas" saya pinjam dari Emha Ainun Najib (Cak Nun). Menurutnya, dari 6000 ayat Quran, hanya 3.5% saja yang berbicara tentang ibadah mahdloh atau ihwal religius. Selebihnya, berbicara masalah ibadah muamalah dalam kerangka religiusitas. Dengan bahasa lain, dari banyaknya ayat Quran, justru sebagian besar berbicara tentang kesalehan sosial yang berada pada landscape kemanusiaan-kemasyarakatan.

Pada kuota yang pertama, 3.5%, seperti salat, puasa, zakat, dan seterusnya, sudah sepantasnya kita ikuti ketentuan agama. Prinsipnya, apa yang diperintahkan oleh Tuhan melalui Quran-Hadist, adalah yang boleh. Sedangkan kuota yang terakhir, 96.5%, menganut kaidah apa yang tidak dilarang oleh Tuhan, adalah sesuatu yang boleh dikerjakan.

Tulisan ini lebih menyoroti masalah yang terakhir. Pokok permasalahannya adalah agama di ruang publik, bukan privat. Dalam trilogi keberislaman, kita kenal konsep; iman, islam, dan ihsan. Sehingga apa yang akan kita bicarakan lebih pada wilayah ihsan, akhlak atau etika publik.

Dalam mendiskusikan persoalan agama di ruang publik, seringkali sebagian masyarakat Islam mengalami kegagapan. Terlihat dengan adanya penggunaan indikator nilai yang tumpang-tindih. Di dalam ruang iman, indikator nilai yang digunakan semestinya adalah kufr atau mukmin. Dalam ruang Islam (syariah), indikatornya yakni halal atau haram. Sedangkan di ruang ihsan (publik), maka indikatornya adalah tepat/pantas atau tidak.

Menumpang-tindihkan indikator nilai tiga variabel di atas berakibat pada masalah yang seharusnya mubah, menjadi haram. Atau sebaliknya. Di masyarakat sering kita temukan praktik tersebut, misal, “Yang tidak mendukung berdirinya khilafah Islam, maka kafir”. Padahal, pilihan sistem pemerintahan berada pada wilayah publik. Seharusnya, indikator yang digunakan bukan kufr atau mukmin. Melainkan apakah pilihan sistem tersebut tepat (sesuai) dengan konteks yang ada atau tidak. Saya rasa hal ini perlu terjelaskan di awal agar keberanian kita dalam berijtihad, semakin bersemi dan tersemai.

**
Sebagai agama yang menyejarah, Islam tidak bisa dilepaskan dari konteks di mana agama itu berada. Tali-kelindan dengan aspek kehidupan yang lain menjadi niscaya. Artinya, Islam tidak bisa dimaknai sebagai korpus yang tertutup dan steril dari anasir sosial lainnya. Anasir sosial ini bisa beragam warna dan isunya. Sebutlah demokrasi, HAM, kesetaraan gender, sistem kenegaraan, sistem pendidikan, sistem kesejahteraan sosial, kebijakan atau pelayananan publik, dan seterusnya.

Islam sebagai korpus terbuka, mau tidak mau harus berinteraksi dengan isu-isu sosial tersebut. Perdebatannya bukan lagi mempermasalahkan apakah di dalam Islam ada nilai-nilai yang mendukung demokrasi, HAM, kesetaraan gender, dan seterusnya, melainkan bagaimana Islam menjawab isu-isu yang sebelumnya tidak muncul semasa Nabi Muhammad hidup, baik di Mekah maupun Madinah.

Berdebat pada masalah ada-tidaknya nilai-nilai tersebut di dalam Islam, justru akan membuat kita mundur. Sekurang-kurangnya dalam perdebatan itu mengandaikan bahwa Islam bersifat ekslusif dan sama sekali tidak bersinggungan dengan budaya atau peradaban di belahan bumi yang lain. Padahal sejarah mencatat, kemajuan peradaban Islam juga tak lepas dari proses peminjaman tradisi filsafat Yunani.

Memahami Islam dengan cara pandang di atas tidak lantas membuat masyarakat Islam sekonyong-konyong menerima suatu perubahan sosial (permisif). Justru, masyarakat Islam tetap harus mempengaruhi, dan bila perlu, mengarahkan perubahan tersebut agar sesuai dengan prinsip umum, Islam sebagai agama yang memberi rahmat bagi seluruh alam.

Memahami agama dengan cara demikian, kita akan mendapatkan insight baru dimana seluruh aspek kehidupan senantiasa terkait dan terinspirasi dalam Islam. Biasanya persolan muncul ketika masuk ke ruang metodologi, metode dan seterusnya.

Sebagai contoh, banyak orang yang menganggap bahwa teori/pengetahuan yang dilahirkan Barat, sama sekali berbeda atau bertolak belakang dengan Islam. Dengan rasionalisasi yang dangkal mereka akan mementahkan pengetahuan tersebut. Parahnya, mereka memvonis, bahwa menggunakan pengetahuan Barat, sama dengan kufr. Padahal tidak ada kategori kufr atau semakin beriman ketika kita meminjam teori/pengetahuan tersebut. Justru yang perlu dipersoalkan, apakah teori/pengetahuan tersebut sesuai dengan konteks masyarakat kita atau tidak.

Ilustrasinya, konsep negara bangsa pada awalnya lahir di Eropa. Seiring berjalannya sejarah, konsep atau model tersebut tersemai ke seantero dunia. Tidak ketinggalan, para pendiri negeri ini juga meminjam konsep tersebut. Dibentuklah Indonesia dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan mempertimbangkan kemajemukan suku bangsa, agama, adat, kepulauan dan lain sebagainya, ternyata konsep negara bangsa lebih bisa diterima daripada negara Islam. Proses ijtihad ini tidak bisa kita hukumi sebagai kufr atau beriman, halal atau haram, tetapi tepat atau tidak.

***
Ada beberapa pokok masalah yang perlu kita pertimbangkan secara serius; Pertama, agama di ruang publik lebih besar porsinya daripada di ruang privat. Hal ini mengandaikan, sebagai masyarakat Islam, seharusnya kita bisa lebih rasional dan bijak dalam bersikap. Mengingat, formulasi nilai atau etika publik tidak bersifat imperatif (semata keharusan-kepatuhan). Ruang publik—meminjam pengetahuan Barat (Jerman)—oleh Habermas, didefinisikan sebagai proses komunikasi untuk saling memahami antara satu dengan lainnya. Tujuan akhir dari komunikasi yang bebas dominasi itu yakni konsensus atau kesepakatan. Pada titik itulah, nilai atau etika publik akan lahir dari logika kepantasan umum (public decency).

Kedua, ruang publik mengandaikan sikap untuk terbuka. Sehingga, ketika masuk ke ruang publik, Islam harus dipahami sebagai korpus terbuka. Islam bukan sebuah makhluk yang diam dan beku. Melainkan ibarat organisme yang senantiasa tumbuh dan berkembang seiring zaman. Juga dipengaruhi dan mempengaruhi lainnya.

Dua poin di atas bisa berjalan ketika masyarakat Islam memahami agamanya dengan tidak mengesampingkan akal-budi. Bahkan harus menggunakannya. Sehingga, saya meyakini, bahwa porsi penggunaan akal-budi dalam Islam pada dasarnya sangat besar. Karena, sudah dari sananya, Islam ditujukan untuk umat manusia dengan segala pengalaman riilnya.

Sayangnya, seringkali potensi besar akal-budi ini harus tertutup dengan jargon/slogan yang ingin memposisikan Islam hanya sebagai ideologi politik. Ironisnya, mereka juga salah dalam menggunakan indikator nilai yang saya sebut di muka. Atau bisa jadi hal tersebut disengaja. Wallahu a’lam bishshowab.[]


_________
* Dimuat di buletin Profetika Edisi I April 2008 dengan judul asli "3.5% Religius dan 96.5% Religiusitas" diterbitkan oleh LS Profetika Purwokerto bekerjasama dengan REPRO Jakarta.

23/05/2008
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

2 comments :

rumah imaji mengatakan...

"Apakah saya bisa masuk syurga bila hanya bisa baca Alhamdu? Apakah saya bisa masuk surga karena doanya pake basa jawa? Apakah saya bisa masuk surga karena nggak bisa basa arab?"

Anonim mengatakan...

terima kasih, akhirnya sampeyan mampir. saya membayangkan Tuhan tidak lah seperti seorang accounting yang memegang kalkulator sembari menghitung;
1. bisa baca quran [20 poin]
2. bisa bahasa arab [10 poin]
3. dll...

saya rasa Tuhan tak sebirokratis seperti hamba-hambanya. atau memang hamba-hambanya terlalu berprasangka kalau Tuhan adalah Dzat yang Birkratis.

maybe yes, maybe no!
nuwun.