
Oleh: Firdaus Putra A.
Mencurigai Ajektif
Bagi sebagian orang menambahkan ajektif atau pensifatan pada kata “Islam” dirasa problematis. Ada kesan proses pensifatan ini merupakan proses polarisasi, pengkotak-kotakan, atau praktik politik devide et impera. Bagi kalangan yang gemar mengonsumsi teori-teori konspirasi, seperti karangan William G. Carr, dan sebagainya, pastilah akan memandang bahwa pensifatan Islam merupakan taktik Yahudi atau pihak asing dalam rangka mengadu domba dan memperlemah umat. Pandangan semacam ini cukup populer di masyarakat. Sebagian masyarakat lebih menyukai jargon “Islam ya Islam, titik!”
Menengok ke empat atau lima tahun yang lalu, di Indonesia beberapa pensifatan Islam dimunculkan dalam ruang publik kebergamaan kita. Sebutlah Jaringan Islam Liberal (JIL) yang tidak ragu-ragu menggunakan ajektif liberal yang dinilai kontradiktif (contradiction in term). Jaringan Islam Emansipatoris (JIE) yang merupakan salah satu media kerja dari Perhimpunan Pemberdayaan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dan ada juga “Islam Progresif.” Sedangkan di negara lain, Hassan Hanafi memunculkan “Islam Kiri” atau “Kiri Islam”. Bahkan baru-baru ini Irshad Manji memperkenalkan “Muslim Refusenik” sebagai kritik terhadap Islam yang mapan dan kurang manusiawi.
Bagi sebagian orang yang berada pada jalur keberislaman mainstream akan terasa sulit sekali memahami berbagai macam sifat itu. Islam yang semenjak dulu hanya dikenal melalui organisasi masyarakat seperti, NU, Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis, dan lain sebagainya, hari ini justru ditampilkan dalam rupa yang “warna-warni”. Kekagetan atau kegagapan ini sangat bisa dimaklumi dalam konteks bahwa pergulatan intelektual di Indonesia belum sampai menyentuh level grass root. Ada kesenjangan antara ide-ide kritis, progresif, dan liberal yang muncul bak deret ukur, di sisi lain, kesadaran masyarakat tumbuh berkembang dalam logika deret hitung.
Meski demikian, pensifatan terhadap Islam bukan serta-merta berangkat dari nalar elitisme ide. Justru fenomena ini mengindikasikan bahwa kegelisahan sebagian intelektual atau cendekiawan Muslim sudah mampu meneropong jauh dan melakukan usaha-usaha preventif terkait kehidupan beragama dan berbangsa di Indonesia. Kesan menara gading atas pensifatan yang “tak membumi” itu merupakan kekhawatiran yang tidak perlu dirisaukan.
Lantas yang patut kita diskusikan dalam konteks ini, mengapa hari ini banyak pensifatan yang dilekatkan pada Islam? Apakah sekedar bentuk kegenitan intelektual belaka? Atau ekspresi dari keluasan serta kedalaman ide atau pemikiran yang dirasa tak tertampung dalam Islam mainstream? Untuk mengawali diskusi ini, tentu saja kita perlu menelisik—meski sepintas lalu—beberapa entitas Islam yang menggunakan pensifatan.
Islam Liberal
Istilah “Islam Liberal” pada mulanya diperkenalkan oleh Charles Kurzman melalui Liberal Islam: A Sourcebook. Buku ini dialihbahasakan oleh Paramadina sekitar tahun 2001. Buku karya Kurzman ini merupakan suntingan beberapa tulisan lepas cendekiawan muslim di berbagai belahan dunia. Dua di antaranya adalah cendekiawan Indonesia, Nurcholis Madjid dan M. Natsir.
Secara umum ide para cendikiawan dalam buku ini merepresentasikan pemahaman Islam yang “baru”. Sekurang-kurangnya, ajakan untuk kembali “membuka pintu ijtihad” tersuarakan secara tegas. Berbeda dengan pemahaman mainstream yang meletakan akal atau nalar sub-ordinat dari wahyu naql, Islam Liberal mengajak kita untuk mendudukan akal berimbang dengan wahyu. Pada titik tertentu, justru seakan-akan posisi akal melampaui wahyu itu sendiri.
Ajakan untuk mengoptimalkan potensi akal dalam berislam ini merupakan respon terhadap keberagamaan yang semakin jumud, sebatas ritual, bahkan kurang manusiawi. Selain itu, konteks berupa transformasi masyarakat menuju modernitas merupakan anasir sosial yang juga menentukan.
Islam Liberal, meminjam bahasa Nurcholis Madjid, yakni bagaimana agar kita tetap dalam orisinalitas Islam tanpa harus meninggalkan modernitas sebagai keniscayaan sejarah. Menurut para cendekiawan itu, kita perlu melakukan proses—meminjam bahasa Arkoun—rethinking Islam, memikirkan kembali Islam agar mampu bertahan dalam konteks zamannya.
Proses kreatif yang kemudian muncul adalah mendekati Islam secara kontekstual. Artinya, teks-teks utama Islam (Quran, Hadist, dan berbagai pendapat ulama klasik), harus dipahami dalam konteksnya—masa lalu—untuk kemudian diproyeksikan dalam konteks kekinian. Sejurus dengan itu, pada sisi lain, proses kreatif yang digulirkan oleh Islam Liberal merupakan kritik terhadap pendekatan agama yang cenderung tekstual-skriptural, dogmatis, dan puritanistik.
Di sadari atau tidak, ajektif Islam Liberal kemudian berubah menjadi entitas baru dalam masyarakat Islam kita sebagai sebuah gerakan pembaharuan Islam. Isu utama dalam agenda pembaharuan Islam ini bagaimana Islam menjawab kompleksitas masalah kemanusiaan-kemasyarakatan saat ini yang dulu kala belum muncul di masa Nabi, Sahabat, Tabi’in, dan seterusnya. Sebutlah masalah negara bangsa atau nation state, demokrasi, HAM, keadilan gender, dan sebagainya.
Senada dengan itu, gerakan “Islam Emansipatoris” juga “Islam Progresif” merupakan wajah lain dari Islam Liberal. Pensifatan ini dipilih lebih sebagai strategi dalam menghadapi stigma dan stereo tipe masyarakat yang masih ragu dengan validitas “Islam Liberal”.
Menurut Gaus AF., adalah fakta bahwa masyarakat Indonesia masih canggung menerima istilah-istilah yang terdengar aneh atau nyeleneh. Sehingga agar diseminasi gagasan Islam Liberal dapat diterima secara luas dan tanpa keraguan, baju baru perlu diadakan. Langkah ini sangat relevan dilakukan dalam konteks kesadaran masyarakat yang masih menomorsatukan bentuk, simbol atau formalitas. Kesadaran ini merupakan bias dari pendekatan Islam mainstream yang tekstual tadi.
Kiri Islam
Gagasan besar “Kiri Islam” atau al Yasar al Islam pertama kali dikumandangkan oleh Hassan Hanafi di Mesir. Ada dua term penting yang diperkenalkan Hanafi, mufakkir nukhbah (pemikir elit) dan mufakkir jamahir (pemikir massa). Dengan memperkenalkan dua term itu, pokok pemikiran Hanafi sebenarnya sudah bisa kita endus. Sekurang-kurangnya, Hanafi pasti akan menyoal masalah kuasa atau ketimpangan. Mengingat, pembedaan antara elit dan massa tentu saja berangkat dari relasi kuasa yang menyelimuti konteks pemikiran tertentu. Dan bisa jadi, secara tidak langsung Hanafi ingin mendaku sebagai mufakkir jamahir yang senantiasa gelisah terhadap relasi kuasa antara Barat dan Timur.
Ada beberapa poin besar dalam pemikiran Hanafi. Pertama, ia mengangkat masalah al turats (tradisi) dan al hadatsah (yang baru). Dimana kecenderungan saat ini, kaum muslim lebih sering merujuk at turats sebagai bagian dari tradisi Islam paska Nabi, Sahabat, Tabi’in dan seterusnya. Pada sisi lain, kaum muslim terlihat khawatir bahkan ketakutan terhadap sesuatu yang baru (al hadatsah) yang muncul di luar Islam, misal Barat. Fenomena ini cukup menggelisahkan baginya, mengingat kecenderungan lebih berat ke arah al turats bisa jadi dilatarbelakangi oleh prasangka budaya. Lebih jauh, hanya dengan al turats, sejatinya kaum muslim tengah menutup diri.
Sebagai jalan keluarnya, ia menyarankan agar kaum muslim secara bersamaan merujuk keduanya. Juga pada saat bersamaan kritis terhadap keduanya. Proyek Hanafi berangkat dari asumsi bahwa peradaban dunia, besar bukan dengan sendirinya, melainkan melalui proses kerjasama atau saling meminjam tradisi peradaban lain. Lebih mengerucut, Hanafi ingin mengatakan bahwa modernitas yang berasal dari Barat juga pantas dinikmati oleh kaum muslim sebagai bagian dari masyarakat dunia.
Selanjutnya, konsisten dengan penelusuran al turats wa al hadatsah, Hanafi menggulirkan proyek oksidentalisme yang merupakan kritik dari orientalisme. Oksidentalisme merupakan kajian pemikiran, tradisi Barat atau kebaratan yang lahir dari kegelisahan intelektual terhadap praktik diskursif orientalisme yang bias Barat. Dengan oksidentalisme ini, Hanafi ingin mengembalikan Barat pada rel peradabannya. Yang artinya, ia sedang melakukan kritik aktif terhadap bentuk arogansi intelektual Barat yang menindas peradaban lain (Timur).
Patut dicatat bahwa oksidentalisme versi Hassan Hanafi bukan merupakan lawan dari orientalisme. Tetapi sebagai proses dialektik yang akan selalu mengisi kekosongan pengetahuan antarperadaban itu. Bisa juga kita sebut oksidentalisme merupakan cermin bagi orientalisme untuk mengenal dirinya (al ana). Dan orientalisme merupakan al akhar (the other – yang lain) bagi oksidentalisme memahami peradabannya. Proses dialektik yang senantiasa menyadarkan tapal batas antara al ana dengan al akhar, dengan sendirinya akan “memukul mundur” Europasentrisme yang mendaku sebagai universalisme peradaban.
Kulminasinya, setelah melalui proses saling kritik, kaum muslim tidak perlu lagi menutup diri dari perubahan sosial. Justru, kaum muslim harus senantiasa berpartisipasi dalam perubahan itu agar tidak selalu terkungkung dalam hegemoni juga dominasi Barat. Salah satu caranya adalah dengan menerima al hadatsah secara kritis dan bijak.
Muslim Refusenik
Berbeda dengan pensifatan-pensifatan di atas, “Muslim Refusenik” terlihat lebih garang daripada lainnya. Secara harfiah “refusenik” bisa kita maknai sebagai penolakan atau pengingkaran. Tentu saja, pensifatan ini secara lugas memberi pemahaman bagi kita bahwa ada “sesuatu” yang ditolak oleh penggagasnya, Irshad Manji.
Cendekiawan Muslimah ini juga terbilang sangat kontroversial. Sekurang-kurangnya publik akan heran atau geram ketika mengetahui bahwa dia adalah seorang lesbi. Dalam bukunya, Beriman tanpa Rasa Takut, ia menyuguhkan ziarah ke masa lampaunya, dimana saat itu ia menerima pendidikan agama (Islam) secara dogmatis. Tidak ada kata lain kecuali menerima apa yang guru agama ajarkan. Sedangkan dirinya, termasuk insan yang dianugerahi Tuhan dengan rasa ingin tahu (curiosity) yang besar, tidak bisa menerima indoktrinasi. Setiap kali kegelisahan teologis ia lontarkan, maka saat itu juga ia mendapat peringatan bahkan masalah di sekolahnya. Saat itu, ia tidak pernah bisa menikmati kebebasan beriman, kebebasan berfikir, juga kebebasan berekspresi. Sehingga relevan kalau bukunya mengambil bentuk Beriman tanpa Rasa Takut.
Selain pengalaman di madrasah yang membuatnya terkungkung, juga keperihatinannya meluap ketika membaca kliping dari Agece France-Presse yang menginformasikan bahwa di Nigeria ada seorang perempuan berusia tujuh belas tahun yang sedang hamil dihukum cambuk 180 kali oleh Pengadilan Islam karena tuduhan melakukan hubungan seks di luar nikah. Juga ada seorang gadis yang dihukum cambuk 180 kali karena dipaksa berhubungan seks (diperkosa). Sebagai seorang Muslim dan perempuan ia tidak bisa menerima fakta yang mencengangkan itu.
Kegelisahannya berangkat dari konteks kehidupan beragama yang sangat dogmatis bahkan sampai titik tertentu fasis. Tidak bisa dilupakan, ia juga sangat membeci budaya patriarkhi yang pada titik tertentu justru dilegitimasi oleh agama. Kegelisahan intelektual ini mewujud dalam penolakannya terhadap bentuk-bentuk keberislaman yang anti-kemanusiaan.
Meski ia tak sepiawai pemikir lain dalam memformulasikan dan mensistematiskan kritiknya, semangat yang ia bangun adalah mengupayakan beriman dan berislam dengan nalar, juga hati nurani. Ia sangat rindu terhadap kebebasan berkeyakinan, beragama, dan berekspresi.
Sampai di penghujung buku itu, secara lugas ia berterima kasih terhadap peradaban Barat. Lantaran—tulisnya—ia tak perlu takut ketika harus berbeda dengan yang lain. Ia tak perlu takut dengan keliberalannya yang mengkritik habis ortodoksi. Pada sisi lain, hal ini bisa dimaknai sebagai kritik tak langsung terhadap dunia Islam (Timur) yang belum mampu menjamin keimanan, agama, juga pemikiran seseorang.
Refusenik merupakan kata sifat atau kata kerja yang dapat dialamatkan pada penolakan terhadap bentuk-bentuk diskriminasi, ketidakadilan gender, kejumudan berfikir, kekerasan atas nama agama, dan praktik-praktik tak manusiawi lainnya yang berlandaskan agama. Refusenik bukan bermakna menolak Islam, melainkan ia menolak kesewenang-wenangan yang berlindung di balik Islam.
Memaknai Ulang
Ada makna umum dari sekian ajektif dari berbagai gerakan atau pemikiran cendikiawan di atas, sekurang-kurangnya, baik liberal, progresif, emansipatoris, kiri, dan terbaru refusenik, menunjuk pada proses kritik tiada henti pada kemapanan beragama. Proses kritik ini tidak sekedar membongkar kemapanan, justru yang lebih penting adalah menelenjangi sisi gelap yang disembunyikan dari kemapanan itu.
Pada level lain, secara aktif entitas-entitas “baru” itu menyuarakan pentingnya umat Islam membuka diri terhadap peradaban lain. Artinya, bagaimana umat Islam mau dan mampu memanfaatkan pengetahuan yang lahir di belahan bumi lain, meski secara epistem tidak terkait langsung dengan epistem Islam. Proses kreatif ini bisa kita maknai sebagai proses adaptif-kritis terhadap modernitas, dengan berbagai derivasi pemikirannya, yang lahir pada mulanya di Eropa atau Barat.
Tentu saja, memilih dan menggunakan ajektif tertentu oleh para penggagasnya didasari dengan niat atau semangat tertentu. Artinya, para cendikiawan tersebut tengah memaknai ulang Islam atau keberislaman yang tengah berlangsung saat ini. Pemaknaan tersebut menghasilkan pemahaman tentang “Islam yang baru” yang tidak mampu terepresentasikan hanya dalam kata “Islam.”
Praktik epistemik dan diskursif tindakan semacam ini merupakan proses dekonstruksi makna. Dimana hasil pemaknaan ulang menjadi sebuah—meminjam bahasa Derrida—differance yang tak dapat didefinisikan dalam definisi atau deskripsi mainstream yang telah ada sebelumnya. Proses kreatif ini mengisyaratkan bahwa pemaknaan terhadap Islam senantiasa tidak stabil. Artinya, Islam atau keberislaman senantiasa dinamis, cair, dan organis yang selalu mengikuti gerak zaman juga batasan ruang dimana pemeluknya hidup.
Dalam proses kreatif ini, makna baru mengalir deras dengan membawa nilai-nilai baru, pemahaman, bahkan pendekatan baru yang menuntut pada dialektika pemikiran tanpa henti. Sekali berhenti, ajektif liberal, progresif, emansipatoris, kiri, dan refusenik akan mewujud menjadi tradisional dan lampau. Bilamana saat itu tiba, maka dekonstruksi harus digulirkan, agar sekali lagi, Islam tidak menjadi artefak budaya yang beku yang terpisah antara teks dengan pemeluknya. Agar Islam selalu kontekstual, dimana para pemeluknya mampu menghayatinya secara kaffah, makna-makna baru justru harus senantiasa digulirkan.
Bila kita yakini Islam merupakan agama yang senantiasa kompatibel dengan semangat zaman dan tempat, “al islamu likulli al zaman wa al makan”, maka proses dekonstruksi makna merupakan keniscayaan sejarah. Menghentikan proses ini sama artinya memasukan Islam dalam museum peradaban dunia sebagai salah satu peninggalan bersejarah yang lepas dari kita, dan tentu saja, menjadi tak pantas untuk kita hidupi lagi. Wallahu a’lam bish-showab. []
0 comments :
Posting Komentar