Welcome Irrasionalitas


Oleh: Firdaus Putra A.

Rasionalitas seperti apa yang mampu menjelaskan “penyakit” yang dialami Noer Sayidah, warga Samarinda, Kutai, Kalimantan Timur. Pasalnya, dari perut dan dadanya keluar kawat berwarna hitam berukuran 10-12 cm. Kita bisa saksikan itu ditayangan Fokus Siang Indosiar beberapa hari yang lalu. Dalam kepercayaan Jawa atau tradisional fenomena ini kita sebut “santet”.

Beberapa bulan yang lampau, kejadian ganjil juga pernah terjadi di salah satu wilayah di Jawa Barat. Lebih dari tiga orang meninggal berurutan. Disinyalir mereka meninggal setelah sehari sebelumnya menebang pohon tua di sebuah kuburan. Warga gempar, lantaran fenomena ini diblow-up mass media.

Tidak hanya mass media, otoritas negara harus turun untuk memastikan. Menteri Kesehatan langsung meninjau tempat terjadinya perkara. Penelitian pun dilakukan. Versi negara, mereka meninggal lantaran memakan tempe gembus (dage atau bongkrek) yang tercemar bakteri. Sedangkan menurut warga, orang-orang yang meninggal sama sekali tidak memakan tempe gambus yang dimaksudkan. Warga menyebut fenomena itu sebagai “pagebluk”.

Dan hampir satu atau dua tahun yang lalu, seorang warga desa menjadi terkenal karena dianggap linuwih. Saat ini dirinya menjadi ikon dari iklan minuman suplemen tertentu. Orang tua itu bernama Mbah Marijan. Lelaki yang menolak pindah dari rumahnya karena yakin bahwa gunung Merapi tidak akan meletus.

Di sisi lain, negara sudah turun tangan dengan memberi status wilayah merapi yang kemungkinan besar meletus. Terbukti kemudian, Merapi tidak pernah meletus. Kepercayaan Mbah Marijan benar dan menang. Kita sebut beliau memiliki kemampuan lain, “linuwih” karena memahami nilai-nilai lokal (local wisdom).

Tiga fenomena di atas merupakan peta pertarungan antara rasionalitas dengan irrasionalitas. Tiga irrasionalitas dalam ruang publik saat ini—sekurang-kurangnya melalui mass media—beradu memperebutkan opini publik. Dan terlihat, beberapa kali rasionalitas harus kebakaran jenggot. Irrasionalitas menang, rasionalitas bertekuk lutut.

Bagi para ilmuwan irrasionalitas tak hanya berbahaya. Berbahaya karena irrasionalitas tak dapat diteliti, tak dapat dikontrol dan tak dapat dikendalikan oleh mereka. Sekurang-kurangnya pendekatan rasional seperti inilah (dapat diteliti, dapat dikontrol, dan dapat dikendalikan) yang terjadi semenjak zaman modern berlaku. Rasional manakala mencukupi beberapa klaim, di luar itu pengetahuan seberapa pun canggihnya dianggap irrasional, mistik, dan klenik.

Secara sosiologis orang-orang modern mempercayai bahwa sejarah manusia bergerak linier. Sebutlah August Comte yang ditasbihkan sebagai Bapak Sosiologi, ia menyatakan bahwa perubahan masyarakat dimulai dari teologis kemudian metafisik dan yang paling mutakhir adalah positivistik. Memang dalam teori itu tidak menerangkan potensi campuran antara tahap satu dengan yang selanjutnya. Percampuran ini yang nampak di beberapa fenomena yang terjadi di tanah air. Meski ilmu pengetahuan dan teknologi sudah cukup membudaya di negeri ini, kepercayaan akan hal-hal di luar nalar tetap menjamur dan terwariskan dari satu ke generasi selanjutnya.

Potensi membakukan, mengkerangkakan, dan mentotalitaskan penjelasan terhadap seluruh gejala sosial yang terjadi di masyarakat merupakan ambisi fondasionalisme ilmu pengetahuan. Belajar dari logika ilmu alam, para ilmuwan sosial positivistik menganggap bahwa dengan menemukan hukum sosial suatu gejala sosial, maka perubahan ke depannya akan dapat diprediksi, dikalkulasi dan dikendalikan. Nalar ini menjamur di era 1970-an. Paradigma positivisme dengan kuantitatifnya lebih mendapat simpati di perdebatan ilmiah.

Dalam babak pegulatan ilmu pengetahuan sosial, kita lihat Teori Kritik Sosial datang untuk mengoreksi kepercayaan positivistik itu. Adorno dan Horheimer menyatakan bahwa logos masyarakat modern tak ubahnya mitos masyarakat primitif. Keduanya sama-sama melakukan mimesis atau peniruan. Akhirnya, menurut dua pemikir itu, logos menjadi mitos baru. Sayangnya, penjelajahan intelektual itu berujung pada pesimisme.

Melampaui paradigma positivistik atau kritis, posmodern datang membawa kabar gembira. Pertarungan antara rasionalitas dengan irrasionalitas tidak mengharuskan salah satu yang menjadi pemenangnya. Baik rasional pun irrasional, dua-duanya patut dirayakan, patut dipertimbangkan dan dipergunakan.

Semenjak itu, kearifan-kearifan masyarakat tradisional atau pedalaman tidak ditindas dan diberangus oleh klaim rasional, berbudaya atau beradab. Sebutlah Mbah Marijan yang membawa kabar gembira bahwa Merapi tidak akan meletus, merupakan salah satu dari sekian banyak kearifan lokal yang tak terpahami oleh nalar positivistik. Namun, fakta menunjukan bahwa kearifan itu pada titik tertentu ternyata lebih canggih daripada teknologi deteksi gempa, pencatat aktivitas gunung yang diselenggarakan lembaga modern nan rasional.

Lantas, bagaimana cara teknologi kedokteran menjelaskan fenomena Noer Sayidah yang tubuhnya mengeluarkan kawat? Juga bagaimana menerangkan kematian beberapa warga yang tak mengonsumsi tempe gembus tetapi menebang pohon di kuburan?

Boleh jadi beberapa fenomena irrasional itu memberi peluang untuk membuka pintu irrasional yang telah lama ditutup, dibungkam dan ditindas oleh rasio modern. Dalam alam posmodern, semuanya menjadi sah, dan semuanya menjadi layak untuk kita perhatikan, baik rasionalitas pun irrasionalitas. Selamat datang irrasionalitas! []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

5 comments :

Anonim mengatakan...

Mungkinkah posmodern akan memberi kita sebuah 'logika baru' tentang santet, teluh, dan teman-temannya sehingga kita bisa menerimanya dengan sepenuh hati?

Setelah membaca ini saya jadi sedikit sadar kenapa ada tabloid yang membahas tentang hal tersebut bernama posmo..:D Posmodern memang 'mengijinkan'nya.

Nice blog. Salam kenal.

Kristina Dian Safitry mengatakan...

ironis amat seh?

Anonim mengatakan...

yah selamat datang irrasionalitas

postingan keren pak! mantab !

tito mengatakan...

irasionalitas adalah lawan kata dari rasionalitas yang ditempatkan di posisi yang negatif dan salah karena irasionalitas dinilai tidak dapat menjelaskan fenomena dengan rasio manusia. padahal tidak semua kebenaran dapat dibuktikan secara empiris maupun material. contohnya saja keberadaaan malaikat yang tidak bisa dibuktikan dalam dunia materi. keberadaan malaikat selama ini tumbuh dalam kepercayaan kita. mungkin ini adalah yang dimaksudkan Kant bahwa dunia terdiri dari fenomena dan nomena. ^=^

Anonim mengatakan...

sedih juga ya mendengar irrasionalitas menjadi santapan pokok masyarakat kt....