
Oleh: Firdaus Putra A.
Ada satu Hadist yang berbunyi, “Agama adalah akal, tidak ada agama bagi yang tidak berakal”. Secara lugas Hadist itu menggambarkan tentang posisi dan peran akal dalam beragama. Roda sejarah berputar, dan saat ini posisi dan peran akal sedang berada di bawah. Sehingga, menghubungkan antara agama dengan akal, menjadi sesuatu yang minor dan peyoratif.
Seakan-akan agama (Islam), hanyalah sekedar teks Quran dan Hadist. Padahal, tanpa akal, Quran dan Hadist tidak akan terpahami sama sekali. Selepas diwahyukan, Quran menjadi diam. Terdokumentasi menjadi sebatas mushaf (kitab/tulisan). Ia tidak dapat berbicara. Manusialah yang aktif membicarakannya. Meneliti, mencari penjelasan, mengorek sejarah, dan seterusnya.
Sampai titik itu, Quran (wahyu) dan akal berada pada posisi yang setara. Quran tidak mensub-ordinasi akal. Justru melalui kemampuan akal, kita mampu menyibak makna yang berada dibalik pewahyuan ayat tertentu. Akal menjadi pusat dari kesadaran berislam.
Berasal dari akal, perbedaan tafsir muncul. Imam-imam mazhab lahir dan besar. Kitab klasik/kuning membanjiri pasar. Buku-buku pun tidak ketinggalan. Akal melahirkan pluralitas pendekatan. Juga pluralitas padangan.
Ada sebagian orang cenderung menafsirkan ayat Quran dan Hadist secara tekstual atau skriptural. Mereka hanya mengacu pada makna teks secara tersurat. Tidak heran, kalangan yang menggunakan pendekatan ini terlihat sangat normatif. Tidak ada interaksi antara ayat, akal dan lingkungannya. Pemahamannya menjadi tercerabut dan tidak menyejarah. Kalangan ini terkenal dengan adagium “mengislamkan bumi”.
Di sisi lain, Quran dan Hadist ditafsirkan secara kontekstual. Manusia (akal) tidak melulu harus mengikuti makna harfiah ayat. Melalui kecerdasan akal, ia mampu melampaui dan menelisik makna bathin dari ayat tersebut. Pendekatan ini sangat besar porsinya dalam menggunakan akal. Artinya, interaksi antara ayat, akal, dan lingkungan adalah niscaya. Kalangan ini lebih sepakat dengan ide “membumikan Islam”.
Pada pendekatan yang terakhir, selain melalui akal, mereka juga terbantu dengan adanya hikmah. Al hikmatu al muta’aliyyah. Hikmah adalah budi, wisdom, atau kearifan. Dengan hikmah, pemahaman terhadap ayat tidak menjadi gersang, hitam-putih, bahkan kaku. Hikmah memberikan keluasan dan kelenturan Islam untuk diadaptasikan dalam konteks wilayah yang berbeda. Islam di Arab, berbeda dengan di Indonesia. Dengan hikmah, lahirlah Islam Indonesia. Yakni, Islam yang sudah berinteraksi secara intesif dengan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam budaya masyarakat Indonesia.
Hanya saja mozaik keberagamaan Indonesia saat ini berwajah muram. Kekerasan mengatasnamakan agama masih sering terjadi. Terakhir, Jemaah Ahmadiyyah menjadi kelompok yang ditindas. Pengrusakan tempat ibadah menjadi cerita di media massa. Dalam hingar-bingar konflik berbasis agama, lebih dari 30 kota di Indonesia menerapkan Perda Syariat. Ironisnya, pendidikan (dakwah) pun tidak menjadikan umat semakin cerdas. Dakwah hanya memberikan janji manis tentang surga.
Hari ini kita membutuhkan umat-umat yang cerdas. Umat yang menggunakan kerjernihan akal dan kedalaman budi/nuraninya. Umat yang mampu bertindak berdasarkan alasan yang rasional, tanpa tercerabut dari kearifan budi.
Umat-umat semacam inilah yang akan membawa perubahan menuju kejayaan atau kebangkitan Islam. Bukan umat yang di otaknya penuh dengan doktrin yang menyampah. Bukan juga elit agama yang senantiasa membodohi umat dengan romantisisme masa lalu. Atau doktrin pahala-dosa, surga-neraka, yang nampak menjadi tuhan-tuhan baru.
Umat yang cerdas dan bijak inilah yang akan menjadikan Indonesia tetap berdiri di atas Pancasila yang universal. Bukan di atas agama, aliran, atau golongan tertentu. Merekalah umat yang ditunggu-tunggu zaman yang oleh Rangga Warsita sebut sebagai “zaman edan”. []
___________
Note: Tulisan ini ditujukan sebagai “Editorial” dalam buletin Profetika Edisi I April 2008.
0 comments :
Posting Komentar