
Oleh : Firdaus Putra A.
Penelusuran mitos memasuki ruang diskusi tentang kebenaran. Dalam pada itu, rasionalitas manusia dibutuhkan untuk mengenali mitos-mitos tersebut. Rasionalitas ini berpijak dari berbagai macam teori kebenaran. Di antaranya kebenaran koherensi, korespondensi dan pragmatis. Sesuatu dianggap benar ketika sesuatu itu tidak bertentangan dengan pernyataan sebelumnya yang sudah dianggap benar, inilah kebenaran model koherensi. Sedangkan sesuatu dianggap benar ketika sesuai dengan keadaan senyatanya merupakan kerangka kebenaran korespondensi. Dan terakhir, kebanaran pragmatis yakni sesuatu dianggap benar manakala bisa diaplikasikan. Dalam konteks ini, kita akan lebih menggunakan kerangka kebenaran dua yang pertama, koheresi dan korespondensi.
Nah, untuk membaca mitos-mitos yang berkembang dalam Islam, terlebih dahulu kita harus “menjarakan diri” dengan keislaman kita. Agar tentunya, keimanan, keyakinan dan kepercayaan kita tidak “mengaca mata kudakan” proses tersebut. Obyektivikasi kita perlukan agar penelusuran kita tidak menjadi mitos baru, yakni sebatas apologi atas kesalahkaprahan.
Dibantu dengan berbagai referensi, literatur dan sebagainya, saya menemukan bahwa sedikitnya ada tiga mitos yang berkembang di masyarakat Islam. Yang menjadi masalah bahwasanya mitos-mitos itu seringkali kontra produktif terhadap keberislaman kita selama ini. Ya, sekurang-kurangnya keberislaman kita menjadi kerdil hanya sebatas taqlidi, menerima apa adanya tanpa tahu sebab-musababnya. Idealnya, keberislaman kita melangkah ke level ittiba’i bahkan kalau mampu ijtihadi.
Mitos 6666
Sebagian besar masyarakat Islam meyakini bahwa ayat al Quran berjumlah 6666. meski sumber yang mengatakan itu, hadist, tarikh (sejarah), dan sebaginya, sampai sekarang sulit terlacak. Namun, keyakinan tersebut sudah begitu kuat mendarah daging. Sampai-sampai, untuk menyoal ulang pun kita akan dituduh dengan berbagai label; sesat, murtad, atau sekurang-kurangnya Bani Israil (suka mendebat).
Dalam buku “Benarkah Jumlah Ayat al Quran 6666?” seorang penulis menemukan bahwa sebetulnya seluruh ayat al Quran berjumlah 6236. Dalam sejarah Islam, perdebatan masalah angka ini juga sudah terjadi sejak dulu.
Menurut Nafi’ jumlah ayat al Quran tepatnya adalah 6.217. Sedangkan Syaibah, menyatakan 6214 ayat. Abu Jafar, menemukan 6.210 ayat. Ketiga-tiganya ulama asal Madinah. Berbeda dengan itu, menurut Ibnu Katsir, ulama Makkah, mengatakan jumlahnya 6.220 ayat. ‘Ashim, ulama Basrah, mengatakan bahwa jumlahnya 6205 ayat. Sedangkan Hamzah yang berasal dari Kufah mengatakan bahwa jumlahnya 6.236 ayat.
Perbedaan penghitungan ini berangkat dari masalah kaidah perhentian (ahkamul auqaf – hukum-hukum penghentian bacaan) dalam pelafalan ayat. Selain itu masalah kalimat, “Bismillahiraahmanirrahim”, ada yang memasukkannya sebagai ayat dan ada yang tidak, dan alasan-alasan lain yang mendasarinya. Namun, yang perlu dicatat tidak ada yang menghitung dengan kesimpulan 6666.
Melalui sumber tertentu, “Pseudomania Daemonum”, mitos 6666 kita ketahui merupakan mitos abad ke-16. Yang mungkin saja mitos tersebut tersisip ke dalam sejarah Islam. Dalam buku itu dijelaskan bahwa iblis mengeluarkan pasukan sebanyak enam legiun. Satu legiun terdiri dari 66 kelompok. Satu kelompok terdiri dari 666 rombongan. Dan dalam satu rombongan terdiri dari 6666 bala tentara iblis. Bagi yang gemar teori konspirasi, akan membaca bahwa hal ini merupakan ulah dari “musuh” dalam rangka mengacaukan pemahaman Islam dari dalam.
Kalau mengacu pada Hamzah, maka ada selisih angka 430 antara 6666 dengan 6236. tidak jelas sumbernya, tapi ada yang menafsirkan bahwa angka 430 itu merupakan metafora dari sosok Nabi Muhammad. Lafadl atau kata Muhammad tersusun dari huruf, “mim”, “ha”, “mim”, dan “dal”. Masing-masing huruf ini berfungsi sebagai indeks, sebagai berikut;
Mim huruf hijaiyah ke 24, surat ke 24 adalah An Nuur berjumlah 64 ayat;
Ha huruf hijaiyah ke 6, surat ke 6 adalah al An’am berjumlah 165 ayat;
Mim huruf hijaiyah ke 24, surat ke 24 adalah An Nuur berjumlah 64 ayat;
Dal huruf hujaiyah ke 8, surat ke 8 adalah al Anfaal berjumlah 75 ayat.
Dengan menjumlah nomor urut surat dan total seluruh ayat, (24+64+6+165+24+64+8+75), akan kita peroleh angka 430.
Hasil olah ini merupakan kebetulan yang ajaib. Yakni, para pendukungnya mencoba mengkaitkan dengan teks yang menyatakan bahwa umat Islam harus berpegang teguh pada dua hal; al Quran (6236) dan al Hadist (430). Dimana kita ketahui bahwa hadist merupakan ucapan, tindakan dan penetapan Nabi Muhammad.
Baik versi konspiratif atau elaboratif-metaforis, yakni versi Hamzah dan ulama yang tersebut di atas, 6236 atau lainnya. Artinya angka 6666 tidak berkorespondensi dengan seluruh ayat al Quran.
Mitos Ummi
Berbeda dengan angka 6666, mitos ke-ummi-an (kebutahurufan) Nabi Muhammad berangkat dari proses penafsiran ayat al Quran. Dalam buku, “Nabi Muhammad Buta Huruf atau Genius?”, Syekh al Maqdisi menggugat mitos tersebut. Dengan meyakinkan penulis membalikkan berbagai penafsiran yang “membela” bahwa Nabi Muhammad ummi dalam makna tidak bisa membaca dan menulis.
Artinya, beliau sepakat bahwa Nabi Muhammad memang ummi, namun dalam konteks ini ummi bukan bermakna tidak bisa membaca dan menulis, melainkan orang atau kelompok yang bukan berasal dari golongan Yahudi (non-Israel). Dalam surat Ali Imron ayat 20 tersebut, “Katakanlah kepada orang-orang yang telah mempunyai kitab suci dan orang-orang ummi itu, apakah kalian sudah (benar-benar) berserah diri? Jika kalian telah berserah diri, sesungguhnya kalian telah berada dalam bimbingan.”
Ahli tafsir, seperti At-Thabari, menjelaskan bahwa makna ummi dalam konteks itu adalah orang-orang yang belum memperoleh kitab suci dari kalangan musyrik Arab. Senada dengan itu Muhammad bin Ishaq dari riwayat Muhammad bin Ja’far juga memberikan komentar yang sama. Tidak berbeda jauh, Ibnu Katsir menafsirkan ummi sebagai orang-orang musyrik. Demikian berbagai pendapat ahli tafsir yang sempat direkam oleh al Maqdisi untuk menjelaskan makna ummi dalam konteks Nabi Muhammad.
Melalui catatan sejarah, juga dapat kita ketahui bahwa pertama kali Nabi menerima wahyu surat al ‘Alaq. Di dalam Gua Hira melaikat Jibril datang seraya menyeru, “Bacalah!”, Nabi menjawab, ma ana biqari’in. Dalam konteks ini menjadi perdebatan, Syekh Ahmad bin Hajar dalam “Sejarah Baca Tulis, Sifat Ummi (tidak tahu baca tulis) pada Nabi Muhammad SAW”, mengartikan kalimat ma ana biqari’in sebagai “Saya tidak bisa membaca!”. Berbeda dengan itu, Syekh al Maqdisi mengartikan “Apa yang harus saya baca?” Yang pertama menafsirkan huruf ma sebagai penafian (nafyin), sedang yang terakhir sebagai pertanyaan (istifham).
Lantas bagaimana menafsirkannya? Bilamana Nabi saat itu menjawab “Saya tidak bisa membaca!”, bukankah ini bertentangan dengan sifat Allah yang Maha Tahu, dari masalah umum sampai juz (bagian). Bila Nabi memang tidak bisa membaca, mengapa perintah-Nya adalah iqra, “Bacalah!”, bukan utlu, “lafalkan!” atau qul, “katakan!” dan sebagainya. Sehingga jawaban ma ana biqari’in lebih tepat bila diartikan sebagai “Apa yang harus saya baca?”
Fakta Nabi bisa membaca dan menulis bisa kita telusuri juga dibanyak hadist. Misal, saat sakit keras dan umat Muslim mulai cemas masalah siapa berikutnya yang akan menjadi pemimpin, Nabi bersabda, “Ambilkan tinta dan kertas sehingga aku dapat menulis sesuatu yang tidak akan membuat kalian tanpa pedoman setelahnya” (HR. Ibnu Abbas). Meski akhirnya, karena perselisihan antar sahabat, Nabi tidak jadi menuliskan wasiat itu. Atau hadist saat Nabi bermukim di Hudaibiyah dan hadist riwayat Bukhari no.4251 dan lainnya.
Nampaknya sebagian ulama mempunyai khawatir kalau terbukti Nabi Muhammad bisa membaca dan menulis. Mereka khawatir kalau dengan bisa membaca dan menulis itu, dianggap bahwa Nabilah yang membuat atau menciptakan al Quran. Padahal kekhawatiran seperti ini langsung dijawab oleh Tuhan dengan sebuah tantangan. Singkatnya, silahkan bekerjasamalah jin dan manusia untuk membuat satu surat saja yang menyerupai al Quran. Ada yang menyambut tantangan itu, “ Surat Gajah”, namun sama sekali tak menandingi kemukjizatan al Quran, baik dari isi atau bentuk (sastra).
Dengan penelusuran di atas, kita bisa menyimpulkan kalau makna ummi (tidak bisa baca tulis) tidak berkoherensi dengan pernyataan-pernyataan ayat al Quran dan Hadist. Juga melalui sejarah, tidak berkorespondensi dengan fakta-fakta sejarah yang ada. Misal, Nabi semasa kecil dibesarkan oleh pamannya, Abu Thalib, yang adalah ayah dari sahabat Ja’far dan Ali. Sedangkan sejarah mencatat bahwa Ali mahir membaca dan menulis berkat didikan ayahnya. Lantas apakah mungkin kalau paman beliau tidak mengajar Nabi perihal yang sama?
Mitos Tulang Rusuk
Masalah penciptaan manusia, khususnya Hawa mempunyai implikasi yang cukup kuat di masyarakat. Terlebih bagi masalah relasi antara laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa). Sebagian besar masyarakat meyakini bahwa Hawa dicipakan dari tulang rusuk Adam. Cerita ini disampaikan turun menurun oleh kyai dan ustadz, baik di desa atau kota. Implikasinya, Hawa (perempuan) dianggap sebagai the second sex yang adanya Hawa lantaran adanya Adam. Artinya, Hawa (baca: perempuan) semata-mata diciptakan oleh dan untuk Adam (baca: laki-laki). Penafsiran semacam ini menimbulkan ketimpangan gender. Sampai akhirnya para pemikir meneliti bahwa kisah “tulang rusuk” bukan berasal dari Islam. Kisah itu merupakan cerita Israilliyat dari tradisi Yahudi.
Lantas bagaimana Islam membahas masalah Hawa? Menyoal pencipaan Hawa kita tidak bisa melepaskan ihwal penciptaan Adam. Dalam buku, “Ternyata Akhirat Tidak Kekal”, Agus Mustofa mencoba merekonstruksi kemungkinan penciptaan manusia. Ia menyusun tiga premis dasar yang ia bangun dari ayat-ayat al Quran.
Yang pertama, bahwa sebelum Tuhan menciptakan manusia, Tuhan berdialog dengan malaikat.yang kurang lebih sebagai berikut, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat; Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Malaikat berkata; Mengapa Engkau hendak menciptakan di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah. Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau. Tuhan mengatakan; Sesungguhnya Aku lebih tahu segala sesuatu yang kamu tidak mengetahuinya (al Baqarah: 30).”
Yang perlu kita pertegas adalah pernyataan/pertanyaan retoris malaikat, “Mengapa Engkau hendak menciptakan di muka Bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah.” Pertanyaannya, mengapa dan dari mana malaikat tahu bahwa manusia membuat kerusakan di Bumi? Padahal saat itu, Adam sebagai manusia pertama, belum diciptakan oleh Tuhan? Dialog antara Tuhan dan malaikat berlangsung saat Tuhan belum menciptakan Adam (masih dalam kondisi pre-exist).
Lantas apa atau siapa yang dilihat malaikat di Bumi? Mengutip Prof. Ahmad Baiquni, Agus Mustofa menyatakan bahwa malaikat melihat mahluk yang menyerupai manusia, tapi bukan manusia. Secara fisik mirip dengan manusia, tetapi tidak memiliki potensi ‘Kesadaran’ dan ‘Akal Budi’. Baiquni menafsirkan mereka sebagai manusia purbakala yang ditemukan para Antropolog.
Premis kedua, Adam diciptakan melalui mekanisme yang sama ketika Tuhan mmenciptakan Isa. Dalam sebuah ayat kita ketahui, “Sesungguhnya masalah penciptaan Isa di sisi Allah itu seperti penciptaan Adam. Aku ciptakan dia dari tanah. Kemudian dikatakan kepadanya kun fayakun” (al Imran:59). Sedangkan kita tahu kalau Isa diciptakan Tuhan melalui Maryam yang perawan dengan mekanisme partenogenesis (tanpa pembuahan). Dalam komteks ini, para ilmuan mengemukakan bahwa kemungkinan pertenogenesis adalah satu banding satu juta kelahiran.
Adam diciptakan melalui kun fayakun, “Jadilah, maka jadi”. Namun kun fayakun dalam konteks ini bukan seperti sim salabim yang tiba-tiba berwujud manusia utuh. Kun fayakun mengacu pada proses panjang. Lebih lanjut kita bisa membaca proses itu dalam al Quran surat al Mukminun:12-14, Ali Imran: 6, al Hijr: 26, al-Infithaar: 8, dan surat al Thai ayat 4.
Tak ubahnya Isa, Adam juga dikandung di dalam rahim. Agus Musofa, menafsirkan bahwa kemungkinan besar embrio Adam “ dititipkan” pada mahluk yang menyerupai manusia atau manusia purba itu.
Lalu siapa dan bagaimana Hawa dicipakan? Premis ketiga, dalam surat Al-A’raaf ayat 189 terungkap bahwa Hawa diciptakan dari diri yang satu, sama asalnya dari Adam. “Dialah yang mencipakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya dia menciptakan istrinya ...” Jadi, dalam rangka melestarikan keturunan, pada awalnya (kaidah eksepsional), mereka berdua melakukan insest. Yang juga mekanisme tersebut, atas perintah Tuhan, dilakukan oleh Habil dan Qabil pada kedua saudari perempuannya. Dari perkawinan itulah, spesies manusia beranak pinak dan berkembang sampai milyaran seperti saat ini.
Rekonstruksi proses penciptaan ini berkoherensi dengan ayat-ayat al Quran dan juga berkorespondensi dengan beberapa fakta sejarah yang ada. Bisa kita sebut, versi inilah yang mencukupi kebenarannya.
Demitologisasi melalui Pendidikan
Penelusuran terhadap beberapa mitos itu selain mendobrak pemahaman dan pandangan mainstream, lebih ditunjukan sebagai upaya oto-kritik terhadap pendidikan atau dakwah Islam selama ini. Yakni ketika kita melihat bahwa mitos yang ada berkembang secara massif dan membuat sedikit orang untuk mempertanyakan ulang. Artinya, sistem pendidikan atau dakwah kita selama ini telah melenakan umat untuk beraqlid ria, sekedar ikut tanpa tahu argumen atau sebab musabab pastinya.
Di sisi lain, alih-alih membangun rasionalias dan kearifan dalam berislam, dakwah yang ada justru seringkali membatasi ruang keilmuan. Misal, untuk menanyakan suatu hal yang musykil kepada kyai atau ustadz kita sudah disergap rasa takut dan khawatir. Selain itu, jawaban yang disediakan cenderung dogmatis. Contoh ekstrim, ketika ada seorang Muslim gelisah dan bertanya tentang Tuhan, maka kyai atau ustadz, mungkin juga guru atau dosen agama dan pendakwah lainnya, akan menutup dialog itu dengan membacakan ayat al Quran, “Jangan berfikir tentang Dzat Allah. Pikirkanlah saja makhluk-makhluk-Nya.” Atau petikan ayat-ayat lain yang intinya untuk menutup ruang tanya itu.
Nah, dalam konteks inilah perlu kita merekonstruksi pendidikan atau dakwah Islam saat ini. Agar keberislaman yang ada bisa senantiasa naik dari satu jenjang ke jenjang seterusnya. Bukan hanya sekedar berkutat pada masalah wudlu (babul thaharah), salat (arkanul shalat wa syurutul shalat) dan sejenisnya.
Terakhir, semua proses penafsiran terhadap teks-teks suci bersifat hipotesis. Artinya, ada kemungkinan bahwa penafsiran itu salah, di sisi lain terbuka kemungkinan bahwa hal itu benar. Dalam konteks itu, saling koreksi adalah tindakan yang perlu dilakukan. Bukan justru saling mengklaim yang paling benar (truth claim) dan menfatwa sesat, zindiq, murtad pihak lain. Yang perlu kita bangun adalah, bagaimana caranya—dengan berbagai ilmu, metode, dan sebagainya—kita memenuhi kebenaran klaim (rightness claim) sebagai standar bahwa satu pernyataan dianggap benar atau tidak. Selebihnya, hanya Tuhanlah yang mengetahui segala kebenaran yang sehakikinya. Wallahu a’lam bisshowab.[]
Referensi
Al Maqdisi dan Nasarudin Umar (Kata Pengantar). 2007. Nabi Muhammad Buta Huruf atau Genius? Jakarta: Nun Publisher.
Hajar, Ahmad. 2001. Sejarah Baca Tulis, Sifat Ummi (tidak tahu baca tulis) Nabi Muhammad SAW. Yogyakarta: Iqra Publish.
KSA, Bewa dan Firdaus Putra A. (Kata Pengantar). 2008. Benarkah Jumlah Ayat Al Quran 6666? Purwokerto: Cakra Media.
Musofa, Agus dan Mustofa Bisri (Kata Pengantar). 2004. Ternyata Akhirat tidak Kekal. Sidoarjo: Padma Press.
Tekan, Ismail.1998. Tajwid Quranul Karim. Jakarta: Pustaka al Husna.
1 comments :
Syaikh Al Maqdisi adalah nama samaran, seorang misionaris di Arab. Penerbit Indonesia yg menerbitkan bukunya entah teledor atau sengaja, menerbitkan dengan judul "Buta Huruf atau Jenius" sebagai eufimisme dari judul aslinya "Khurrafatu Ummiyatu Muhammad", dia menganggap umminya Nabi yg merupakan ijma` ulama2 pendahulu sbg khurafat. Argumentasinya berkisar seputar penafsiran independen tentang ayat dan hadits tanpa sekalipun mencoba untuk merujuk pada pendapat ulama terdahulu. Silahkan cek ke link misionaris berikut: http://alkalema.site90.net/cd1.htm
dan ini judul buku2nya yg lain: muhammad al watsaniyah (paganisme muhammad), kaafir ibnu kaafir (kafir anak orang kafir), majhul an tarikh muhammad dst. Sayangnya sebagian umat islam yg mudah dibodohi seperti ini.
Posting Komentar