Lisan ke Tulisan


Oleh: Firdaus Putra A.

Sering saya katakan ke teman-teman, kalau menulis merupakan bentuk kecakapan. Menulis bukan sebuah teori tentang menguntai kata, frasa, kalimat dan berujung alenia. Karena menulis merupakan kecakapan atau keterampilan butuh proses yang panjang sampai kita mampu menulis dengan baik.

Tulisan ini berawal dari perdebatan antara saya dengan seorang teman, Master Irfan Ibrahim. Saat itu, sebagai direktur lembaga, saya meminta—atau dalam perspektif struktural—menuntut agar segenap pengurus LS Profetika, mau dan mampu menulis. Mengingat proses ini merupakan kebijakan lembaga, saya mengusulkan bagaimana kalau per dua minggu kita mengumpulkan dua tulisan terbaru. Dalam skenario besar mentradisikan budaya tulis, sebagai awalan tentu saja tidak ada pembatasan tema. Artinya meskipun LS Profetika concern pada kajian sosial-agama, dalam konteks ini tema yang diangkat diserahkan sepenuhnya pada masing-masing individu. Di sana juga tidak ada pembatasan halaman, jenis tulisan, dan sebagainya.

Malam itu, (15/10), Master bersikukuh bahwa menulis merupakan proses yang penting. Namun, ia menghendaki agar proses tersebut “tidak dipaksakan” dalam kerangka tuntutan lembaga. Mengingat, menurutnya, menulis membutuhkan spontanitas dimana tulisan merupakan ekspresi dari apa-apa yang sedang dialami, diperhatikan, atau menjadi kegelisahan penulisnya.

Dalam konteks media ekspresi, tentu saja saya tidak terlalu bermasalah. Hanya saja, proses ini hanya bisa berjalan hanya dan hanya jika kita sedang good mood, dan sebaliknya, sama sekali tidak menulis saat tidak mood atau bad mood? Tentu saja dalam konteks kebijakan lembaga saya kurang sependapat. Meski akhirnya malam itu saya meluluskan permohonan Master untuk sementara waktu sebatas menjadi free rider alias penonton lepas.

Di lain sisi, saya mengamati kalau pergerakan mahasiswa pun mahasiswa kebanyakan cukup minim dalam mengembangkan tradisi menulis. Kalau sekedar menulis dalam rangka menyiapkan pamflet, term of reference, selebaran dan sebagainya, memang sering dilakukan. Hanya saja, dalam proses semacam itu menulis merupakan akibat tak langsung dari logika momentum yang tentu saja mengikuti permasalahan (isu) yang sedang digarap. Artinya, kemauan menulis di kalangan pergerakan mahasiswa masih pararel dengan struktur berfikir Master di atas; moody dalam konteks individu dan momentual dalam konteks aktivis pergerakan atau pergerakan pada umumnya.

Fazlur Rahman, dulu ketika berkunjung ke Indonesia, sempat menyatakan bahwa kekurangan intelektual, pemikir serta aktivis Indonesia adalah kemauan dan kemampuan untuk mengartikulasikan gagasan-gagasan besar dari apa-apa yang diperjuangkannya dalam wujud tulisan. Katanya, para pemikir atau aktivis kita lebih sering menggunakan komunikasi lisan atau per oral. Tentu saja, kritik Fazlur Rahman tidak semata-mata mewacanakan transformasi tardisi lisan ke tulisan, melainkan ada nilai yang lebih besar dari sekedar perubahan tradisi.

Saya mensinyalir bahwa kritik Rahman di atas berangkat dari latar belakang “kelebihan” media tulis daripada lisan. Paling tidak, gagasan yang ditulis akan lebih sistematis daripada sekedar dilisankan (diobrolkan). Sistematikan gagasan ini selain memperkuat basis logika, batu bata argumentasi, juga kemungkinan semakin lebih mudahnya mengenali cacat-cacat logika yang ada dalam sebuah struktur gagasan atau pemikiran. Tentu saja, upaya koreksi, penyempurnaan, bahkan revisi memungkinkan lebih cepat dan tepat.

Selain itu, melalui bahasa tulis lebih memungkinkan sebuah gagasan untuk disosialisasikan secara massif daripada lisan. Di dukung dengan perkembangan pesat teknologi cetak dan informatika, bahasa tulis memungkinkan dikonsumsi oleh seluruh penduduk dunia. Berbeda dengan bahasa lisan yang mensyaratkan relasi tatap muka, bahasa tulis bisa dilakukan kapan dan dimana saja, selama masih tersedia infrastruktur pendukungnya.

Nilai lain yang tak kalah pentingnya bahwa kemungkinan reduksi sebuah gagasan atau pemikiran lebih minimal. Mengingat proses dokumentasi pada sisi lain juga berfungsi sebagai “bukti otentik” dari sebuah gagasan atau pemikiran. Bilamana terjadi reduksi, pengecekan atau klarifikasi lebih mudah dilakukan hanya dengan cara mencari sumber aslinya.

Meski demikian, ada konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan, yakni paska tulisan terpublikasikan, maka penulis bisa dianggap sudah mati. Artinya, sebuah tulisan yang berisi gagasan tertentu sangat mungkin ditafsirkan oleh orang lain dengan makna yang mungkin sama sekali berbeda dengan kemauan si penulis.

Konsekuensi lainnya, bahwa aktivitas menulis sejatinya bukan sekedar aktivitas teknis menyusun kata, frasa dan seterusnya, tetapi merupakan usaha mengkonstruk realitas berlatar perspektif si penulis. Dalam konteks ini, tentu saja tulisan bukan sebuah produk yang bebas nilai. Sebaliknya, tulisan sarat nilai dengan berbagai tingkat kehalusannya. Misal, mengapa si penulis memilih menggunakan diksi (pilihan kata) “Tuhan” daripada “Allah”, atau lebih memilih “mengkritik kapitalisme” daripada “menghancurkan kapitalisme”, dan berbagai macam diksi atau frasa yang semuanya tidak berjalan dengan semena-mena.

Mengingat konsekuensi yang terakhir ini, proses menulis sebenarnya lebih strategis dan politis daripada media lisan. Bagaimana, tertarikkah Anda untuk (tetap) menulis? []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

2 comments :

Anonim mengatakan...

dalam penelitian PEQIP sekalipun, pada karantina sekolah unggulan diujicobakan, terbukti 50% gak dapat menghasilkan karya dalam bentuk tulisan.

pengamat dari inggris bilang, karena budaya baca rendah..etc embel2nya..

mari mengembangkan kreatifitas berfikir utk kemudian dituliskan. Bukankah Plato jg pernah mengutarakan itu juga..
yakni membaca, berdiskusi, menulis deh...

buat master, sy meberi dukungan utk semakin rajin menulis..

Anonim mengatakan...

OK...trimakasih untuk dukungannya! akan coba saya perhatikan.

namun terkadang,untuk membuat sesuat hal,apapun itu, bukan terjadi dalam waktu yang singkat. Motivasi yang memborbardir dalam satu waktu akan menjadi hilang dengan seketika. tanpa kontinuitas!

Kesannya pun Hanya ngikut2x aja dengan kultur menulis yang ada di MeMI ataupun LS Profetika.

tentunya bukan itu yang kita harapkan! Ada makna yang harus dicari untuk mengubah suatu kebiasaan, dan membutuhkan waktu.

Silahkan baca Tulisan saya berjudul "Memawasdirikan Menulis" dengan mengunjungi Blog saya: www.Lostamasterz.co.cc

~SALAM~