
Oleh: Firdaus Putra A.
Saya salut dengan intelektual atau pemikir sekaliber Tan Malaka, Soekarno, Natsir dan sebagainya. Atau sebelum masa mereka, yakni RA. Kartini. Bukan dalam konteks perjuangannya, melainkan dalam konteks media sebagai ajang adu gagasan. Kita ingat bahwa para pemikir nasional itu sering berkirim surat dengan pemikir, pejuang, atau aktivis lainnya. Dan menariknya, surat yang terbilang panjang itu berisi jawaban atau sanggahan atas gagasan-gagasan si terkirim.
Meskipun kalau kita amati, tradisi itu—yang kemudian menjadi “Surat Terbuka” karena dicetak dan dipublikasikan—lahir dalam konteks dimana media telekomunikasi yang paling memungkinkan saat itu hanyalah surat layang (air mail). Namun, implikasi dari publikasi atas surat-surat mereka, yang bisa kita akses saat ini, sangat penting. Yakni ketika publik bisa turut serta mengakses diskusi atau perdebatan mereka, yang artinya, proses pencerdasan publik semakin terbuka lebar.
Mulai pada tahun 1930-an tradisi “Surat Terbuka” marak dalam polemik kebudayaan. Dalam harian, Kompas, perdebatan antara Sutan Takdir, Goenawan Mohammad, Subagyo Sastrowardoyo, Emha Ainun Najib, Soetardji Calzoum Bachri, dan sebagainya menghiasi berturut-turut ruang baca masyarakat. Di tahun 2000-an, pernah juga berlangsung debat panjang melalui surat kabar, Kompas, paska pemuatan artikel Ulil Abshar-Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. Perdebatan itu berlangsung cukup lama, baik di harian Kompas atau di surat kabar lainnya.
Dalam konteks itulah, “Surat Terbuka” yang ditujukan untuk publik atau orang tertentu, merupakan salah satu usaha untuk membumikan sebuah gagasan atau pemikiran. Dengan diaksesnya suatu perdebatan oleh publik, sama artinya dengan semakin mencerdaskan dan mendewasakan publik. Dan tentu saja, perdebatan terhadap gagasan atau pemikiran menjadi tak lagi elitis karena tak sekedar dikonsumsi oleh elit-elit tertentu.
Dalam konteks modern, media “Surat Terbuka” sejalan dengan dengan gagasan besar ruang publik. Ruang publik merupakan sebuah “ruang” dimana setiap partisipan menyampaikan gagasan, pendapat atau sanggahannya secara bebas dan terlepas dominasi dari pihak manapun. Atmosfir demokratis seperti ini yang dengan sendirinya akan mendinamiskan perdebatan tersebut.
Syarat lain dari ruang publik demokratis adalah bahwa setiap partisipan berhak mengartikulasikan gagasannya tanpa mengalami kekerasan simbolik dalam bentuk pencekalan, diskriminasi, atau marginalisasi karena afiliasi politik, ideologi, kelas atau status sosial dan sebagainya. Baru-baru ini (16/10), seorang tukang ledeng di Amerika, Joe Wurzelbacher, menjadi bintang panggung di ajang debat McCain dan Obama. Kasus “Joe the plumber” alias “Joe si tukang ledeng” menjadi bahan perdebatan yang sengit karena sebelumnya (13 Oktober, di Holland Ohio), Joe mengeluh kepada Obama terkait dengan gagasan pajak bagi warga berpenghasilan di atas 250.000 dolar per tahun, yang diusungnya.
Fenomena Joe menyiratkan kalau ruang publik menjadi semakin demokratis dan tidak deterministik—hanya ditentukan oleh elit-elit tertentu saja—ketika publik mau berpartisipasi secara aktif. Tentu saja, fenomena Joe menjadi mungkin ketika melek informasi dan melek media di masyarakat sudah cukup tinggi. Tidak heran kalau demokrasi merupakan sistem yang sangat memungkin bagi sebuah negara maju. Dan menjadi sebuah mimpi indah di siang bolong bagi negara seperti Indonesia (Dunia Ketiga).
Selama aktif di kampus, saya pernah mengeluarkan lima sampai enam “Surat Terbuka”. Tiga sampai empat surat lebih merupakan bentuk share gagasan, sisanya merupakan hak jawab saya atas “Surat Terbuka” yang lain. Sayangnya, partisipasi publik (mahasiswa) sangat rendah. Terbukti, dari empat “Surat Terbuka” yang berisi share gagasan, hanya satu surat yang ditanggapi, itupun hanya oleh satu orang dalam format yang sama. Sisanya, baik mahasiswa kebanyakan atau mahasiswa yang aktif di lembaga-lembaga kampus, lebih sering dan senang untuk “menggosipkan” surat itu daripada menanggapinya secara serius. Bahkan, saya pernah mengalami pembredelan ketika memasang 10 lembar “Surat Terbuka” (dalam media kertas A3) dan esoknya hanya tersisa dua lembar.
Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat membuat publikasi “Surat Terbuka” tidak hanya terjadi di surat kabar atau berupa poster di mading-mading, melainkan via internet yang tentu saja harganya relatif lebih murah. Sekarang, setelah saya mempunyai halaman maya sendiri, saya lebih sering menggunakan media ini daripada poster atau lainnya. Meski jangkauan internet sudah cukup luas, tetap saja partisipasi publik cukup minim. Sampai akhirnya, saya dengan seorang teman, Gery Sulaksono, klik di sini, terinspirasi oleh tokoh-tokoh nasional di atas, berkeinginan untuk mentradisikan “Surat Terbuka” dalam format maya.
Saat ini, perdebatan-perdebatan saya dengan Gery atau lainnya, sering saya tulis dan publikasikan dalam halaman maya. Tentu saja, perdebatan ini akan deterministik dan kurang dinamis bila publik (pembaca) kurang berpartisipasi di dalamnya. Mengingat demokrasi memang bersifat dari, oleh, dan untuk kita. Yang tentu saja, ruang publik yang demokratis membutuhkan kelanjutan dari logika yang sama.
Memilih halaman maya sebagai media publikasi “Surat Terbuka” selain murah tentu saja lebih kecil kemungkinannya untuk dibredel, tetapi sangat mungkin untuk di-crack. Terlepas dari itu, membuka ruang publik yang demokratis juga merupakan usaha demokratisasi informasi, agar informasi yang ada tidak hanya berkembang dan berputar di lingkaran tertentu saja. Yang akhirnya menjadikan informasi, sangat mungkin dari, untuk, dan oleh semua orang. Apakah itu mungkin? []
0 comments :
Posting Komentar