
Oleh: Firdaus Putra A.
Miris, mungkin itu kata yang paling tepat untuk melukiskan perasaan saya saat melihat foto di samping. Foto ini saya jepret ulang dengan ponsel Nokia teman kos. Foto dengan sedikit catatan di bawahnya, cukup menggambarkan secara detail realitas sosial-ekonomi masyarakat kurang beruntung.
Foto itu dimuat di harian Kompas edisi Sabtu, 18 Oktober 2008 halaman 23. Judul foto itu “Ojek Sepeda”, dengan narasi ringkas, “Seorang pengojek sepeda di Pasar Raya Padang mendorong kendaraannya karena muatan terlalu berat, Jumat (17/10). Ia hanya mendapat upah Rp. 1.000. Sementara itu, kehilangan atau kerusakan barang selama pengangkutan menjadi tanggung jawab pengojek. Ikan teri dalam plastik yang sedang ia angkut itu harganya Rp. 600.000.”
Saya menjadi teringat kisah “The Death of Sukardal” yang ditulis Goenawan Mohamad. Sukardal, seorang tukang becak yang bunuh diri lantaran becaknya diamankan trantib. Terbuka kemungkinan, “The Death of Pengojek Sepeda” muncul, misal, karena satu dan lain hal barang muatannya hilang atau rusak. Oleh si pemilik, ia dituntut untuk menggantinya. Atau tidak menutup kemungkinan pengojek tersebut putus asa, misal, ketika rezim keindahan-kerapihan membersihkan kota dari kekumuhan. Hidup dalam lingkaran kerawanan yang mencekam, berbagai sekenario buruk menjadi lebih mungkin terjadi.
Di harian yang sama, kita juga sering menjumpai iklan komersil tentang dibukanya apartemen baru, perumahan elit, hotel atau restoran berkelas, pusat perbelanjaan, dan ikon gedung-gedung besar-megah lainnya. Misal saja, di edisi yang sama halaman tiga terpampang, “Alam Sutera, Residential & Lifestyle Community, Serpong – Tangerang”, atau ikon lainnya di hal 16, “Puri Botanical Residence, Mega Kebon Jeruk”.
Sedang di edisi sebelumnya (Kamis, 16 Oktober 2008) halaman tiga terpampang jelas, “Investasi Central Park Residences, Jakarta Barat”. Di edisi berikutnya (Jumat, 17 Oktober 2008) halaman 21 ada view menarik dari “Casa Jardin, The Garden Residence, Jakarta Barat”. Masih di edisi yang sama, halaman 20, “CitraGran Cibubur, Cibubur”.
Dan nampaknya krisis finansial Amerika yang berakar dari proyek perumahan-properti, ingin dimanfaatkan untuk menarik sentimen pasar. Lihatlah harian yang sama edisi Jumat, 17 Oktober 2008, kontraktor Agung Podomoro Group memasang iklan dua halaman full bersambung (hal. 14-15). Berbagai macam foto gedung pencakar yang telah mereka bangun sendiri atau rekanan dengan kontraktor lain tampil merenteng sebanyak 39 buah.
Inilah potret struktur sosial-ekonomi Indonesia yang bisa kita amati dari kolom-kolom surat kabar. Dari sana kita tahu, sebenarnya struktur sosial-ekonomi saat ini tidak berbeda jauh dengan masa sebelum reformasi. Ada gap yang lebar antara masyarakat bawah dengan atas. Bedanya, sebelum reformasi, gap itu dikaburkan atau disamarkan negara melalui perangkat ideologisnya. Negara Orde Baru tidak menghendaki kesenjangan yang faktual itu menjadi kendala bagi “menjalin persatuan dan kesatuan”.
Sedang saat ini, oleh pasar, gap itu dibuka lebar-lebar, divulgarkan sedemikian rupa. Tengoklah iklan komersil perumahan mewah-megah di pusat Ibu Kota yang disiarkan berturut-turut di televisi. Mungkin memasang iklan komersil perumahan mewah-megah di surat kabar, seperti Kompas, ada pertimbangan segmen pasar yang jelas, yakni rata-rata pembaca harian ini adalah masyarakat menengah ke atas.
Namun, pertimbangan segmentasi pasar seperti apa yang memungkinkan memuat iklan perumahan mewah-megah di televisi? Yang tentunya, seluruh masyarakat Indonesia, selama menerima gelombang siarnya, baik masyarakat bawah, desa, terpelosok, pinggiran sungai, kawasan kumuh, turut serta menontonnya. Sebuah ikon yang benar-benar membuat televisi sebagai “kotak ajaib” yang menyuguhkan bagi kita segala tetek bengek “keajaiban mimpi di siang bolong”.
Melihat arus kehidupan kadang membuat saya geram, pedas, nyesek dan miris. Entah harus berharap kepada siapa, agar adigang-adigung-adiguna, keglamoran, kecongkakan, kesrakahan, dan syahwat-syahwat kegemerlapan lainnya, tidak melibas republik ini menjadi kian terseok-seok. Ya, melihat dari surat kabar membuat saya miris dan mengelus dada, oh Gusti kok begini ya ... []
1 comments :
duh...kasian banget sih itu ojek sepedana.. :((
Posting Komentar