
Oleh: Firdaus Putra A.
Ada dua pengertian yang bisa kita tarik dari “Islam (di) Indonesia”. Pertama, melalui proses kultural yang panjang, semenjak abad ke-13 sampai sekarang, Islam sudah membumi di Indonesia. Akibat proses kultural tersebut kita bisa melihat karakter Islam Indonesia berbeda dengan Islam Timur Tengah. Islam Indonesia oleh para pendakwah awal, sebutlah Wali Songo, disebarkan melalui medium budaya. Pergaulan antara nilai luhur Islam dengan nilai-nilai budaya lokal menjadi cita rasa tersendiri.
Kita sebut proses kultural itu sebagai proses kreatif, adaptif dan transformatif yang diusung oleh para pendakwah Islam awal. Berbeda dengan Islam Timur Tengah, Islam Indonesia sangat toleran, baik dengan agama besar lainnya, aliran kepercayaan (misal Kejawen), dan sebagainya. Karakter inilah yang kurang dimiliki oleh Islam Timur Tengah yang gemar menuduh salah atau sesat kepada selain diri atau kelompoknya.
Islam sebagai agama yang memuat nilai-nilai universal tentu saja bersifat transnasional, melintasi sekat atau perbedaan negara bangsa. Berbeda dengan ideologi Islam transnasional, ia justru sering menabrak nilai-nilai domestik atau lokal. Juga sampai batas tertentu, Islam transnasional kadang berbenturan dengan Islam Indonesia. Benturan ini terjadi lantaran Islam transnasional lebih menjadikan Islam sebagai ideologi politik daripada pandangan hidup masyarakat.
Tentu saja, bukan saatnya sekedar mendaku sebagai Islam Indonesia, tapi bagaimana hambatan kultural dan struktural yang ada harus mampu dilampaui oleh kelompok Islam yang ingin mengindonesia. Secara kultural, sekurang-kurangnya untuk saat ini, mereka mau menerima tradisi, adat, dan budaya bangsa sebagai keragaman yang harus senantiasa dijaga. Secara struktural, sekurang-kurangnya mau menerima Pancasila dan NKRI sebagai dasar dan bentuk negara Indonesia yang sampai saat ini masih dianggap mencukupi.
Sedangkan kedua, kita memperoleh pengertian bahwa Islam (baca: organisasi Islam) di Indonesia harus memahami konteks di mana ia berada, yakni di negara Indonesia. Kemudian kita lihat, UUD 1945 (paska amandemen) secara tegas menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”, (Bab I, Pasal 1). Dalam konteks ini, Islam di Indonesia mau tidak mau tunduk pada tata perundang-undangan yang ada. Mengingat, meskipun pemeluk Islam di Indonesia relatif banyak, Indonesia bukanlah sebuah negara agama, atau negara Islam.
Tentu saja dengan sendirinya agenda-agenda untuk mendirikan negara Islam—sama artinya dengan mengganti dasar negara Pancasila dengan Islam—merupakan tindakan yang menyalahi konstitusi. Islam transnasional sangat potensial melakukan tindakan tersebut. Bisa jadi lantaran mereka mengalami cultural up rooting (tercerabut dari akar budaya) bangsa dan negara Indonesia.
Selain itu, Islam yang ada di Indonesia harus mampu membedakan ruang publik dan ruang kelompok agama. Seperti pada kasus Ahmadiyah, boleh jadi aqidah kita memang berbeda. Namun, mengganggu kehidupan mereka, merusak kepunyaan mereka, membakar masjid mereka adalah tindakan yang melawan hukum. Apalagi mendesak pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyah, tentu saja tidak benar, selama Ahmadiyah tidak mengganggu kehidupan bermasyarakat.
Sayangnya sebagian masyarakat kita masih bingung melihat batas “tidak mengganggu” itu sejauh apa. Melalui sejarah, kita ketahui semenjak berdirinya sampai sekarang, Ahmadiyah tidak pernah melakukan tindakan kekerasan, pengrusakan, pembakaran masjid, dan sebagainya. Ahmadiyah juga tidak pernah melakukan tindakan menyimpang, seperti; menguras uang jemaah, menyebarkan ilmu hitam, dan lain sebagainya. Dalam tingkahnya di masyarakat, sama sekali ia tak pernah mengganggu ketertiban umum. Intinya, selama Ahmadiyah tidak menimbulkan “gangguan sosial”, maka tidak adil jika kita mendesak negara untuk membubarkannya.
Sedangkan bila sebagian masyarakat lain merasa terganggu lantaran beda aqidah, maka hal tersebut tidak bisa dimasukan ke dalam kategori “gangguan sosial”. Justru, perbedaan pandangan terkait dengan keyakinan atau kepercayaan harus diselesaikan dengan jalan dialog. Prinsipnya, kita hanya berkewajiban mengabarkan kepada mereka ajaran yang kita anggap benar. Selebihnya, kita tidak bertanggungjawab apakah mereka berubah atau tidak.
Jika berubah, kita pantas bersyukur. Namun jika tidak, jangan lantas kita memaksa mereka untuk mengikuti kebenaran versi kita. Pada titik ini prinsip yang harus kita pegang teguh adalah, lakum diinukum waliyadin, “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”. Dan menurut sejarah, sebagai kepala negara, Nabi tidak pernah menghukum warganya karena berbeda aqidah atau keyakinan. Nabi menghukum mereka hanya ketika—apapun agama atau keyakinannya—mereka terbukti mengganggu ketertiban umum. []
___________
Note: Tulisan ini ditujukan sebagai “Editorial” dalam buletin Profetika Edisi II Mei 2008.
0 comments :
Posting Komentar