
Oleh: Firdaus Putra A.
Tepatnya saya lupa malam apa saya berkumpul dengan abang-abang becak kawasan Kampus UNSOED. Yang pasti, grup Paseduluran Jalan Kampus (Perjaka) malam itu saya berkumpul di sebuah rumah dengan 20-an anggota Perjaka. Grup abang becak ini berdiri pada 2 Mei 2007, setahun yang lalu. Grup ini merupakan koperasi tukang becak, ada juga pedangang gorengan. Agenda rutin, yang malam itu saya ikuti, arisan, membayar Simpanan Wajib, menabung, dan meminjam uang.
Ada perasaan bahagia bersua dengan mereka. Saya semakin dekat dengan abang-abang becak. Meski tetap saja, mereka memandang saya sebagai “yang lebih.” Maklum, mahasiswa selalu saja dianggap lebih. Malam itu, saya dan teman yang lain, Jajang, diminta untuk memperkenalkan diri. Oh iya, saya mengikuti acara malam itu bukan dalam rangka penelitian. Awalnya saya diundang oleh Suroto, aktivis koperasi di Purwokerto, untuk melihat proses perkoperasian masyarakat. Suroto merupakan Pembina Perjaka.
Dari acara itu saya mengetahui bahwa grup Perjaka cukup solid. Hanya dalam hitungan satu tahun, saat ini lembaga (koperasi) sudah mempunyai kas sebesar Rp. 2.026.250 (Dua juta dua puluh enam ribu dua ratus lima puluh rupiah). Angka yang cukup besar, mengingat sebelumnya mereka tak pernah bisa untuk menabung atau menyisihkan uang. Bahkan, dulu sebelum grup ini terbentuk, banyak anggotanya yang terlilit utang ke rentenir.
Saya tidak bisa membayangkan apa yang dilakukan Suroto sehingga bisa mengorganisasi para tukang becak untuk berkoperasi. Berdisiplin, bergaya hidup hemat dan rasional, juga berorganisasi modern. Konon katanya, Suroto mengawali dengan melibatkan diri dalam gaya kehidupan mereka. Ia tak segan-segan ikut keplekan (bermain kartu remi atau domino), sesekali minum “jamu” (minuman beralkohol), dan yang jelas menggunakan gaya bahasa tukang becak, keras, cablaka (blak-blakan) dan sebagainya.
Usahanya nampak membuahkan hasil. Grup Perjaka, meski pernah enam bulan tidak disambanginya, tetap mampu berdiri. Sesekali bertandang di pertemuan rutin bulanan, biasanya Suroto hanya memberikan pemahaman tentang nilai-nilai prinsip berorganiasi, berkoperasi, atau berpaguyuban. Seperti, “Siapa yang menanam, maka dialah yang akan memanen.” Artinya, siapa yang menabung di koperasi, maka dialah yang boleh meminjam untuk membantu mencukupi kebutuhannya.
Ke depan grup Perjaka berencana membangun bengkel, bengkel becak. Pertama, agar kebutuhan becak tidak perlu mbengkel ke lain tempat. Keduanya, dengan bengkel yang dikelola secara profesional, diharapkan kas bisa semakin berkembang dan artinya produktif. Untuk cita-cita besar itu, selain mengandalkan akumulasi dari bunga simpan-pinjam koperasi sebesar 0,8% per bulan, para tukang becak juga mencari pundi-pundi dana lain.
Tentu saja bukan dengan jalan meminta sumbangan, karena hal ini bertentang dengan prinsip koperasi, self ralliance (kemandirian diri) atau menolong diri sendiri. Cara yang mereka tempuh dengan meminta kardus ke beberapa mini market yang berada di lingkungan kampus. Kardus-kardus ini mereka minta tiap bulan. Hasil penjualan kardus, mereka masukan kas.
Selain masalah keuangan, ada hal menarik lainnya. Misal, ketika membahas momen 17 Agustus, secara kritis para tukang becak menyampaikan uneg-unegnya. Berkaca dari tahun sebelumnya, kata mereka, tiap kali Kabupaten (Bupati) meminta delegasi dalam lomba karnaval dan hias becak, mereka tak pernah mendapatkan kompensasi yang berarti. Justru, kantong dan tenaga mereka terkuras.
Bapak Kanafi, Ketua Perjaka, mengatakan, bahwa menurutnya kita tak perlu ikut karnaval-karnavalan seperti itu. Kita istirahat saja. Kalau memang Bupati ingin membantu atau membahagiakan para tukang becak, mbok yao setiap pangkalan diberi bingkisan atau semacamnya. Meski kecil, para tukang becak akan senang merima bingkisan itu sebagai bebungah (sesuatu yang membahagiakan).
Ada juga tukang becak lain yang mengatakan, “Siapa tahu Bupati sekarang, Mardjoko, berbeda dengan yang dulu.” Ditimpali oleh lainnya, Banyumas itu sudah bolak-balik ganti Bupati, ya sama saja, tidak memperhatikan orang-orang seperti kita.
Menarik, bukan? Tak hanya kemandirian ekonomi mereka dapatkan. Namun share politik sebagai bentuk pendidikan politik juga mereka ciptakan. Sekurang-kurangnya, kalau meminjam bahasa Suroto, koperasi itu memikirkan masalah mikro organisasi (keuangan, perusahaan, administrasi, dll.) juga dengan sendirinya memikirkan masalah makro ideologi (sikap politik dan sebagainya).
Memang ketika manusia berkumpul (prinsip koperasi), pembicaraan tak hanya seputar uang. Mereka bisa membicarakan apapun itu sebagai bentuk penghayatan atas kehidupan. Modal sosial menjadi muncul dengan terbangunnya komunikasi dan kepercayaan. Sedangkan ketika modal berkumpul (prinsip kapitalisme), setiap orang berbicara tentang jatah yang akan diterimanya dan dengan cara apa ia memperolehnya. Yang pertama sebegitu manusiawinya, sedang yang terakhir, sebegitu mekanisnya. []
0 comments :
Posting Komentar