PBB yang Mandul


Oleh: Firdaus Putra A.

Tercatat lebih dari 430 nyawa manusia melayang pada sepekan agresi militer Israel ke Palestina (Kompas, 5 Januari 2009). Ironisnya, tragika kemanusiaan itu berlangsung di abad ini. Abad dimana suara kemanusiaan serta nilai-nilai virtus lainnya begitu rupa dijunjung tinggi. Abad dimana organisasi supranasional, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), mewujud dalam hubungan antarbangsa. Dan celakanya, organisasi seotoritatif PBB justru mandul dalam menyelesaikan sengketa panjang itu.

PBB merupakan organisasi yang beranggotakan negara-negara di dunia. Ia dibentuk sebagai konsekuensi kehidupan modern, dimana hubungan antarbangsang atau antarnegara tak terelakan lagi. Dalam konteks konflik antarbangsa/ negara, PBB bisa memainkan fungsi arbitrase atau wasit. Lebih jauh, ia juga bisa memediasi kedua belah pihak atau lebih yang berseteru. Lantas, mengapa fungsi-fungsi seperti itu selama ini tidak berjalan efektif?

Pada konflik Israel – Palestina, Dewan Keamanan PBB sudah mengeluarkan resolusi yang memerintahkan kedua belah pihak untuk gencatan senjata. Sayangnya, resolusi tersebut tidak berjalan sebelum diundangkan karena veto Amerika. Suara kemanusiaan yang bersifat obyektif, harus kalah atau dikalahkan oleh kehendak subyektif Amerika. Seturut dengan itu, hak veto merupakan bentuk feodalisme politik internasional. Bentuk ini jauh dari nalar demokrasi. Fox populli fox dei. Suara mayoritas, adalah suara Tuhan. Dan nyatanya, suara Tuhan takluk oleh suara Bush.

Sampai hari ini, konflik Israel – Palestina masih terus berlanjut. Bukan semakin surut, justru semakin menjadi-jadi. Dalam krisis seperti ini, dibutuhkan mekanisme-mekanisme politik internasional yang tepat dan cepat. Agar tentunya, korban baik dari militer lebih-lebih sipil, tak lagi bertambah.

Ke depan nampaknya diperlukan kesepakatan ulang atau bahkan amandemen tentang hak veto. Hak veto merupakan bentuk ironisme di tengah-tengah kehidupan demokrasi moderen. Dan faktanya, hak veto tidak menyelesaikan masalah, justru menambah panjang masalah.

Hak veto hanya akan memuluskan kehendak negara yang mempunyai kepentingan tertentu dengan standar gandanya. Sidik Jatmiko dalam tesisnya di UGM Yogyakarta (1998) sudah membuktikan bahwa Amerika menerapkan standar ganda pada politik luar negerinya. Ia juga membuktikan di depan para pengujinya kalau Amerika merupakan negara penghambat demokrasi di dunia internasional.

Tentu saja sulit untuk mencampuri politik luar negeri Amerika. Namun sekurang-kurangnya dengan menghapuskan hak veto, berbagai kepentingan serta kehendak yang berseberangan dengan suara kemanusiaan bisa diminimalisir. Agar, negara-negara besar lainnya, seperti Inggris, Cina, Rusia dan Perancis, tidak ikut-ikutan mengeluarkan veto yang sifatnya menghambat terciptanya tata dunia yang damai dan berkeadilan.

Sampai waktunya, PBB akan diuji dan terus diuji, masih layakkah ia menjadi organisasi supranasional yang bisa mewadahi kehendak segala bangsa? Atau justru hanya menjadi perpanjangan tangan dari beberapa gelintir negara adikuasa. Maybe yes, maybe no! []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :