
“Achievement is lingua franca to socialize in this era”
(Grendeng, 31 Januari 2011)
“Scripta manent, verba volent”, begitu kata pepatah Latin. Apa yang tertulis akan abadi dan apa yang terucap akan musnah. Di sinilah peran seorang penulis, mengabadikan dinamika masyarakat dalam beragam mozaik. Proses kreatif itu paduan dari kepiawaian meramu kata dan kedalaman mencerap fakta-data. Dan tidak boleh dilupakan, kemampuan menganalisis persoalan. Dengan pra-syarat seperti itu, banyak penulis lahir dari ruang pembiakan peradaban; universitas. Dan mahasiswa-penulis adalah salah satu bukti dari dinamika ruang peradaban itu.
Meski dinamika mahasiswa-penulis di Unsoed-Purwokerto tak sepanas Yogyakarta, namun keberadaan mereka perlu diperhatikan. Misalnya, pada tahun 2009 ada 200 lebih mahasiswa Yogyakarta yang mengikuti Kompetisi Esai tingkat Nasional (Tempo Institute – Jakarta), sedangkan hanya 14 peserta dari Purwokerto. 10 orang di antaranya adalah mahasiswa Unsoed, yang salah satunya masuk nominasi 20 besar. Pada tahun 2010 dalam kompetisi yang sama, peserta dari Purwokerto mencapai 20an orang. Namun tak satupun terjaring 20 besar. Justru sebaliknya, juara satu, dua dan tiga semuanya diraih oleh mahasiswa Yogyakarta (UGM). Fakta ini menggambarkan bahwa secara kuantitas pun kualitas, mahasiswa-penulis di Unsoed masih kurang. Meskipun lebih adil membandingkan Yogyakarta (UGM) dengan Jakarta (UI).
Terlepas dari ketertinggalan itu, sepertinya perlu pola khusus untuk mengembangkan kemampuan para mahasiswa-penulis di Unsoed. Belajar dari universitas tetangga, STAIN Purwokerto saban tahun menyelenggarakan kompetisi esai. Tidak sekedar menyaring dan memilih tulisan yang bagus, namun juga membukukan tulisan 20 besar dalam antologi esai.
Kompetisi esai yang rutin digelar adalah medium penggemblengan kemampuan menulis mahasiswa. Di sisi lain, buku antologi esai adalah cara untuk mengapresiasi keseriusan dalam menulis. Dan apresiasi melalui penerbitan buku rasanya mengalahkan besar-kecilnya hadiah. Di sini mahasiswa-penulis akan merasakan kepuasan batin tersendiri dan mendorong energi kreatifnya selalu berkobar.
Secara kelembagaan Unsoed perlu memperhatikan keberadaan mahasiswa-penulis karena seringkali mereka menjadi duta dalam ruang sosialisasi antar kampus. Entah dalam konteks penulisan ilmiah, esai atau sastra. Duta-duta intelektual inilah yang bisa membangun citra Unsoed menjadi universitas yang bertaji.
Ruang sosialisasi antar kampus itu menyediakan peluang strategis bagi Unsoed untuk menunjukan eksistensinya dalam kancah nasional. Agar Unsoed tidak melulu tertelan kebisingan Yogyakarta dan Jakarta. Namun Purwokerto dapat membawa warna lain yang genuine, berbeda dengan mainstream Yogya atau Jakarta.
Secara kelembagaan sebenarnya segala infrastruktur telah tersedia. Pembiayaan, baik untuk kompetisi atau pelatihan dapat dianggarkan dari dana kegiatan mahasiswa yang dikelola Pembantu Rektor III. Sedangkan untuk penerbitan antologi tulisan para pemenang, Unsoed cukup mengoptimalkan keberadaan UPT Percetakan dan Penerbitan. Dengan biaya yang terjangkau, sangat ringan sekali bagi Unsoed mencetak buku 1.000 sampai 5.000 eksemplar. Buku itu dapat dijual atau didistribusikan merata ke fakultas-fakultas dan universitas lain.
Di sisi lain, Unsoed juga dapat menggandeng dan mengoptimalkan peran UKM Pers Mahasiswa. Pers Mahasiswa dapat dioptimalkan sebagai kawah candradimuka bagi lahirnya penulis-penulis baru. Pengarusutamaan bisa dilakukan dalam konteks infrastruktur, pembiayaan atau agenda. Misalnya, Unsoed melanggankan majalah, Koran atau jurnal ilmiah dalam dan luar negeri. Memberikan fasilitas teve kabel untuk mengakses siaran internasional seperti National Geographyc, BBC, Aljazeera dan sebagainya.
Secara jangka panjang, usaha tersebut bagi Unsoed dapat dihitung sebagai inventasi politik, yakni tentang citra dan eksistensi. Juga merupakan investasi budaya dalam konteks dinamika intelektual dan akademik. Tak ketinggalan investasi sosial dalam konteks sosialisasi antar kampus. Investasi yang pertama dalam rangka memupuk modal simbolik, sedangkan yang kedua yakni memupuk modal budaya dan terakhir adalah modal sosial. Tiga modal itu dapat dikonversi, dilipatgandaan dan diefektifkan untuk agenda tertentu dalam konteks ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan.
Praktiknya, selama ini modal tersebut terceraiberai dan belum tersimpul dengan rapi. Mahasiswa-penulis berkarya lebih karena dorongan individual dan tidak terlalu menghiraukan dampaknya secara kelembagaan. Padahal posisi mereka sangat strategis, yang hanya saja belum dibaca secara strategis oleh Unsoed. Perlu kiranya pejabat Unsoed turun gunung, tengoklah note-note dalam facebook mahasiswa Unsoed yang men(ber)jamur. Pantas kiranya mereka diapresiasi dan digembleng, agar secara individual kapasitas mereka semakin baik dan berdampak positif bagi lembaga.
Sampai titiknya, dalam sebuah kompetisi esai nasional ada 500 mahasiswa Unsoed di sana. Dan ada yang bertengger di juara satu, dua atau tiga. Bahkan bila perlu, sabet semuanya! Inilah nalar yang perlu dipupuk, “achievement is lingua franca to socialize in this era”, bahwa prestasi adalah bahasa pergaulan abad ini. Abad dimana blog, facebook dan twitter memaksa/ membuat orang memproduksi kata. Dan lamat-lamat tapi pasti terdengar kicau baru, “Scripta Manent… Unsoed Manent”. Dengan terjemah bebas, nama Unsoed akan mengabadi seturut abadinya tulisan yang diakui dimana-mana. Semoga akan terjadi. []
* Penulis saat ini bekerja di Koperasi Kampus Unsoed (KOPKUN) sebagai Manager Organisasi. Saat mahasiswa pada akhir tahun 2009 masuk dalam nominasi 20 besar Kompetisi Esai tingkat Nasional yang diadakan Tempo Institute Jakarta dan juga STAIN Purwokerto. Tulisan ini lahir dari sentilan teman sekaligus rekan kerja, Taufik Budi Pramono, Dosen Perikanan Unsoed yang tulisannya menjamur di media massa. Terimakasih kepadanya saya haturkan.
6 comments :
Wildan Shah
bener-bener... hmmm... sepertinya mahasiswa unsoed harus mulai belajar banyak untuk menulis khususnya saya sendiri yang baru belajar. nulis dengan eyd
Chandra Iswinarno
oooh..kaya gitu toh, hehehe..dong deh
Jajang Yanuar Habib
idem di atas : oooh..kaya gitu toh, hehehe..dong deh
Ary 'masmoe' Adji
Kegilaan...itu yang belum ada di ruang publik kita di Purwokerto...dan itu masalahnya
Taufik Budhi Pramono
Itu sih saran yang saya berikan kemarin sama kamu firdaus. Namun bila tidak ada ruang yg diberikan lebih jauh ,sy sarankan lagi komunitas yang dibentuk ini bisa jadi penerbitnya. Masalah satu skripsi mau jadi satu buku monggo, mau tulisan teman2 dgn satu tema tertentu ya monggo..Mengambil istilah mas ari adji "kegilaan" itu memang perlu ada. Sukses firdaus.. Sukses untuk semuanya.
Jajang Yanuar Habib
bahasa provokatif yang seringkali tumpah ruah dalam tulisan yang tidak memperhatikan hal2 seprti yang Uwin sampaikan, saya yakin lambat laun akan membuat tinggi hati penulisnya. daam isi akan nampak pada tuangan gagasan (lahir dari jangkaua...n nalarnya) yang psti akan terus jadi perdebatan atau dari cara penyampaian ide itu sendiri.
nah, jika aktifitas menulis menjadi bahan seruan intelektual, yang ditulisan firdos dengan memberdayakan instansi di lingkungan akademis untuk menggembleng mhasiswa yang belum terkoordinir apalagi yang masih mengaggapnya sebuah hal luar biasa sulit seperti membuat rumus nuklir, tentu bukan mainan sembarang proses.
bukankah Raditya Dika juga tidak menghimbau kampus mendidik adik2nya mebuat tulisan jokes atau karangan perjalanan? pelembagaan sesuatu untuk menjadi budaya terkadang hars disepakati dengan tujuan yang jelas. tentu bukan hanya sekedar peruntukkan berajang di lomba.
ada yang lebih penting, seperti yang suda diulas Uwin, tidak perlu berlindung di balik kata proses. jika seseorang berprestasi karena ketekunan dan ciaik tulisan sebagai manifes karakter diri, seperti yang disebutkan Hakim dan Dodi sebut, maka berbahagialah ia jadi pribadi yang membuat iri kawan2 giat meulis. apapun itu.
salam.
Masterfully Irfan Ibrahim
mw komen dri hp susah jg yah.
Membaca tlsan firdaus yg ini sama spt membca tlsan firdaus yg dlu2, yg kbtlan mengangkat topik yg sama... Tlsan ini sekaligus mengingatkn saya pada obrolan rapat bersama hakim dn firdaus yg sempat menjadi hanga...t dn ditls firdaus di blog.
Diantara firdaus hakim dn saya mungkin satu2ny yg gk bhasil jadi penulis sampai sekarang, y cuman saya ini. Sebabny saya gk bgtu tertarik utk menulis dn menolak utk ikt2an interest menukis yg menjadi program wajib rutin meskipun tujuanny Ok.
Anggapan saya, yg namany tulisan kudu wajib lbh dari satu paragraph, apalagi kalo udh bhadapan dgn aturan tata bahasa, aktivitas menulis dn tulisan jd menjemukan.
Tlsan cmn bwt ngekstrak pikiran yg jd medium pilihan saja. Disamping melalui ucapan yg bsa diabadikan dlm format audiobook atau audiovisual. Scripto manent verba manent.
Saya lbh tertarik bwt mengekstrak pikiran dngn ngisi status fb. Daripada membuat tlsan yg hrs berparagraph-paragraph kata dn alokasi waktu yg lbh bnyk utk skdr menshare pikiran.
@kok jd curhat gni yah? kyk sby aj. Ya smoga gak tmasuk alay =)
Firdaus Putra
Kayaknya ga pada mbaca penuh ya. Titik tembaknya kan jelas, menarik tanggungjawab universitas dlm memajukan budaya literasi. Sederhananya, ada mhsw namanya hakim, dodi, nissa, syafiq, sinta, mereka tulisannya bgus2. Tapi belum jg ada yg mau... membukukan. Eee, knp tdk unsoed membukukan tlsn mhsw2 td. Trnyt ada 200 mhsw yg bs nulis bgus, ya perlu seleksi. Yg adil gmn? Make kompetisi.
Sy tdk mempersoalkan lg mslh ruang ekspresi, harus lbh jauh lg. Awalnya penulis blog, trus jd penulis esai di media,trus jd penulis buku. Nah knp tdk difasilitasi lembga? Toh unsoed pny upt percetakan-penerbitan tho? Minta mrk menerbitkan buku kry mhsw unsoed.
Klo debat sekdr ruang ekspresi, ya dah lewat dgn blog-fb. Lbh jauh lg, tulisan bs jd track record yg mendukung karir, nambah uang bulanan, dll. Toh ga salah menumpangi "nilai guna tambah" di atas "ekspresi".
Scr lembga, "nilai guna tambah" ini spt citra semakin bagus. Unsoed dikenal scr nasional. Dst. Knp? Krn mhsw-penulis adl duta unsoed!
Taufik Budhi Pramono
Mas chandra : Biarkan saja mengalir apa adanya, semua berproses. Yang penting orang mau menulis. Spirit untuk menulis dalam ruang apapun harus tetap dihargai dan dikawal. Teman saya Baban Sarbana, mampu menulis buku dari catatan harian di ...diary nya, buku yang bernilai. Kita lihat si Raditya Dika yang menulis dalam kesepian dengan caranya di Blog yang kemudian menjadi buku best seller.
Bila perlu anda membantu firdaus dalam membangun komunitas penulis ini. Suwun...
Chandra Iswinarno
pak taufik: kayanya secara sederhana kita selalu permissive dibalik kata "berproses" deh...coba dicek lagi, berapa banyak mahasiswa yang mampu menulis skripsi dengan baik dan bahasa populer yang bagus, Dibanding menulis di blog yang hanya s...ekedar menulis hanya untuk eksistensi dan ekspresi diri saja.
Kalau saya baca tulisan mas daus di blognya, itu sangat serius karena terpanggil untuk menulis,(saya rasa)..tipikal ini yang susah ditemui teman-teman mahasiswa Unsoed saat ini, suwun
Taufik Budhi Pramono
Tidak masalah!!! Mau satu banding berapa pun hasil yang ditetaskan dari program ini, yang terpenting adalah proses. Anda pun sebelum menjadi wartawan pun berproses. Sekarang pun berproses, bagaimana ide-ide bernas seorang wartawan seperti a...nda menjejak di bumi dan melambung di jagad raya.
Mulai menulis dimana saja, mau di blog, diary, tembok, kertas bekas...yang terpenting mulai menulis sekarang.
Nissa Rengganis apresiasi. itu yang penting, karena sejarah itu harus dibuat jendral, bukan sekedar menunggu dan menjadi korban di dalamnya. sangat wajar kalo kita menilai sekarag lah generasi muda yang harus mmbuat sejarah. pelaku sejarah. bukan begitu bung, daus/
Chandra Iswinarno
aduh..salah forum nih...
Aulia El Hakim
Nek Unsoede tah iya, setuja saia. Tp nek Mahasiswane tah termasuke pada rajin menulis kok,,, Temen-temen Unsoed skr produktif. Mereka tak masuk persma pun tulisane maju terus.
Lah liat si Pungky, tulisane berkalik-kali masuk Headline kompa...ssiana. Dan benyak lainya yang beretebaran di Note-note dan tulisan tulisan yg mereka produksi utk komunitas kreatif mereka masing-masing,,,
Sebegitu biasanya perihal tulisan, teman-teman tak begitu terpikir utk berkompetisi.
Sayangnya Unsoed tak mengelola.
Dodi Faedlulloh
Bila dikomparasikan dengan jumlah total mahasiswa yang sekitar duapuluh-ribuan lebih memang ada benarnya, jumlah penulis-mahasiswa unsoed belumlah seberapa, dan itu pun saya lihat cendrung elitis, itu-itu saja orangnya. Tapi syukurlah, tamp......aknya sekarang-sekarang ini gairah budaya menulis sudah mulai mewabah, kawan-kawan mahasiswa angkatan 2009-2010 sudah ada yang memulainya.
Saya kira arahan agar mahasiswa suka menulis, maka bentuk tulisan-pun tak melulu harus berupa essai , opini, atau apalah yang terkesan berat dan terlihat academic/critism oriented. Menulis itu adalah pilihan begitu juga karrakter dari tulisannya. Contoh kasus, si Pungky itu tadi. Dia menulis benar-benar dengan gayanya sendiri, bahasa yang ringan, jujur, jenaka namun tetap informatif dan banyak nilai positif yang bisa ditangkap.
Yang perlu untuk menggembleng mahasiswa adalah adanya ruang atau media untuk mengapresiasi hasil tulisan-tulisan mahasiwa. Contohnya lagi-lagi si Pungky tadi. Karena kebetulan saya ma’comblangnya yang menjerumuskan dia ke kompasiana. Dia senang menulis, namun sebelum dia masuk kompasiana saya lihat dia tidak seproduktif sekarang. Ada peningkatan produktifitas tulisannya. Kenapa ? Karena bisa jadi dia menemukan ruang yang bisa mengapresiasi tulisannya ; dikomentari, bisa bertemu dengan kompasianer yang satu frame, muncul dialog, dan bahkan sampai diheadlinekan. Tentu ini akan menambah semangat bukan ?
Kalau Unsoed-nya yang bermasalah, ya jangan begitu diharapkan. Mahasiswanya saja yang membangaun ruang ini.
Chandra Iswinarno
Ini sih temanya apa? menulis yang baik dan benar dengan gaya bahasa yang baik...atau menulis seperti diary yang biasa ditulis?...konteksnya yang mana nih us...kalo cuma sekedar tampilan ekspresif semata larinya eksistensi aja deh mirip kaya mahasiswa zaman sekarang larinya ya "onani intelektual" aja kayanya nih...
Taufik Budhi Pramono
Mulailah menulis dari sekarang (itu mungkin bisa menjadi semboyan)... Dengan membaca dan diskusi memang akan memperkaya wawasan namun dengan menulis kita akan semakin matang. Sy rasa saat ini jangan "too much reason", tugas kuliahlah, inila...h, itulah. Iklim di unsoed sudah mulai segar, karena hari sabtu libur. Manfaatkan kesempatan tsb dengan baik.
Firdaus...Sy juga masih terus belajar menulis koq... Banyak tulisan2 "sampah" sy yang tdk diterbitkan media massa dan untungnya masih tersimpan. Sy ingin belajar menulis esai sama kamu. Esai-esai kamu mempunyai karakter tersendiri. Ayo kita sama-sama belajar menulis.
Mardiyah Chamim
Terimakasih, Firdaus, turut menyebarkan virus menulis. Satu hal yang saya tahu, senior-senior saya di Tempo, juga para penulis terbaik lainnya, selalu membiasakan diri menulis dg rapi. Sekalipun hanya mengirim sandek, menulis status fesbuk, mereka selalu menulis dg ejaan yg benar, awalan 'di' dipisah atau disambung, menghindari akronim, dan mencari kosa kata yang segar. Itu jurus mereka melatih kepekaan menulis... Selamat berlatih!
Firdaus Putra
Shinta: iya lupa sin. Ta titipin km ya.
Uwin: ya harus diterapi,biar panas.
Agnes: kudu blajar nulis ya!
Om taufik: nanti ta buka kelas menulis di kopkun.
Mba mardiyah: sy pinjem data tempo institut mbak. Hehe. Taun dpn biar peserta dr pwt tm...bh bnyk. Taun dpn tentu ada lg kan?
Mardiyah Chamim Tentu boleh, dengan senang hati. Nah....itu dia: kenapa harus disingkat 'pwt tmbh bnyk'? Kenapa nggak ditulis lengkap 'Purwokerto bertambah banyak'? Bukankah tidak ada pembatasan karakter huruf di fesbuk? Hehe, maap ya....disiplin dalam cara menulis itu membuat pikiran lebih jernih
Adam Subandi sip-sip... kadang kita harus sedikit menyesuainkan lingkungan, menulis dianggap pekerjaan yang menjemukan karena biasanya berisi srtikel ilmiah maupun pemikiran bebas, mbok ya sekali-kali nulis gaya fiksi juga digalakkan... biar tulisan jadi enak dibacem dan perlu... upZ!
Komentar dan Diskusi Tulisan ini di Note FB
Shinta ArDjahrie
iklim-nya blm dukung mas.hehe. gk tw knp,aq ngrasa gampang cri referensi pas lg gk di pwt. D pwt kalo cari mhasiswa wirausaha jstru lbh byk. emang cocok'e nggo dagang mungkin.hehe.
btw, sertifikatmu msh di aq gk ya? yg pas dr stain itu.
Chandra Iswinarno
sederhananya adalah mahasiswa unsoed males nulis...ikllim dan hawa justru malah mendukung untuk menciptakan kreativitas mahasiswa...apalagi tugas dosen rata2 bikin esai, cuma teman2 mahasiswa malah senang copy paste dari internet..dan budaya diskusi juga ilang atau hanya ada di ruang formal (kuliah) yg membosankan...(just opinion)
Agnes Harvelian
informasi kayanya jadi peran penting mass....tuhh gmana??? waaahhh ternyata sang nominasi tooghhh...
Posting Komentar