
Di pagi hari, jika kau susuri Jl. HR. Boenyamin dan berjalan ke arah utara, tengoklah ke atas, kau akan lihat Slamet yang gagah. Ia sungguh berwibawa dengan syal awan tipis. Tengoklah senyum simpulnya yang mengembang mempersilahkan kita menyapa. Ia memang tak banyak bicara. Ia memang begitu, tapi kau jangan takut, ia selalu berdiam dengan tenang dan hikmat.
Sembari lari pagi, kau akan takjub memandanginya. Hingga pangeran tampanmu akan kalah dibuatnya. Slamet akan berdiri di antara langit biru. Ya, jika hari begitu cerah, Slamet akan mudah kau tatap. Tataplah dengan lekat-lekat. Tapi ingat, jangan sampai membuat kau terlena dan berlari ke tengah jalan. Itu berbahaya, sayang.
Susurilah Jl. HR. Boenyamin di pagi hari. Akan kau temukan di bahu jalan, ibu-ibu lanjut menjual kue srabi. Dengan perapian kecil dari arang atau kayu. Kau akan cium aroma lezat srabi hangat. Ada yang merah, ada juga yang putih. Kau bisa pilih rasa sesukamu, manis atau gurih. Tapi cukuplah kau makan sepotong, kau tidak suka beras, bukan? Srabi dibuat dari tepung beras, sayang. Dicampur dengan parutan kelapa, diolah dengan gula merah dan garam. Dipanggang sampai kulitnya coklat kehitaman.
Kalau kau tak suka srabi, kau boleh mencoba tempe mendoan. Tempe dengan ketebalan tiga mili itu digoreng tepung setengah matang. Enak dimakan hangat-hangat. Tambahkan cabe ijo, akan menggoyang lidahmu dan sekujur mulutmu. Mmmm … kau tahu, itu makanan khas masyarakat Banyumas, tempe mendoan.
Tetaplah kau susuri jalan itu, sampai kilometer sekian dari pusat kota, kau akan lihat Universitas Jenderal Soedirman atau Unsoed. Akan kuberi tahu, dulu ada pejuang kemerdekaan bernama Soedirman. Ia hidup di Purwokerto. Ia adalah seorang jenderal muda di Indonesia saat itu. Ia pimpin perjuangan melawan penjajah dengan semangat “Merdeka penuh atau mati”.
Soedirman berkawan dengan Tan Malaka, yang namanya mungkin lamat-lamat pernah kau dengar. Di kota ini, Tan dengan Persatoean Perjoengan (PP) mengundang wakil dari pejuang-pejuang di seluruh tanah air untuk bertemu. Kuberi tahu, Soedirman dan Tan sering berselisih pendapat dengan Soekarno. Apalagi dengan Syahrir.
Tetaplah berjalan, sayang, dan kau akan lihat gedung Administrasi Unsoed. Di depannya ada patung Soedirman menunggang kuda. Kalau kau mau, kita bisa berfoto sejenak di bawah patung itu. Sebentar menyulam ingatan tentang Soedirman nan patriotis itu.
Di seberang jalannya kau akan temukan kafe. Di sinilah mahasiswa-mahasiswi mengahabiskan waktu santainya. Kau tahu sayang, bisnis leisure time di kota kecil ini tak kalah dengan Solo pun Yogyakarta. Kalau tak salah mengingat data, pada tahun 2009 ada 18 kafe-diskotik di Solo. Sedang di Purwokerto, pada tahun yang sama mencapai 14 kafe-diskotik. Tapi ingat sayang, Solo lebih luas daripada Purwokerto. Sebaran universitas, baik negeri atau swasta di Solo banyak sekali. Berbeda dengan Purwokerto yang hanya punya empat universitas besar.
Lalu kau akan tanya padaku, “Dimana kantormu?” Saat kau lalui Unsoed, kau sudah melewatinya, sayang. Ya, di sebelah kiri jalan. Ada gedung bertingkat dua dengan banner besar berwarna merah bergambar kupu-kupu bertulis “Kopkun”. Itulah kantorku dimana sering kuterima teleponmu saat rehat siang. Kupu-kupu itu perlambang. Tentang metamorfosa untuk semakin baik-besar-indah. Akan kuberi tahu, Kopkun itu koperasi, sayang. Dan di kota ini lagi, sejarah koperasi Indonesia pertama kali dibangun pada 16 Desember 1895.
Awal mulanya adalah “Bank Priyayi” yang kemudian karena miss-understanding R. Aria Wiraatmadja, berubah menjadi Bank Rakyat Indonesia yang hari ini kita kenal. Kemudian disistematisasi ulang oleh de Wolff van Westerrode dari Belanda, jadilah Purwokertosche Hulp, Spaaren Landbouwer Credit Bank atau Bank Bantuan dan Simpanan serta Kredit Petani Purwokerto.
Meski sudah dimulai sejak abad 18, koperasi di Indonesia belum ada yang sebesar Fairprice di Singapura. Ya, benar, supermarket yang berulangkali kau kunjungi itu adalah koperasi. Data tahun 2007, Fairprice menguasari 50% pasar retail di sana. Dia dibangun tepatnya pada tahun 1973 yang diprakarsai oleh Federasi Serikat Buruh Singapura. Dan sekarang tengok lah, benar-benar besar, bukan?
Sayang, sudah lelahkah kau? Ayo, kuajak kau susuri area wisata Baturraden. Lihatlah di kanan-kiri jalan, persawahan dan depot-depot bunga berjajar. Dan rasakan lah, sayang, hawa pegunungan yang dingin. Di ujung jalan sana kompleks wisata Baturraden bertempat. Ini wisata alam, sayang. Ada curug yang jumlahnya banyak. Tapi kita tak bisa bermobil ke curug. Kita harus jalan kaki. Hmmm …. pasti kau tidak kuat, bukan?
Padahal di curug nanti kita bisa mandi dengan air belerang. Sedikit khasiatnya adalah mengobati penyakit kulit. Jika kau tak tahan baunya, kita mandi saja di kolam terapi ikan. Akan banyak ikan-ikan kecil di sana. Ribuan bahkan ratusan ribu. Duduklah dengan santai di pinggir kolam. Masukan kakimu ke sana, ratusan ikan akan berdatangan untuk menggigit-gigit kecil kulitmu. Jangan takut, sayang. Tidak sakit. Kau hanya akan merasakan geli yang membuatmu menahan tawa. Tahanlah. Biar si ikan tidak lari ketakutan.
Sembari menunggu ikan-ikan selesai menggigiti kulit mati kita, akan kuceritakan padamu ihwal Baturraden. Istilah Baturraden itu berasal dari “Raden” dan “Batur”. Dikisahkan, dulu ada seorang putra raja (Raden) yang mencintai seorang pembantu/ abdi dalem (Batur). Namun kisah mereka harus kandas karena orang tua tidak setuju. Ya, seperti bumi dengan langit, mungkin begitu anggapan orang tua. Dan bumi-langit itu jaraknya jauh, jauh sekali.
Bagaimana sudah mulai habiskah kulitmu digigiti, sayang? Kalau kau rasa sudah cukup, mari kita rehat sejenak di Green Valley. Sudah kusiapkan satu kamar untuk kita. Kita bisa rehat dengan nyenyak. Malam hari akan kuajak untuk melihat pesona malam Purwokerto. Memang tidak seramai Yogyakarta, Bandung atau Jakarta. Banyak orang bilang, Purwokerto adalah kota para pensiunan. Ya, sebuah kota kecil di kaki gunung Slamet yang nyaman untuk menyongsong hari tua. Kalau kau mau, kita bisa bersama menjadi sepasang kakek-nenek di kota ini. He he he. []
0 comments :
Posting Komentar