
Saya teringat masa dimana pagi-pagi buta kami melaju di atas bus jurusan Kajen – Kalibening. Bersamanya saya ikut jualan baju di pasar Kalibening (perbatasan Kab. Banjarnegara – Kab. Pekalongan). Yang saya ingat adalah energinya begitu luar biasa. Tengah hari badan saya sudah letih. Sedangkan ia, masih tetap terjaga. Sampai akhirnya kami pulang pukul lima sore, ia masih bertahan. Sedangkan malamnya, saya meriang karena kaget dengan hawa dingin dan panas.
Saya ingat betul masa dimana dia selalu memanjakan saya. Mulai dari balita, sekolah dasar dan mungkin sampai beberapa waktu lalu.
Saya juga ingat masa dimana kami tidur bersama. Ia kisahkan berulang-ulang tentang diri dan suaminya yang hidup di tanah rantau, Jakarta, Palembang dan Pekanbaru. Meski berulang kali, saya selalu mendengarkannya. Ada rasa haru-pilu-takjub.
Saya kenang tanggal 2 Januari lalu di saat saya pamitan berangkat ke Purwokerto. Ia menangis.
Saya ingat, hari-hari setelahnya saya selalu berdoa, semoga Tuhan berikan yang terbaik untuknya. Dan 13 Januari 2011 Tuhan memanggilnya. Saya tidak kaget. Saya tidak sedih. Saya haru.
Alhamdulillah purnah lah tugasnya sebagai manusia. Mungkin inilah yang terbaik untuknya daripada terjebak dalam tubuh renta yang sakit-sakitan. “Ora tegel weruh larane”, ya … saya tidak tega melihatnya terus sakit-sakitan.
Ia meninggal pukul 9.30 pagi tadi (hari Kamis). Sebelumnya ia masih sempat ngobrol dengan mbak, mas, ibu dan lainnya. Hanya saya yang absen, karena di Purwokerto. Mereka bilang, ia meninggal dengan cepat dan halus. Semoga hal itu memang tanda husnul khotimah.
Saya akan mengenangnya dan berdoa untuknya. Semoga Tuhan Yang Kasih mengampuni dosa-dosanya dan menerima amal-ibadahnya. Semoga ia termasuk orang-orang yang khair (baik) dan memperoleh tempat yang baik pula di sisi-Nya.
Selamat jalan Ibu Sutinah, selamat jalan nenekku sayang. []
0 comments :
Posting Komentar