
Ku terbangun saat kamu cium keningku dengan lembut. Udara dingin masuk melalui jendela yang kamu buka lebar-lebar. Senang sekali kamu menggodaku. Membawa beribu hawa dingin menggelitik tubuhku. Senang sekali kamu saat melihatku semakin menarik selimut. Kamu tertawa riang dan bilang “Honey … ayo bangunnnn. Si Mo saja sudah bangun dari tadi”. Ledekmu sembari mengangkat anjing putih itu.
Dengan malas-malasan kubangun juga. Langsung kupeluk tubuhmu dan ciumi lehermu. Kamu meronta-ronta menolak. “Hiii… bauuuuu”, kamu teriak dengan mengibas-ngibaskan tangan. Aku hanya terkekeh melihat ulahmu. Kuminum air putih yang telah kamu siapkan untukku. Dan kulalui hari itu habis bersamamu. Dalam ruang-waktu, sebuah episode pernikahan kita.
Suasana di atas terasa begitu hangat. Bahkan pernikahan yang asli bisa jadi lebih hangat daripada imajinasi itu. Tentang perpaduan dua pasang manusia: laki-laki dan perempuan yang berkomitmen untuk membangun keluarga bersama. Mereka berikrar saling mencintai dan setia dalam suka pun duka. Sebuah ikatan yang begitu menawan antara dua orang asing (bukan keluarga) yang saling percaya untuk menjadi keluarga.
Ada cinta di sana. Ada kasih sayang di sana. Ada cita-cita di sana. Cita-cita bersama tentang mengkreasi kehidupan bersama. Ya, kehidupan bersama antara kita dengan pasangan. Kehidupan yang tidak lagi sendiri-sendiri, tetapi kehidupan yang saling membagi. Kehidupan yang saling memberi ruang untuk pasangan kita masuk di dalamnya. Tentang ruang irisan antara saya dan kamu.
Dalam irisan itu ada perpaduan berbagai sudut pandang, latar belakang, keyakinan, harapan dan seterusnya. Sudut pandang tentang kehidupan yang kita ramu bersama dalam menafsir realitas. Sudut pandang bersama yang kita bangun dalam memutuskan sesuatu. Ya, sudut pandang adalah tentang bagaimana seseorang melihat sesuatu.
Tentu saja ruang irisan itu tidak netral. Ruang itu membuat satu dengan yang lain saling pengaruh-mempengaruhi. Kamu mempengaruhiku dan aku mempengaruhimu. Kita saling memberi dan menerima pandangan. Ruang itu menjadi ruang perpaduan aneka warna. Seperti bejana yang penuh dengan: merah, hijau, orange, kuning dan banyak warna lainnya.
Dalam bejana itu, tak hanya warna bercampur padu. Namun juga latar belakang, termasuk keluarga, masa lalu, pengalaman-pengalaman dan seterusnya. Sebuah kompleksitas kehidupan kita padu untuk membentuk kompleksitas baru yang lain.
Berbagai hal kita padu dalam pernikahan. Terlihat begitu rumit. Terlihat begitu melelahkan. Ada berbagai perbedaan seperti halnya kita berbeda dengan individu lain. Dan tentu saja, kita terlalu fokus terhadap perbedaan itu sehingga melupakan titik-titik persamaan.
Titik persamaan itu sekurang-kurangnya adalah bahwa sebagai manusia kita saling mencintai. Cinta, gelombang itu sangat cukup untuk menerima begitu banyak perbedaan. Ini tentang rasa yang dimiliki manusia. Sedang perbedaan, adalah tentang konstruksi yang dibangun oleh manusia. Mereka membangun perbedaan dalam identitas agar mengenal satu dengan yang lain. Agar dapat menunjuk siapa A, B, C dan seterusnya. Sedang cinta, meluruhkan itu semua. Dalam kesetaraan sebagai sesama ciptaan Tuhan, kita mempunyai pertautan rasa.
Rasa itulah yang kemudian melampaui tapal batas. Tak lagi ada tentang saya yang bla bla bla. Juga sebaliknya tentang kamu yang bla bla bla. Kita bertaut dalam rasa sebagai laki-laki dan perempuan. Kelelaki-lakian diriku dan keperempuanan dirimu membuat batas menjadi luruh. Sekat menjadi pudar. Dinding menjadi hancur. Kita bersatu dalam suka dan duka. Ya, dalam pernikahan.
Saya membayangkan sebuah episode dimana kita mengkreasi rumah idaman. Tengoklah, ada pendopo untuk orang ramai berkumpul dan berdiskusi tentang soal sosial. Di samping ruang tamu itu, kita bangun ruang baca dengan ribuan buku. Ya, saya ingin rumah kita dibangun juga dari batu bata dinamisme intelektual nan menembus batas. Jangan lupa, ruang tamu itu bergaya Jepang. Ia tak membutuhkan banyak furnitur. Hanya meja memanjang dengan alas karpet tebal.
Jikalau udara bagus, akan kita singkap lebar-lebar jendela rumah. Kita kurangi pendingin udara. Kita akan tanam banyak pohon di sekeliling rumah. Lihatlah kreasi rumah yang ramah lingkungan itu. Agar lebih bernyawa, akan kita bangun kolam ikan dengan bunga-bunga teratai di atasnya. Bebatuan koral menghiasi jalanan kecil di sampingnya. Indah dan juga menyehatkan kalau kita berjalan di atasnya.
Jangan lupa untuk membuat loteng di bagian atasnya. Saat petang datang, kita bisa habiskan waktu bersama sembari memandang langit yang memerah. Atau di malam hari, kita intip bintang-bulan dari loteng itu. Di sanalah kita akan temukan mozaik tentang langit. Tentang burung. Tentang ribuan bintang. Tentang galaksi.
Itulah rumah kita. Rumah yang bersemayam cinta-kasih, akal-budi dan romantika kisah-kasih. Di rumah itu akan kita songsong kehidupan baru. Sebagai suami dan sebagai istri. Sebagai suami dan istri yang terbuka satu sama lain. Tanpa tembok rahasia. Tanpa manipulasi tingkah laku. Tentang kejujuran dalam berkomunikasi. Tentang keinsyafan untuk saling menerima kekurangan-kelebihan.
Tentu membangun rumah itu membutuhkan waktu. Waktu itu lah yang akan membuat kita saling belajar dan memahami. Tentang rasa kesal. Tentang rasa marah. Tentang rasa cemburu bahkan frustrasi. Dan memang itulah kehidupan nyata. Kadang tak selalu mulus. Namun justru lika-liku itulah yang membuat hidup semakin mempesona dan pantas kita jalani. Perlu seni hidup di sana.
Selepas kerja kita habiskan waktu bersama. Kita bermain di dapur dengan eksperimen masak asal-asalan. Sampai akhirnya, kita menyerah. Masakan itu tak pernah menjadi brownies yang meski gagal tetap enak rasanya. Lalu, kita makan di luar sembari menikmati jalanan. Menikmati ruang publik di sebuah taman kota. Atau keramaian pecinan dengan berbagai pilihan menu. Kita nikmati malam itu sampai larut.
Sepulangnya, kita rebahan di atas ranjang. Kita saling berkisah tentang aktivitas masing-masing. Atau diskusi ringan tentang buku baru. Atau menonton film bersama. Atau, kita tutup malam itu dengan cumbuan indah sepasang kekasih.
Sungguh semua itu adalah indah. Namun keindahan itu bukan suatu yang datang begitu saja. Perlu keyakinan kuat dan pertimbangan matang untuk sampai pada perkataan, “Maukah kamu menikah denganku?”. Ya, karena pernikahan bukan orkes semalam usai. Pernikahan juga bukan keisengan dalam hidup. Ia adalah keputusan tentang berbagi ruang kepada orang lain dalam (sisa) kehidupan kita. Kepercayaan saja tidak cukup. Ia membutuhkan keberanian dan keteguhan. Keberanian untuk menanggung apa-apa yang mungkin terjadi. Keteguhan untuk senantiasa berusaha menggapai mimpi.
Pernikahan bukan seperti pohon plastik; Ia akan selalu nampak indah tanpa perawatan. Justru sebaliknya, pernikahan layaknya pohon hidup. Ia harus terus dirawat agar akarnya kuat menghujam sanubari. Batangnya kokoh menghadang rintangan. Daunnya rimbun mengayomi diri. Dan, bunga-bunga indah bermekaran dalam proses regenerasi. Pernikahan adalah benar-benar laku organik antara saya dengan kamu. Antara laki-laki dan perempuan. Antara suami dengan istri.
Tak seperti dongeng, kehidupan nyata menyimpan ketakpastian. Ketakpastian tentang apa-apa yang mungkin terjadi di masa depan. Karena ketakpastian itu kita perlu mendekat kepada-Nya. Kita berdoa dan berharap, “Jadikanlah dia pasangan yang baik bagi hidupku dan membawa berkah bagi banyak orang”. Dalam kedzaifan kita sebagai manusia, kita panjatkan doa itu dan dengan pelan kita berbisik yakin, “Amien”.
Dan di sebuah episode hidup kita temukan pasangan kita terlelap di sebelah kita. Tanpa sepengetahuannya kita perhatikan bibir indah yang mengatup itu. Kita belai rambutnya. Kita kecup kening dan matanya seraya berbisik, “I love you honeyr”. []
Gambar: rajawalistudio.wordpress.com, saya pinjam ya pak/ bu.
0 comments :
Posting Komentar