
“Langit dan bumi bertemu pada tapal batas horizon di laut nun jauh”
Saya akan menyebutnya pernikahan multikultural. Misalnya, seorang Indonesia bersuku bangsa Jawa menikah dengan orang Hongkong bersuku bangsa China. Yang satu beragama Islam dan yang lain beragama Kristen. Yang satu berasal dari keluarga menengah-bawah dan yang kedua berasal dari kelas atas. Yang Indonesia hidup di kota kecil dan yang Hongkong hidup di pusat metropolitan Asia, Singapura. Ya, demikianlah saya akan menyebutnya untuk mendeskripsikan tentang pernikahan yang latar belakang pasangannya multi background.
Perbedaan itu begitu beragam. Membentang hingga menjadi “different list” yang bisa disusun dari angka satu dan seterusnya. Dan pada ketertarikan emosionallah mereka bertemu dan memadu kasih. Inilah dunia kehidupan yang sangat alamiah. Dimana perasaan cinta yang merupakan manifestasi dari rasa kemanusiaan melampaui tapal batas apapun. Pertanyaannya, bagaimana semua perbedaan itu dapat dipertemukan dan dinegosiasikan dalam kehidupan mereka?
Suku Bangsa
Adakah orang yang bisa memilih lahir dalam suku bangsa tertentu? Adakah janin di dalam kandungan dapat meminta ke orang tuanya untuk dilahirkan di keluarga Jawa, China atau yang lain? Tentu tidak mungkin, bukan?
Suku bangsa adalah sesuatu yang final. Ia terberi (given) begitu saja tanpa seorang pun dapat menolaknya. Berbeda dengan suku bangsa, kewarganegaraan cenderung lebih cair. Ia masih dapat dipertukarkan. Seseorang dapat melakukan naturalisasi untuk memperoleh status kewarganegaraan penuh di sebuah negeri. Misalkan saja, orang Amerika/ Eropa bisa saja berpindah kewarganegaraan Indonesia dan memperoleh hak-hak penuh sebagai warga negara Indonesia.
Namun, sungguh tak mungkin orang tersebut merubah suku bangsanya. Suku bangsa adalah pertalian darah/ geneologis yang dari sana orang tersebut lahir. Ia tidak akan dapat merubahnya. Dalam suku bangsa terdapat latar budaya. Di sini mungkin masalah mulai timbul. Namun perlu diingat bahwa budaya adalah hasil pergulatan hidup manusia. Karena itu, budaya dapat dipelajari, bahkan dipertukarkan.
Memang perlu proses untuk sampai pada pemahaman lintas budaya. Ketika yang bersangkutan bergumul bersama, maka ruang-waktu untuk saling belajar terbuka lebar. Artinya juga, saling pemahaman akan muncul dan mengurangi berbagai potensi konflik yang mungkin timbul.
Agama
Adakah janin dapat memilih ingin dilahirkan dalam keluarga yang menganut agama tertentu? Tentu tidak ada. Namun dapatkah seseorang yang berusia di atas 18 tahun (dewasa) merubah keyakinan/ agamanya? Tentu sangat mungkin. Artinya, pada awalnya agama adalah proses yang given juga. Seorang anak akan mengkuti agama orang tuanya karena ia disosialisasikan dalam agama tersebut.
Sampai saatnya ketika orang tersebut bersosialisasi di ruang lain, bertemu dengan pemeluk agama lain, melakukan pengkajian terhadap agama lain, ia memutuskan untuk merubah keyakinan/ agamanya. Tentu dengan berbagai pertimbangan dan alasan.
Berbeda dengan suku bangsa, agama mempunyai seperangkat active value. Suku bangsa kita terima secara pasif yang tidak banyak mendisposisi individu untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu. Sedang agama, ia adalah sekelumit imperatif-imperatif yang mendisposisi individu melakukan atau tidak melakukan sesuatu untuk agamanya (Tuhannya). Termasuk salah satunya adalah masalah pernikahan. Tentang sah/ boleh tidaknya seorang pemeluk agama tertentu menikah dengan pemeluk agama lain. Pada variabel ini cenderung debat sengit akan terjadi.
Biasanya keluarga atau pasangan akan bertanya, “Maukah kamu pindah agama?” Tentu ini bukan sekedar pertanyaan, tetapi masalah yang sulit. Sebagai jalan untuk menghamba kepada Tuhan, agama berangkat dari keinsyafan individu. Apalagi saat usia orang tersebut sudah dewasa. Maka sifatnya bukan lagi seperti anak kecil; bermain pisau kemudian si orang tua melarang. Melainkan sebuah proses pencapaian kondisi religius (state of religious) tertentu yang berasal dari kerelaan-keikhlasan (acceptableness) untuk beragama dan bertuhan.
Meminta/ memaksa salah satu pihak untuk pindah agama tentu tidak menginsyafi fakta bahwa agama adalah masalah kerelaan yang bersifat fundamental. Bukan formalitas dan juga bukan sekedar simbol. Ia adalah laku hati tentang meyakini sesuatu yang sama sekali tak bisa dipaksakan. Memaksakan pindah agama hanya akan melahirkan hipokrisi/ kemunafikan yang ditentang dalam tradisi agama apapun.
Sehingga pernikahan antaragama lebih bijak dibanding meminta salah satu pihak untuk pindah agama. Di sisi lain, dalam pergumulan yang panjang sebagai suami-istri tidak menutup kemungkinan salah satu pihak akan dengan rela pindah agama. Tentu hal ini sangat erat kaitannya pencerahan/ hidayah yang diberikan Tuhan. Di sisi lain, tentang ketauladanan, penilaian terhadap agama dan tingkat keyakinan terhadap agamanya.
Status Sosial-Ekonomi
Berbeda dengan beberapa variabel di atas, status sosial-ekonomi sifatnya adalah achieved status. Yakni status yang dapat dikejar. Pokok masalahnya bukan pada bagaimana seseorang memperoleh status itu, ascribed (warisan) atau achieved (diusahakan), tapi pada bagaimana masing-masing pasangan memandang perbedaan status tersebut. Dalam konteks pasangan di atas, tentu saja relasinya a-simetris. Yang kemudian juga a-simetris pada masalah posisi tawar salah satu pihak.
Bisa juga kita melihatnya bahwa relasi mereka simetris bukan dalam konteks material melainkan dalam konteks pertukaran nilai. Misalnya, sampai pada titik kekayaan tertentu, seseorang mengalami kejenuhan hidup. Berbagai kesenangan dapat ia beli. Berbagai hal dapat ia lakukan dengan modal yang dimilikinya. Namun ia merasa ada yang kurang, misalnya tentang kebahagiaan (happiness), dan justru ia temukan pada orang dari kalangan menengah-bawah itu. Misalnya, tentang kesederhanaan hidup, tentang ketulusan dan sebagainya. Dalam konteks seperti ini terjadi proses pertukaran nilai yang sifatnya immaterial. Sehingga orang yang dari kalangan menengah-bawah tidak mesti kehilangan posisi tawar. Justru apa yang dimilikinya adalah sesuatu yang substansial dalam hidup, yakni tentang nilai-makna kebahagiaan.
Masalah akan muncul bilamana salah satu pihak merasa rendah (underestimate) dengan status dirinya. Di sisi lain, pasangannya merasa overestimate dan cenderung mendikte. Alhasil terjadi proses kekerasan psikologis, disadari atau tidak, yang cenderung bermodus perendahan martabat pasangannya.
Meski demikian, relasi seperti ini akan melahirkan peluang untuk belajar-ilmu-padi. Yakni tentang, “Semakin kaya semakin rendah hati”. Jika berhasil, maka mereka akan menjadi pasangan yang humble dan wise full terhadap pasangannya dan akan termanifestasi kepada lingkungan sekitarnya.
Konteks Hidup
Seseorang yang hidup di kota kecil akan memperoleh proses internalisasi nilai-budaya cenderung sederhana. Namun orang yang hidup di kota besar, metro atau bahkan megapolitan, akan memperoleh internalisasi nilai-budaya yang lebih kompleks. Yakni ketika yang bersangkutan berjumpa dengan beragam etnik, latar pendidikan, warga negara, agama, jenis pekerjaan, bahasa dan sebagainya dalam kehidupan sehari-harinya.
Konteks kehidupan seperti ini akan melahirkan cara pandang, kebiasaan, sikap mental, ekspektasi, visi yang berbeda antara yang pertama dengan yang kedua. Pokok masalahnya hampir sama dengan budaya atau adat yang dibawa dari perbedaan suku bangsa. Bisa jadi tentang kesalahpahaman memandang dan menafsir peristiwa hidup. Atau tentang kebingungan menyikapi masalah tertentu dan sebagainya.
Proses belajar untuk saling memahami konteks hidup pasangannya adalah langkah awal agar berbagai perbedaan tersebut tidak meruncing. Ilustrasi sederhana misalnya bagi seseorang yang hidup di kota metro/ megapolitan kebiasaan cium pipi/ pelukan dalam pergaulan adalah hal lumrah. Di sisi lain, bagi yang hidup di kota kecil hal tersebut adalah tabu. Dalam konteks seperti ini dibutuhkan komunikasi agar muncul kesepahaman dan rasa pengertian.
Konteks hidup juga memberi seperangkat pengalaman yang dapat diposisikan sebagai khazanah kehidupan. Justru dengan saling belajar konteks hidup masing-masing, relasi akan lebih mencerdaskan dan menggairahkan. Tentang belajar sesuatu yang baru dan tentang belajar tiada henti.
Gagap Budaya
Gagap budaya (shock culture) akan terjadi pada kedua belah pihak. Satu sama lain akan merasa aneh atau asing mendefinisikan kebiasaan, adat, keyakinan atau cara pandang pasangannya. Perlu proses adaptasi dan belajar. Komunikasi adalah pembuka bagi semuanya. Saling berbagi tentang apa-apa yang tidak diketahui pasangannya. Juga saling pengertian.
Gagap budaya ini adalah hal wajar dimana seseorang memasuki ruang baru dengan karakteristik ruang berbeda. Ruang bersama yang mungkin belum pernah ia jumpai. Yang perlu diperhatikan bahwa hidup adalah proses menjadi-yang-tak-pernah-usai (unfinished being). Selalu ada ruang terbuka untuk menerima hal-hal baru. Artinya juga menerima pengalaman-khazanah baru.
Dalam proses menjadi-yang-tak-pernah-usai itu, pernikahan multikultural adalah usaha untuk mendialogkan perbedaan dengan posisi subyek yang setara. Karena proses dialog, open minded adalah pra-syarat agar gelas tidak dimaknai kosong atau bahkan sudah penuh, melainkan hanya terisi separoh. Separoh lainnya ia peroleh dari pasangan hidupnya. Tentang apa-apa yang bisa saling diberi-terimakan (take and give).
Mejauhi pikiran naïf, tentu kurang tepat untuk mengatakan bahwa pernikahan multikultural adalah mudah. Lebih elok jika kita katakan, pernikahan multikultural akan memberikan khazanah, pengalaman serta pesona hidup yang lain, tentu dengan tantangan-hambatan yang sepadan.
Hal ini nampaknya harus dimulai dengan keyakinan dan keberanian bahwa hal tersebut bisa dilalui. Dan faktanya, sudah cukup banyak yang membuktikannya. Ujungnya, dalam kerendah-hatian sebagai makhluk yang dzaif, berdoa kepada-Nya adalah salah satu jalan agar apa-apa yang dihajatkan dapat terlaksana dengan lancar. Semoga. []
0 comments :
Posting Komentar