Aku tak pernah sangka kalau krisis nuklir Jepang membuatku cemas. Pukul lima tadi kau terbang ke Jepang menjemput papamu. Dua hari lalu sudah kukatakan, minta seluruh familimu menjauh dari Fukushima. Bila perlu, pulanglah ke Singapura atau Taiwan.
Papamu tetap ngotot. Kakak lelakimu menemani. Hanya mama dan kakak perempuanmu yang pulang agar kau tak cemas. Tapi, kini kau malah menyusul ke sana bersama mereka. Dan itu, membuatku demikian cemas.
Kau tahu, ihwal Jepang adalah tentang “sudah jatuh tertimpa tangga”. Tsunami itu demikian dahsyat. Gempa sembilan sekian skala richter membuat sebagian negeri itu porak poranda. Ada sekitar 13.000 orang yang dikabarkan meninggal dan atau hilang. Dan kini, “tangga” itu menimpa. Krisis nuklir mengintai jam demi jam, hari demi hari. Sepertimu, kucermati terus perkembangan berita.
Krisis itu terjadi lantaran pendingin inti nuklir rusak akibat tsunami. Jika inti yang panasnya di atas ratusan derajat celcius itu melumer, radiasi tak akan terbendung. Pemerintah Jepang pontang-panting berusaha mendinginkannya. Helikopter dengan meriam air bergantian menggerojog pusat inti dengan air laut.
Teknologi maha agung itu ternyata begitu rapuh. Tsunami membuktikannya. Ia membutuhkan perhatian ekstra. Bahkan sangat ekstra. Mulai dari sistem pendinginan, sistem darurat, kedisiplinan personil sampai struktur bangunan. Namun, ia begitu rapuh di depan kekuatan alam. Komisi nuklir Perancis mengatakan resiko atas kerusakan prefektur di Fukushima berada di level enam. Sedang otoritas Jepang membantah, hanya di level empat, katanya. Terlepas silang sengketa itu, paska tsunami ancaman lebih besar menghadang.
Masyarakat moderen adalah masyarakat beresiko tinggi, ujar Giddens. Sampai titiknya, teknologi hasil cipta manusia meneror dirinya. Ia bak juggernaut si panser raksasa yang lepas kendali. Juggernaut melaju kencang, menabrak-melabrak apa-apa di depannya. Nyawa manusia menjadi taruhan. Keselamatan peradaban juga dipertaruhkan. Tak ada teknologi yang sedemikian beresiko selain nuklir.
Fusi inti atom melahirkan energi ribuan mega watt. Dan apakah hukumnya? Jangan membuat kendaraan sedemikian cepat jika tak tahu cara menghentikannya. Ribuan mega watt akan menjadi monster jika tak tahu cara mengendalikannya. Itupun belum termasuk dengan dampak sampingan yang sangat berbahaya.
Ingatlah, radiasi polutan nuklir masih akan terus mengintai ratusan bahkan ribuan tahun. Bungker- bungker dengan ketebalan sekian meter dibangun untuk menimbunnya. Para insinyur dengan segenap kecermatan dan keakuratan menghitung berbagai kemungkinan. Dan, sampai sekian ratus atau ribu tahun sebelum radio aktif dalam polutan itu expired, umat manusia hidup bersama resiko. Bagaimana bilamana bungker itu terdampak gempa, tsunami, tersasar rudal atau sengaja dibom teroris? Seram, bukan?
Nagasaki-Hiroshima, Chernobyl dan kini Fukushima adalah paradoks capaian ilmu pengetahuan. Capaian ilmu yang begitu mengagumkan dan juga menakutkan. Belum lagi ditambah dengan perlombaan senjata nuklir yang menggiring dunia ke tepi jurang. Sekali tombol itu dipencet, mustahil menset ulang. Nampaknya, ilmuwan-insinyur perlu berpikir ulang. Birokrat-teknokrat perlu menghitung ulang. Dan para begawan-aktivis harus menghardik ulang!
Konyolnya, Indonesia dengan masygul ikut-ikutan bermain nuklir. Padahal masih banyak sumber energi lain. Energi panas bumi, mikro-hidro, plasma atau generator potensial magnet yang belum tergarap serius. Dan ingatlah, Indonesia adalah negeri dimana lempeng bumi Asia dan Australia bertemu. Resiko gempa sangat tinggi. Belum lagi banyak gunung berapi yang masih aktif. Ancaman tsunami, seperti Aceh misalnya. Pun sangat mungkin ancaman bom seperti di Jakarta beberapa hari lalu. Mungkinkah dibatalkan?
Kuberharap krisis nuklir Jepang membuat masyarakat dunia berpikir ulang. Tak terkecuali pemerintah Indonesia. Dan kuharap, Tuhan senantiasa menjagamu, keluargamu dan penduduk Jepang lainnya. Amien. []
Gambar: prefektur PLTN Fukushima, Jepang.
0 comments :
Posting Komentar