Tempe Mentega Pak Yitno

Oleh: Firdaus Putra

Dulu di masa SMA saya punya teman akrab. Suyitno namanya. Biasanya disapa Yitno. Meski saya hanya setahun di SMA itu, namun pertemananku dengannya berkesan dalam. Ya, ketika di tahun ini seorang teman invite saya ke Grup BBM SMA, saya tanya apakah ada yang bisa invite Yitno ke grup. Hasilnya, nihil.

Sampai kemudian beberapa minggu lalu di bulan ini, Juli 2016, Nadian minta nomor saya untuk diberikan ke Yitno. Selisih seminggu kemudian Yitno hubungi saya. Itulah kali pertama saya bisa ngobrol dengannya setelah 13 tahun sejak lulus SMA dulu kala.

Ia kisahkan bagaimana ia kangen ingin ketemu saya. Sayangnya, saya hanya dua hari di rumah Pekalongan saat Idul Fitri kemarin. Ia bilang, “Aku itu selalu cari kabar kamu dari teman-teman. Pada bilang Firdaus hidup di Purwokerto sekarang”. Dan saya pun sampaikan, saya juga tanyakan kabar dia ke teman-teman.

Via telpon kami ngobrol panjang-lebar sekira 30 menit. Dia kisahkan bagaimana ia bisa sampai hidup dan membangun usaha tempe di Palembang. Bagaimana ia menikah, mbabad usaha dari nol dan sekarang dikaruniani tiga anak. Tak ketinggalan usahanya cukup stabil dengan 4 karyawannya. Ya, dia seorang usahawan. Seorang bos.

Dan sungguh konyolnya dia masih ingat bahwa saya pernah memberikannya sebuah Kamus Ilmiah Populer dulu kala saat sekolah. Ia kisahkan, dan itu membuat saya haru, “Kamus itu saya bawa ke Sumatera lho. Saya baca dan manfaatnya terasa saat baca koran atau tonton acara teve. Saya bisa paham apa yang dimaksud: signifikan, stagnan, doktrin dan lainnya”, begitu ia menyontohkan.

Entah ia termotivasi atau terinspirasi darimana, ia beberkan pula kalau ia sering beli buku di Gramedia. “Istriku nanya, beli buku terus sampai numpuk buat apa. Ya buat dibaca kalau lagi santai”, katanya. Sungguh itu membuatku takjub. Bagaimana tidak, seorang usahawan murni lulusan SMA masih menyempatkan diri untuk baca buku. Tambah alokasikan dana untuk membelinya. Sungguh ia orang yang menaruh minat besar pada ilmu dan pengetahuan.

Boleh jadi ia terinspirasi beli dan baca buku dari kata-kata yang ia serap di kamus itu. Ya, kata adalah dunia. Kata adalah sebuah konsep untuk mendefinisikan realitas tertentu. Yang mungkin saja, buatnya, kata-kata itu seperti magnet yang membangkitkan daya imajinasi. Aku teringat dengan film The Book Thief (Si Pencuri Buku), seorang gadis Jerman berusia 12 tahun yang gandrung membaca karena kesukaannya pada kata-kata baru. Ia hafal dan tulis setiap kata baru di dinding bawah tanah rumahnya.

Liesel Sauchman, nama gadis itu, boleh jadi awalnya hanya ingin melatih baca-tulis. Namun ternyata buku atau kata-kata selalu mengandung makna. Makna tentang hal ihwal, tentang realitas. Ia pun makin suka, terlebih pada buku-buku dongeng. Hal itulah yang mendorongnya untuk mencuri buku dari keluarga kaya tertentu di kampungnya. Film itu diangkat dari novel bersetting 1930-40an saat Hitler berkuasa (https://en.wikipedia.org/wiki/The_Book_Thief).

Boleh jadi Yitno, temanku itu, punya motif yang berbeda. Namun yang jelas ia begitu melek informasi. Misalnya saja ia kisahkan bagaimana secara aktif gunakan internet untuk belajar inovasi produk, “Sekarang saya punya merek sendiri, Tempe Mentega Pak Yitno. Laris. Malah teman-teman pengrajin tempe lainnya pada minta diajari. Padahal kan saya belajar mandiri dari internet”, katanya. Melihat dia begitu antusias dengan bisnis tempenya, saya sampaikan bahwa tahun 2015 pernah diadakan Konferensi Internasional tentang Tempe di Yogyakarta (kegiatan dan materinya bisa diunduh di sini: http://www.ictempe.com/#!conference-files/c1j9j). Saya ceritakan, setelah baca materi unduhan itu, tempe semangit lebih bernilai gizi tinggi dibanding tempe yang baru matang satu hari. Meskipun tak banyak orang menyukainya karena dikira rusak atau sudah basi.

“Saya tak punya skill apa-apa. Keluarga saya semuanya jualan tempe. Jadi ya saya ikut menekuni bisnis itu. Saya mulai dari nol bareng sama istri. Lalu punya dua karyawan. Terus sekarang punya empat. Alhamdulillah rata-rata karyawan betah kerja. Minimal dua tahun, ada yang sampai lima tahun. Saya bilang sama mereka bahwa kita sama-sama nyari penghidupan bersama. Jadi jangan anggap buruh sama majikan, karena kalau tak ada kalian, saya juga tak bisa apa-apa”, ujarnya panjang-lebar.

Lumrah bila orang betah kerja dengannya. Meski hanya setahun kami berteman, namun saya merasakan bahwa Yitno orang yang tulus. Selain cara bicara dan sikapnya, air mukanya menggambarkan itu. Ia sosok yang apa adanya. Bahkan saat ia ngobrol malam itu, “Aku sekarang beratnya 80 kg. Pas ketemu Nunik, Nasiroh mereka pada pangling”. Ia hanya bersikap tulus, sedang menggambarkan dirinya saat ini.

Ya, sedari dulu Yitno memang gemuk. Entah sekarang ia seperti apa, tambah gelap atau makin terang kulitnya. Saya tak bisa membayangkan wajahnya yang sekarang setelah 13 tahun tak bersua. Moga tahun depan kami bisa bersua saat Idul Fitri mendatang. Sehat selalu dan makin sukses, Yit! []

Tahun 2008 aku pernah mengenangnya: http://www.firdausputra.com/2008/06/sebuah-kenangan.html 

Share on Google Plus

About Firdaus Putra

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :