Tentang Keputusan

Oleh: Firdaus Putra

“Yang lalu biarlah berlalu. Tengoklah hari esok. Hari esok masih panjang”, begitu katanya. Ia masih muda. Selisih satu tahun denganku. Namun soal pengalaman, saya rasa dia sudah makan asam garam kehidupan. Dan saat ia memberi nasehat seperti itu, saya pikir dia pernah mengalaminya. Dimana keadaan menuntut untuk membuat keputusan, yang bisa jadi tidak enak. Karenanya saya ingin meyakini perkataan itu.

Membuat keputusan seringkali menyangkut masalah tertentu. Ya, kita sebut masalah yang lebih sering berkonotasi negatif (complicated) atau dengan eskalasi konflik yang tinggi. Padahal setiap hari kita senantiasa membuat keputusan. Misalnya, saat di meja makan, apa yang ingin kita makan-minum? Adakah kita memilih nasi goreng atau bakmi. Memilih minum teh atau jus dan sebagainya. Atau saat kita akan pergi, baju apakah yang ingin kita kenakan? Warna hitam, biru, hijau atau lainnya. Baju dengan motif apa? Sepatu atau sandal? Asesoris apa? Dan seterus dan seterusnya.

Dalam rentetan peristiwa hidup seperti itu sebenarnya kita sudah membuat lebih dari 20 keputusan dalam sehari. Namun, kita tidak akan menyebutnya dengan “membuat keputusan”. Kita menghayati sebagai sesuatu yang lebih ringan. Ya, sekedar pilihan. Memilih A atau B, C atau D dan seterusnya.

Artinya frasa “membuat keputusan” pasti menyoal tentang pilihan sikap dengan resiko atau konsekuensi yang besar/ berat/ tinggi. Sedangkan pilihan-pilihan seperti rentetan di atas, dapat kita anggap memiliki resiko ringan/ kecil. Salah memakai baju/ kostum tak akan membuat kita menyesal seumur hidup. Paling banter adalah salah tingkah, kikuk atau malu.

Membuat keputusan khususnya menyangkut masalah pribadi sangat perlu memperhatikan kenyamanan diri. Artinya sejauh mana diri kita bisa menerima keputusan itu sebagai kebenaran dengan berbagai konsekuensinya. Karena kebenaran itu sendiri multi-perspektif, maka kita membutuhkan “kebenaran subyektif” yang mana hal itu kita menganggapnya benar.

Egois? Mungkin orang lain mengatakan egois. Namun saya lebih suka menyebutnya dengan “berdamai dengan diri sendiri”. Bahwa keputusan yang kita buat bukan semata berdampak kepada orang lain, misal: teman, pacar, orang tua atau masyarakat, tapi juga pada diri kita. Berdamai dengan diri sendiri adalah bagaimana kita mau dan mampu menerima dampak dari keputusan itu tanpa harus menyesalinya.

Dalam situasi krisis, akan banyak hal yang menjadi pertimbangan. Dan perlu juga mempertimbangkan bagaimana konsep diri kita setelah membuat keputusan itu. Jika keputusan hanya baik bagi orang lain namun membuat konsep diri kita rendah/ jatuh, ini adalah keputusan yang berbahaya. Karena sebelum orang lain sakit/ tersakiti, diri kita menderita terlebih dulu.

Sangat perlu untuk membuat diri kita “merasa benar” dengan menginsyafi bahwa dalam keputusan itu sangat membuka kemungkinan kita salah. Karena “merasa salah” dalam membuat keputusan akan membuat kita senantiasa dibayang-bayangi rasa penyesalan. Padahal, masa lalu adalah masa lalu. Dan hari esok itu masih panjang. Sehingga membuat keputusan selalu mempertimbangkan dimensi masa depan. Sebuah bayangan, proyeksi bahwa dengan keputusan seperti ini kita berharap akan lebih baik. Ada optimisme di sana. Ada bengharapan di sana. Ada doa di sana, “Semoga lebih baik”.

Persoalannya individu senantiasa berhubungan dengan orang lain (masyarakat). Masyarakat baik secara anonim yang terwakili melalui nilai-nilai, norma, klaim dan lain sebagainya. Atau masyarakat yang dapat kita tunjuk siapa anggota-anggotanya. Dari dan oleh masyarakatlah keputusan kita akan dihukumi. Benar atau salah!

Yang menjadi masalah setiap situasi adalah unik. Dan setiap individu mempunyai penghayatan yang berbeda atas situasi itu. Bagi si Fulan masalah si A adalah biasa saja. Di sisi lain, bagi si B masalah Fulan itu rumit dan seterusnya. Padahal, setiap individu mempunyai situasi yang dihayatinya sendiri (lebenswelt). Orang lain tidak akan pernah mampu secara pasti, akurat dan mendalam seperti yang besangkutan mengalami situasi itu. Oleh karenanya, justifikasi orang lain/ masyarakat sangat relatif sifatnya.

Yang harus diperhatikan apakah sebuah keputusan dapat meningkatkan kualitas hidup individu tersebut atau justru merendahkannya. Kualitas hidup dalam makna yang luas: kebahagiaan, eksplorasi diri, prestasi, motivasi, ambisi, mimpi, cita-cita dan sebagainya. Karena hal inilah yang akan membuat hidup seseorang sedemikian bermakna (meaning full).

Makna dalam hidup bukan sesuatu yang terberi (given). Melainkan proses aktif bagaimana kita memproduksi dan mereproduksi makna tersebut. Dalam konteks itu juga, bagaimana kita mengejar dan mewujudkannya. Proses mewujudkan makna itu akan mencapai hasil tertentu yang kita sebut bahagia. Saya termasuk orang yang percaya bahwa pencapaian material tidak mesti membuat orang bahagia (happiness). Pencapaian material, hanya membuat orang merasa senang (pleasure).

Dia bilang, “Jangan cengeng!”, karena masalah tak akan selesai dengan kita cengeng. Mau atau tidak, kita harus menghadapinya. Dalam arti bagaimana kita dapat berdamai dengan diri sendiri atau bahkan memaafkan diri sendiri. Di sinilah salah satu tahap menggapai kebahagiaan. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :