Oleh: Firdaus Putra
Apa yang saya maksud dengan meta pemikiran adalah struktur
atau mode tertentu yang meghasilkan corak pemikiran tertentu. Dalam hal ini,
meta pemikiran paralel dengan mode of
thinking yang kemudian menghasilkan produk: gagasan, pemikiran, sikap,
pandangan tertentu.
Kekhasan cara berpikir dan sikap yang saya maksud bisa kita
lihat pada tabel di bawah ini:
Daftar di atas tentu masih bisa diperpanjang dengan
mengamati cara berpikir atau sikap aktivis mahasiswa dalam kehidupan mereka
sehari-hari, aktivitas akademik dan aktivitas sosial-politik. Dan daftar itu
hanyalah deretan gejala/ symptoms
dari struktur yang berada di belakangnya.
Struktur
Berpikir
Paling tidak ada tiga unsur pokok yang membentuk corak
pemikiran mahasiswa: pengalaman hidup yang bersangkutan, referensi ilmu
pengetahuan dan ideologi atau keyakinan. Dari ketiga hal itu, pengalaman saya
tempatkan di awal karena bersifat bawaan dari dialektika hidupnya. Pengalaman
tersebut bisa menjadi penyaring jenis pengetahuan dan ideologi seperti apa yang
ia internalisasi.
Namun pada tahap kematangan, menurut saya ideologi justru
menjadi faktor yang menentukan untuk mengkerangkakan pemikirannya. Melalui
ideologi, pengalaman hidup dapat di-reframing.
Ideologi memberikan basis pemaknaan soal bagaimana hidup berjalan. Dan juga
ideologi bisa menyaring pengetahuan-pengetahuan seperti apa yang bakal ia cerap
dan mana yang tidak.
Dalam konteks seperti itu, aktivis selalu merespon realitas
berdasar ideologi yang ia yakini. Artinya, ia melihat realitas dalam bingkai
perspektif tertentu. Alhasil, realitas yang ia cerap adalah cropping reality. Sebenarnya ini adalah
gejala umum pada tiap manusia, bahwa sekali realitas mewujud di hadapan
manusia, realitas tak lagi berdiri netral. Makna realitas tak lagi berada pada
dirinya, melainkan tergantung pada pemaknaan subyek[1].
Jerman vis-à-vis
Amerika
Jika kita polarisasi, maka ada dua pola umum yang bisa kita
analogikan sebagai corak pemikiran Jerman dan corak pemikiran Amerika. Corak
pemikiran Jerman biasanya mendalam, menyangkut persoalan-persoalan filosofis,
menanya tentang makna kehidupan, mencari jawaban atas apa yang benar dan
seterusnya. Dan karenanya, corak pemikiran Jerman cenderung abstrak, general
dan ketat dalam logika (koherensi dan korespondensi).
Di sisi lain, corak pemikiran Amerika cenderung meluas,
menyangkut persoalan keseharian, lebih bersifat problem solving dan kaya
imajinasi dan kreatif. Corak pemikiran ini cenderung detail, spesifik dan
pragmatis.
Dari dua corak itu, aktivis akan lebih dekat ke corak Jerman
daripada Amerika. Mengapa hal ini terjadi? Hal ini merupakan pengaruh dari
pertarungan ideologi-ideologi besar yang kemudian mereka internalisasi dalam
proses pendidikan-perkaderannya. Hal ini menemukan tautan konteks dengan
Indonesia sebagai negara Dunia Ketiga dengan beragam masalahnya.
Determinisme
Perspektif
Apa yang menjadi masalah adalah ketika aktivis terjebak pada
determinisme perspektif. Determinisme perspektif merupakan bentuk
fundamentalisme dalam berpikir yang hanya dan hanya dengan perspektif itu saja
mereka melihat masalah. Efek dari determinisme perspektif ini adalah
ketertutupan diri terhadap perspektif yang lain. Dalam konteks seperti ini,
saya cenderung sepakat dengan nalar Popperian yang selalu terbuka pada
perspektif lain.
Sebagai contoh, sebagian aktivis alergi dan sinis dengan
pelatihan-pelatihan motivasi, buku yang bertema how to, buku success story
dan semacamnya. Sebaliknya mereka akrab dengan buku-buku yang cenderung muram, sad story dan seterusnya.
Saya punya kekhawatiran bahwa cara pandang semacam itu karena
tidak tuntas dalam belajar filsafat. Apa hubungannya? Ada tiga cabang umum dalam filsafat: logika,
etika dan estetika. Logika berurusan dengan
“apa yang benar”; Etika menyoal tentang “apa yang tepat”; Estetika
memberi kerangka “apa yang indah”. Dan saya mengajukan hipotesis bahwa aktivis
cenderung cenderung lebih banyak belajar tentang logika daripada etika. Karenanya,
perjalanan intelektual dia cenderung ke ruang abstrak dan general daripada
spesifik dan praktis.
Yang jadi persoalan, sering para aktivis menarik-narik
parameter logika ke etika. Hal ini saya sebut sebagai ekstrapolasi parameter.
Sebagai contoh bagaimana respon aktivis terhadap kebijakan kampus seperti,
kuliah harus pakai sepatu dan baju berkerah. Sebagian aktivis menolak dengan
alasan, apa hubungannya antara pendidikan dengan pakaian? Apakah jika tidak
memakai sepatu, ilmu yang kita terima menjadi berkurang? Tentu tidak.
Dalam melihat kasus itu, aktivis menempatkannya dalam domain
benar/ salah. Padahal seharusnya ditempatkan dalam domain tepat/ tidak. Dengan
kesalahan menggunakan parameter itu, aktivis cenderung hidup hanya dalam
spektrum benar-salah. Tepat-tidak dan indah-tidak, tidak menjadi ukuran.
Secara hirarkis memang parameter kebenaran menempati derajat
tertinggi. Menyusul kemudian parameter kepantasan dan keindahan. Karena hal ini
juga, saya melihat sebagian aktivis terjebak pada sikap “tirani i’tikad
baik”. Yang membuat mereka nampak absah
untuk melalukan “apapun” mengingat i’tikad baik menegakkan kebenaran.
Paradigma Baru: Bener dan Pener
Orang Jawa mempunyai kearifan mengenai sesuatu yang bener dan pener. Bener adalah
benar dan pener artinya tepat. Bagi
orang Jawa, yang bener belum tentu pener dan sebaliknya. Dan kearifan Jawa
hidup dalam dua spektrum itu sekaligus.
Benar-salah terkait status masalah dan tepat-tidak terkait
bagaimana merespon, strategi, cara dan seterusnya. Dalam kerangka seperti itu
saya mengusulkan untuk mengawinkan keduanya dalam meta pemikiran. Dalam bentuk
diagram sebagai berikut:
Diagram di atas merupakan adaptasi dari skema struktur
tindakan Berger dan kritik ideologi Ricoeur. Yang mana mekanisme kritik
ideologi beroperasi melalui proses distansiasi (penjarakan) terhadap ideologi/
keyakinan tertentu atau terhadap realitas. Melihatnya dengan cara yang berjarak
(berbeda) dengan cara pandang sebelumnya, yang memungkinkan kita mengoreksi
keyakinan terdahulu atau menemukan cara pandang yang lain. []
Ingat Kant tentang konsep das ding an
sich, realitas dalam dirinya sendiri.
0 comments :
Posting Komentar