Kapan dan Bagaimana Saya Menyukai Buku?

Oleh: Firdaus Putra, HC.

Kisahnya tak serius-serius amat. Dulu ketika masih mondok, masing-masing santri dapat jatah lemari ukuran 40x60 cm. Itu untuk menampung semua baju dan semua hal lainnya. Termasuk kitab-kitab kuning yang tipis sampai tebal. Tentu saja kitab kuning saya semuanya tipis. Kalau tebal, artinya sudah tingkat lanjut.

Lalu saya lihat salah satu lemari teman berisi warna-warni buku. Ada yang tebal, ada yang tipis. Kok bagus, batinku. Saya ingin lemariku nampak seperti itu. Mulailah saya membeli dan mengoleksi buku. Tipis-tipis. Maklum uang bulanan juga tipis.

Buku apa saja yang dibeli? Itu pun tak punya preferensi khusus. Apapun yang penting murah. Dulu seharga Rp. 3.800 untuk terbitan Gema Insani Press (GIP). Itu saya punya beberapa.

Apakah serius dibaca? Tidak. Atau belum. Hanya untuk mengoleksinya saja dan mempercantik lemari. Rasanya menyenangkan lihat lemari itu tak cuma tumpukan baju dan alat mandi plus beberapa kitab kuning.

Saat itu saya kelas 1 atau 2 Aliyah/ SMA. Saya beli Jurnal Gerbang. Ini jurnal pemikiran serius. Anak-anak muda NU yang nyusun. Saya suka layout teksnya. Dan lama-lama saya membacanya. Cukup berat. Namun saya tangkap. Perdebatan Nasr Hamid Abu Zaid, yang dipidana murtad karena disertasinya di Al Azhar Mesir itu, saya baca ketika Aliyah kelas 2. Tentang Abu Zaid [klik di sini]

Sebab beberapa istilah itu sulit dimengerti, saya beli Kamus Ilmiah Populer. Harganya Rp. 18.000. Suatu ketika saya berikan kamus itu ke teman SMA yang masih digunakan sampai sekarang. Yang mana dia sekarang menjadi juragan tempe di Palembang. Boleh jadi dia merasakan seperti yang saya rasakan. Kata-kata itu magis. Kadang rumit, kompleks, namun itu seperti magnet. Punya daya pikat. Kisah dia [klik di sini] 

Mulailah saya serius membaca. Tepat saat itu diskursus Islam Liberal muncul, tahun 2001-2002 yang menggegerkan [klik di sini]. Kebetulan satu kamar kami isinya macam-macam: mahasiswa, SMA dan SMP gabung jadi satu. Dari situ saya mulai berolah pikir. Malam hari biasanya kami isi dengan ngopi dan diskusi. Ditemani rokok cethe (dengan baluran kopi) kami diskusi sampai dini hari. Istilahnya "ngoyot".

Sampai kemudian sekolah kami, kebetulan saya masuk di OSIS, melakukan demonstrasi kepada Kepala Sekolah dengan tuduhan korupsi. Tentu saja semangat Reformasi 1998 masih dekat dengan tahun saya Aliyah, 2000. Dua teman saya di DO karena demonstrasi itu. Dan saya pun memilih untuk keluar dari Aliyah dan pondok. 

Saya pun pindah dari Kediri, Jatim ke Pekalongan ketika naik kelas 3. Di sinilah justru saya memperoleh akses buku yang lebih banyak dan bagus-bagus. Di Pekalongan, lagi-lagi saya sekolah di Aliyah, di MAN 1. Perpustakaannya besar dan koleksinya banyak. Saya suka.

Bisa dibilang sebenarnya itu berlebihan untuk perpustakaan Aliyah. Bayangkan beberapa jilid buku Nurcholis Madjid atawa Cak Nur ada di sana. Dan, tak pernah dipinjam siswa atau guru sekalipun. Tandanya, di kartu buku kosong.

Saya menjadi relawan perpustakaan sekolah. Karenanya saya punya akses bebas. Saya bawa pulang buku-buku Cak Nur dan menikmatinya di rumah.

Boleh jadi anak-anak HMI sekarang tak pernah menyelesaikan buku-buku babon Cak Nur. Saya telah membacanya 2 buku babonnya ketika kelas 3. Itu tebalnya sekira 600-700 halaman. Saya masih ingat judulnya, Islam, Doktrin dan Peradaban dan satu lagi Kontektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. [klik di sini] dan [klik di sini] 

Tahun-tahun itu saya sudah membaca buku dengan serius. Ketika masuk mahasiswa, saya hanya membawa 1 koper bawaan. Separohnya berisi 40an buku. Tebal-tebal. Secara intelektual saya mulai tumbuh jauh sebelum kuliah. Termasuk kemampuan menulis. 

Ketika mahasiswa saya mulai membeli banyak membeli buku. Saya mendapat beasiswa terus menerus. Itulah yang saya pakai untuk membeli buku. 

Bila ada bazar, itu bahagianya sama seperti sekarang. Kadang bahagia itu sederhana, seperti menemukan buku bagus dengan harga tak wajar. Misalnya Rp. 5.000, untuk buku yang saya tahu persis itu bagus. Itu rasanya seperti menemukan harta karun. Itulah nikmatnya berburu buku saat bazar.

Meski begitu tak semua buku bisa saya beli saat kuliah. Ada buku babon yang tebal dan mahal, Rp. 160.000, George Ritzer. Itu bikin ngiler dan tak kesampaian membelinya. Buku seperti itu saya beli setelah bekerja, punya gaji sendiri. Meski mungkin tak terlalu relevan untuk kebutuhan saya sekarang. Saya anggap itu pelipur lara, koleksi.

Koleksi buku saya mencapai 3000an. Ditumpuk di 5 lemari besar dan rak. Satu bulan belanja buku saya lebih besar daripada belanja baju atau fashion lainnya. Fashion yang saya suka cuma satu: parfume. Soal parfume, saya mau belanja lebih.

Dari koleksi itu, 70-80% sudah saya baca. Semua halaman? Tidak.

Saya baca secara tematis, yakni dengan memilih tema-tema dari bab/ sub bab yang saya suka. Setelah itu, tumpuk lagi. Mungkin itu juga salah satu cara mengelola mood membaca. Saya tak pernah memaksakan diri untuk melahap tema yang tak saya suka. Hanya menyakitkan otak.

Saya beli buku beragam tema. Sebagian yang relevan untuk menunjang pekerjaan. Sebagian pengetahuan umum. Sebagian karena iseng. Contoh, saya beli buku dengan judul How to Read a Book. Harganya cuma Rp. 30.000. Tebalnya 500 halaman. Saya beli karena itu buku yang aneh. Bagaimana tidak, buku tips membaca buku tapi tebalnya minta ampun. Siapa gerangan yang sudi membacanya? Saya pun tidak.

Banyak buku saya dipinjam dan tak kembali. Teman-teman meminjam sebagian untuk skripsi. Ada yang meminjam 10 buku sekaligus dan tak kembali juga. Saya buat catatannya. Siapa meminjam apa dan kapan. Namun catatan itu juga hilang. Jadilah lupa dan sudahlah.

Bagi penyuka buku, kemewahan itu adalah memiliki waktu untuk membaca. Tentu saja memiliki uang untuk membelinya juga. Banyak teman yang curious bagaimana cara saya mempertahankan kemampuan membaca sampai saat ini. Sederhana, saya punya me time. Tepatnya malam hari begini ketika yang lain rehat.

Saya mencintai buku, mencintai pengetahuan. Saya merasa seperti tamasya ketika sedang membaca buku. Rasanya seperti sedang pesiar ke sana ke mari. Ada kenikmatan tersendiri ketika saya bisa memahami gagasan seorang pemikir. Sebutlah pemikir-pemikir besar dunia. Apa sebab?

Pertama karena saya memperoleh pengetahuan atau wawasan baru. Kedua karena ketika saya bisa memahami pemikiran seseorang, itu artinya kami berada pada gelombang berpikir yang sama. Artinya, tiada jarak antara saya dengan dirinya. Bahwa apa yang ia pikirkan dapat saya selami. Yang artinya saya tak beda jauh dengannya. Yang sebaliknya, ia tak beda jauh dengan kita.

Namun, ada saja buku yang sampai sekarang tak bisa saya pahami. Contohnya buku Tertium Organum. Penulisnya seorang Rusia. Entah beberapa kali saya membaca dan menyoba memahaminya, tak paham juga. Boleh jadi karena ia berada pada gelombang berpikir yang lain. Suatu epistem yang tak bisa saya jangkau.

Beberapa buku menginspirasi saya secara langsung. Beberapa buku yang lain meninggalkan jejak yang mendalam. Beberapa yang lain hanya sekedarnya.

Saya terus membeli dan mengoleksi buku. Saya pikir suatu tempo, mungkin ketika pensiun kelak, saya mulai bisa membacanya dengan waktu yang cukup. Atau suatu tempo itulah yang bisa wariskan ke anak. Atau bagikan ke masyarakat. Yang pasti saya meyakini apapun itu tetap memberi manfaat.

Boleh jadi sebab suka dan sering membaca saya mudah menghafal nama penulis/ tokoh dan judul bukunya. Itu juga menyenangkan rasanya. Seperti berhasil menjawab sebuah kuis atau TTS.

Nama-nama asing, baik Barat atau Timur, beberapa saya masih ingat dengan pointer-pointer pemikirannya. Ketika ketemu soal, itu seperti memanggil file di sebuah folder untuk diakses ulang.

Teman saya, si juragan tempe Palembang, ketularan. Meski hanya juragan tempe, dia sering ke Gramedia bareng keluarganya untuk membeli buku. Sebagian ia baca, sebagian hanya koleksi.

Saya merasa senang bahwa perjumpaan singkat kami, kurang-lebih satu tahun, meninggalkan jejak positif baginya. Ia masih menyimpan kamus yang dulu saya berikan. Ketika bertemu ia kisahkan bagaimana dirinya terbantu sekali dengan kamus itu tatkala membaca koran Kompas. Ya, dia melanggan Kompas. Kisah dia [klik di sini]

Hal-hal kecil seperti itu punya ruang khusus di hati saya. Kesan mendalam pada hal yang remeh, renik dan kadang sepintas lalu.

Sejauh ini saya merasa terberkati, bahagia dan penuh syukur. Ada hal-hal yang memang tak terpermanai kehadirannya yang itu membuat hidup lebih bermakna. Itu boleh jadi seperti kuntum bunga liar di pinggir jalan yang elok di tengah hiruk-pikuk.

Saya mengidamkan orang-orang menyukai buku dan menurunkannya kepada anak-cucunya. Bagaimanapun pencapaian peradaban besar itu bukan hasil kerja jenius satu dua orang. Namun total dari kecerdasan jutaan individu di dalamnya.

Bila hari ini Anda tak menyuka buku, tak mengapa. Namun, mungkin, koleksilah beberapa buku di rumah hanya sebagai pelengkap lemari seperti yang saya lakukan dulu kala. Siapa tahu anak-cucu Anda suka melihatnya dan lalu mulai membalik-balik halamannya. Baiknya koleksilah barang 50-100 biji buku meski Anda tak membacanya. Biarkan anak-cucu melihat tumpukan buku itu sebagai penanda peradaban.

Kadang, ini bukan soal Anda tak punya uang untuk membelinya. Namun boleh jadi Anda belum berpikir soal bahwa kadang orang mulai membaca buku gegara hal sepele. Bukan untuk mengakses pengetahuan, namun untuk mempercantik lemarinya. Kadang sesederhana itu pemantiknya. Tak serius-serius amat. []


Share on Google Plus

About Firdaus Putra

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :