Tak Bisa Tunggu Bill Gates Bikin Koperasi Big Data

Oleh: Firdaus Putra, HC.

Setiap orang yang terhubung dengan internet lewat aplikasi apapun selalu meninggalkan jejak digital. Pasti Anda pernah alami suatu tempo mencari “sepatu” di Google, lalu sekian waktu kemudian muncul iklan sepatu di laman Facebook. Pengiklan adalah pihak lain seperti marketplace atau vendor-vendor mandiri.

Proses seperti itu terjadi hanya dalam hitungan detik. Bekerja lewat browser yang kita gunakan di ponsel masing-masing. Itulah hasil kerja satu fitur yang namanya “cookies”. Secara konsensual Anda menyepakati untuk membagi data kepada pihak tertentu yang menghasilkan profil siapa Anda. Lalu cookies mengumpan balik ke pihak lain, dalam hitungan detik/ menit, hasilnya iklan yang pas sesuai dengan profil pribadi Anda. Di dunia periklanan hari ini disebut sebagai online targeted advertising.

Lalu siapa pemilik cookies itu? Tentu bukan Anda. Itu bisa disediakan oleh pihak pertama, yakni pemilik aplikasi, pihak kedua atau bahkan pihak ketiga. Yang pasti Anda tidak memperoleh nilai tambah atas penggunaan data itu. Padahal platform menyedot semua jejak digital, yang Anda bayangkan sebagai “limbah”. Oleh mereka, dengan artificial intelligent dan juga machine learning, limbah digital Anda dianalisis sedemikian rupa menjadi profil perilaku konsumen. 

Agus Sudibyo (2019) dalam bukunya “Jagat Digital, Pembebasan dan Penguasaan” membedah bagaimana modus surveillance capitalism bekerja. Apa yang Anda kira sebagai limbah digital adalah serpihan emas yang akumulasinya menjadi bongkahan emas. Itulah yang kita sering sebut sebagai “big data”. Para pemilik super platform seperti Google, Facebook, Amazon, Microsoft dan Apple dengan canggih mengelola dan memonetisasinya. Maka, semakin sering terhubung dengan internet, makin banyak limbah digital. Makin besar data terakumulasi, ujungnya makin besar potensi monetisasinya.

Potensi ekonomi digital Indonesia nomor satu di ASEAN. Google memprediksi pertumbuhannya akan mencapai 54 milyar dollar pada tahun 2025. Hal itu sangat masuk akal. Pada tahun 2019, iPrice Group merilis 10 besar e-commerce di Indonesia. Peringkat pertama adalah Tokopedia dengan tingkat kunjungan 140 juta per bulan. Disusul Shopee 90 juta, Bukalapak 89 juta lalu Lazada 49 juta dan Blibli 38 juta kunjungan per bulan. Dengan kunjungan seeksesif itu, bisa dibayangkan berapa tera atau petabyte data perilaku konsumen yang tercipta.

Lalu sebagai pengguna atau konsumen, apakah kita memperoleh nilai lebih dari penggunaan data tersebut? Tidak. Selain bahwa beberapa layanan kita bisa peroleh secara cuma-cuma (freemium). Sayangnya, tidak ada makan siang gratis. Bila Anda tak bisa membeli layanan, maka Andalah atau data Anda yang dibeli mereka. 

Data as Labor
Sejak 2013 para ilmuwan dan aktivis digital memerhatikan secara serius perkembangan ekonomi digital. Konglomerat itu tak hanya menjual jasa/ produk melainkan memperoleh data pengguna. Hasilnya berlipat ganda. Jadilah masyarakat terbagi dua, pemilik dan penyedia data. Keuntungan tentu saja lari kepada para pemilik data, yakni pemilik platform.

Padahal data dihasilkan oleh aktivitas para pengguna. Di sinilah lalu muncul dua konsep: data as capital dan data as labor. Yang pertama mengacu bahwa data itu dimiliki oleh platform sebab merekalah yang menambang dan mengelolanya melalui artificial intelligent. Yang kedua, secara inheren data itu dihasilkan para pengguna, bila aktivitas berselancar itu disebut “pekerjaan”, maka data itu adalah hasil kerja para pengguna (labor). Perspektif data as labor melihat para pengguna mempunyai hak genetik terhadap data yang ia hasilkan.

Uni Eropa bergerak maju dengan mengesahkan General Data Protection Regulation (GDPR) yang efektif pada tahun 2018 lalu. Regulasi itu tujuannya untuk mengatur tentang kemanan data, privasi dan penggunaannya oleh perusahaan atau lembaga. Bahwa penggunaan data harus memberi manfaat kepada para penggunanya. GDPR dinilai sesuai prinsip data as labor. Bahkan dalam GDPR diatur juga klausul tentang “right to be forgotten” atau hak untuk dilupakan, yakni agar datanya tidak diambil atau dihapus oleh platform. 

Selain lewat GDPR, masyarakat sipil di Eropa mulai mengorganisir dirinya dalam data labor union. Di Belanda pada Mei 2018 mereka membentuk wadah yang namanya Datavakbond. Salah satu tujuannya menuntut kepada platform membagi nilai yang dihasilkannya kepada para pengguna. 

Bayangkan berapa data yang akan tercipta bila diprediksi pada tahun 2020 ini ada 30 milyar perlengkapan (device) yang terhubung dengan internet (internet of thing). Lewat sensor-sensor canggih, yang harganya murah dan tersedia, berbagai IoT itu akan menghasilkan berlipat-lipat data. Artificial intelligent mengolahnya dan para konglomerat memanennya. Kita, para pengguna, sebagai penyedia data tak memperoleh nilai lebih yang mereka hasilkan. Di situlah ketidakadilan dari surveillance capitalism itu.

Masyarakat sipil bisa mengorganisir diri dalam dua cara. Pertama membangun konsorsium/ serikat pengguna internet. Yang kedua bisa mengorganisir diri dalam bentuk koperasi big data. Jalan pertama kita menuntut para platform untuk membagi nilai lebihnya kepada penghasil data (labor). Yang kedua menciptakan teknologi yang secara konsensual mengambil data perilaku penggunanya. Di Indonesia keduanya sama-sama belum berkembang. Tapi itu bukan hambatan untuk memulai.  

Koperasi Big Data
Bayangkan bagaimana bila kita membangun sebuah cookies-pihak ketiga (third party cookies) di mana para pengguna memiliki kendali atas data yang dikumpulkannya. Kendali itu hadir sebab pengguna menjadi pemilik bersama (co-ownership) terhadap teknologinya. Secara kontraktual ketika Anda menerima cookies by coop, maka Anda setuju untuk menjadi pemilik koperasi tersebut dan membagi data Anda.

Bersama-sama, para user as member itu dapat meregulasi data yang diambil oleh cookies mau digunakan untuk apa. Misalnya menjual data tersebut ke pihak lain. Maka anggota diberi deviden atas penjualan data tersebut. Atau yang paling canggih mengupayakan memproduksi apa-apa yang dibutuhkan anggota secara mandiri. Sebutlah dari sekian juta pengguna terlacak berapa persen mencari “sepatu” dengan model tertentu. Bila mau, selanjutnya koperasi data atau anggotanya bisa memproduksi sepatu. Itu contoh sederhananya. 

Sebab data itu milik koperasi, anggota melalui kesepakatan bersama, dapat memperoleh dan menggunakan datanya. Anggota dapat menggunakannya untuk mengembangkan bisnisnya, dirinya, organisasinya atau kebutuhan sosial-ekonomi lainnya. Hal-hal seperti itu cukup diatur dalam klausul seperti Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga koperasi.

Koperasi data ini dapat berbentuk multi pihak (multi stakeholder cooperative) yang terdiri dari digital-worker as member dan user as member. Para digital-worker dengan kejeniusannya menciptakan robot cookies. User menginstall di browser ponsel atau komputernya secara sukarela. Layanan robot cookies itu juga bisa dijual kepada pihak lain. Di belakang layar, algoritma pintar melakukan analisis dari jutaan bit data yang tercipta tiap harinya. 

Orang bilang hari ini data adalah minyak baru yang bila kita menguasainya akan menentukan menang atau kalah dalam percaturan ekonomi masa depan. Trennya data dimonopoli oleh para super platform dan platform kapitalistik lainnya. Maka masyarakat harus mengorganisir dirinya dalam wadah koperasi sehingga dapat mengumpan balik gelombang pasang ekonomi digital.

Koperasi hadir sebagai kelembagaan yang menjamin bahwa user as member memiliki hak demokratis terhadap data dan lembaganya. Melalui Rapat Anggota (general assembly), yang juga bisa diselenggarakan secara online, anggota membuat berbagai kesepatan tentang beberapa hal. Pertama soal bagaimana memobilisasi dan mengoptimalkan data (aggregator); Kedua tentang data apa saja yang boleh diambil dan tidak atau boleh dibagi ke pihak luar dan tidak (regulator). Dan ketiga bagaimana pemanfaatan dan bagi hasil atas nilai yang tercipta dari monetisasi tingkat lanjut terhadap data tersebut (agency). 

Analogi sederhana cara kerja koperasi data ini seperti menginstall sebuah fitur survai perilaku konsumen di gadget masing-masing. Survai itu bekerja secara otomatis, merekam aktivitas tiap detik ketika Anda terhubung dengan internet. Bekerja secara non-stop, 24 jam sehari tanpa henti. Dan tertanam (embedded) pada setiap gadget anggotanya. Proses itu disebut sebagai data mining atau menambang data. Bedanya, yang bekerja adalah sebuat robot. 

Ketimpangan
Refleksi akhir tahun Bill Gates di blognya sedang viral di berbagai media. CNBC.com bahkan menulis “Bill Gates: My $109 Billion Net Worth Shows the Economy is Not Fair”. Dalam catatannya itu Gates mengusulkan agar menaikkan standar pajak bagi orang-orang kaya dan super kaya. Bertahun-tahun ia dan istrinya, Melinda Gates, berjuang serius untuk itu. Di luar itu bersama istri ia juga aktif menjadi filantropi yang ingin membuat dunia lebih baik.

Keinsyafan Gates itu baik. Namun proposal yang ia tawarkan belum menukik tajam. Ia belum menyentuh ke pokok masalah, bahwa ekonomi yang tidak adil itu disebabkan ketimpangan dalam pemilikan aset. Dan hari ini siapa yang memiliki aset digital (data), dialah yang akan menguasai permainan. Koperasi data bertujuan untuk membangun kepemilikan aset digital kepada para pemilik yang sesungguhnya, user.

Manifesto gerakan the Internet of Ownership (IOO) dalam lamannya, ioo.coop, ini bagus disimak karena padat makna. Mereka menulis, “The internet of ownership … is brings democracy to the online economy”. Demokratisasi aset itulah cara sesungguhnya mengakhiri ketimpangan. Dan kita tak bisa menunggu Bill Gates mendirikan koperasi data untuk kita, bukan? []


Telah dimuat: http://money.kompas.com/read/2020/01/07/105000926/tak-bisa-tunggu-bill-gates-bikin-koperasi-big-data
Share on Google Plus

About Firdaus Putra

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :