
Oleh: Firdaus Putra A.
Sejak 1970-an, Jurgen Habermas, seorang pemikir Madzhab Frankfurt sudah menyoal hubungan antara ilmu pengetahuan dan ideologi. Sampai di dalam bukunya, Pengetahuan dan Kepentingan, ia berkesimpulan bahwa hubungan antara keduanya sangat erat. Lebih jelas, Habermas, melalui penelusuran historis dan filosofis, menyimpulkan bahwa setiap pengetahuan selalu diselimuti bahkan didorong kepentingan tertentu. Ia mencotohkan ilmu pengetahuan alam atau positivistik yang berkepentingan melakukan manipulasi terhadap alam, mengontrol, dan mengarahkannya.
Dalam kajian lain, Foucault juga menemukan hal yang sama, Power/Knowledge, yang artinya bahwa kekuasaan sebagai manifestasi dari kepentingan selalu membutuhkan basis pengetahuan (episteme) sebagai legitimator. Seturut dengan itu, jauh-jauh hari, Kuhn sudah membaca bahwa pengetahuan erat hubungannya dengan kekuasaan-kepentingan. Ia secara lugas menyatakan bahwa, sebuah paradigma dalam disiplin keilmuan tertentu nampak hebat (valid) bukan lantaran secara obyektif paradigma itu mampu memotret fenomena sosial secara obyektif, melainkan ada tidaknya komunitas ilmiah yang mendukung paradigma bersangkutan. Komunitas ilmiah menjadi basis legitimasi (kuasa) dari benar-salahnya pengetahuan.
Bermula dari para pemikir kritis itu, mitos ilmu yang bebas nilai (value free) lambat laun mulai tergugat. Ilmu bukanlah produk penelitian yang a-historis dan jauh dari realitas, melainkan ilmu merupakan bagian dari realitas itu sendiri. Termasuk di dalamnya adalah paradigma, cara pandang, perspektif yang dipilih oleh seorang ilmuwan atau peneliti. Pilihan paradigma, cara pandang atau perspektif ini yang akan membuat realitas “ada” sebagaimana diinginkan, bukan “ada” sebagaimana “adanya”.
Melalui pembongkaran mitos bebas nilai itu, para pemikir kritis ingin menarik perdebatan ke arah tanggung jawab sosial ilmu pengetahuan. Artinya, ilmu tidak menara gading, sekedar berteori dan seterusnya. Justru, selepas ia mengetahui duduk masalahnya, ia harus mampu melakukan perubahan yang mendasar terhadap realitas (baca: masalah) itu. Sekurang-kurangnya, Marx memulai kerja-kerja ini yang mengawalinya dengan kritik terhadap para filosof. Menurutnya fisolof atau berfilsafat tak hanya sekedar menjelaskan, memetakan, dan memotret realitas, melainkan lebih jauh lagi, filsafat harus menjejak di bumi dan memberikan kontribusi yang nyata bagi masalah-masalah kemanusiaan-kemasyarakatan.
Tentu saja, arus utama perdebatan itu berkisar pada “obyektivitas” dan “subyektivitas” ilmu pengetahuan. Klaim obyektif manakala ilmu lahir dari hasil penjarakan dirinya dengan realitas. Di sisi lain, subyektif manakala ilmu secara tegas berpihak pada realitas (dalam arti mengubah realitas). Ilmu yang sudah memiliki keberpihakan tegasnya seringkali menjadi ideologi perjuangan. Di mana pengetahuan atau teori tidak sekedar diketahui, akan tetapi diyakini kemudian ia perjuangkan.
Dalam konteks tegangan antara “obyektivitas” dan “subyektivitas” itu, kita dituntut untuk bersikap? Obyektif, artinya kita membuat jarak dengan realitas (menara gading). Di sisi lain, subyektif, artinya kita hanyut dalam pusaran ideologi yang potensial menutup kemungkinan nalar obyektif kita dalam mengetahui duduk permasalahan yang sebenarnya. Atau ada jalan ketiga yang berada di antara dua ekstrim tersebut, berada di tengah-tengah antara nalar “obyektivitas” dan “subyektivitas”.
Berada di ekstrim “obyektivitas” kita akan membuat praktik pengetahuan (penelitian dan sebagainya) sekedar ritual pencarian legitimasi atau keabsahan teori tertentu. Biasanya peneliti hanya melakukan uji teori (logika deduksi) atau hanya sekedar menjelaskan dan memahami realitas (logika induksi). Tentu saja, penelitian (pengetahuan) tidak mempunyai maksud praksis, artinya keinginan untuk mengemansipasi keadaan, masyarakat, atau lainnya.
Di titik lain, ekstrim “subyektivitas” tidak memberi kemungkinan lahirnya berbagai perspektif. Mengingat, klaim kebenaran (truth claim), yakni dalam rangka praksis atau perjuangan sosial lebih diunggulkan daripada kebenaran klaim (rigthness claim) dalam konteks keilmuan. Proses ideologisasi ini biasanya harus dibayar mahal dengan mandulnya ilmu pengetahuan. Praktik pengetahuan dibatasi oleh nilai tertentu; ideologi.
Dalam perdebatan itu, sebagai intelektual, perlu kiranya kita bersikap bijak. Tak sekedar mencari kesahihan klaim (obyektivitas) dan juga tak sekedar mengejar klaim kesahihan (subyektivitas) yang di dasarkan pada nilai tertentu. Perlu kiranya kita membuka jalan baru dengan berada di antara keduanya, di antara ilmu yang bebas nilai dan ideologi sebagai praktik yang sarat nilai.
Kerja jalan tengah ini layaknya bandul yang diikat di antara dua tiang penyangga. Bandul itu akan bergerak ke kiri dan ke kanan. Ia bergerak bolak-balik. Ia tak hanya berada di tiang penyangga tertentu saja. Kerja bolak-balik ini mengisyaratkan bahwa kebenaran kesahihan klaim (obyektivitas) tetap harus dicari dan diusahakan. Pada sisi lain, ketika kita terhisap pada medan magnet “obyektivisme” kita perlu berbalik ke tiang penyangga yang lain, kesahihan klaim.
Tanpa melakukan kerja bolak-balik ini, sekedar berada di tiang obyektivitas, maka kita hanya akan mendapatkan form atau bentuk pengetahuan. Dalam konteks ini, praktik pengetahuan sekedar mimesis (meniru) dari praktik-praktik sebelumnya (tradisional). Tentu saja, nalar ini sudah kehilangan ruh dari alasan adanya ilmu itu sendiri (raison d’etre), untuk kemanusiaan dan nilai-nilai yang diyakini manusia. Contoh dari keterjebakan dalam nalar ini yakni teknologi kloning yang mampu membuat manusia melampuai batas kemanusiaannya. Dengan kloning ia berpretensi menjadi “tuhan”, bahkan mengunggulinya. Pencapaian teknologi ini, secara obyektif, merupakan pencapaian yang luar biasa. Akan tetapi, pada sisi lain, teknologi ini telah menerabas wilayah lain yang tak seharusnya ditembus.
Mengingat bentuk sudah kehilangan ruhnya, maka capaian pengetahuan manusia pada gilirannya justru mereduksi makna manusia itu sendiri. Manusia sekedar obyek dari kecerdasan akal fikiran. Manusia tidak dibaca secara utuh sebagai yang multi faset, dimana salah satunya manusia sebagai makhluk bertuhan. Dalam konteks ini, Adorno melontarkan pernyataan yang perlu kita cermati bersama, pencapaian ilmu pengetahuan manusia secara parsial adalah rasional, namun secara keseluruhan adalah irrasional.
Pada sisi lain, nalar yang terlalu subyektif juga memiliki potensi yang sama, secara bagian ia rasional, namun secara keseluruhan ia irrasional. Bisa jadi atas nama klaim kemanusiaan, kita bisa memilih cara apapun untuk memperoleh legitimasi. Ironisnya, mengatasnamakan klaim tertentu membuat kita sekedar mengejar tujuan. Dalam konteks ini, ideologi tak ubahnya sebagai nalar/rasio instrumental yang berdebat di seputar cara untuk meraih tujuan. Sederhananya, asal niatnya untuk kemanusiaan, maka cara apapun menjadi legitimate.
Berangkat dari nalar instrumental semacam itu, potensi benturan sangat mungkin terjadi. Mengingat, tidak ada klaim obyektif atau kolektif yang derajat kesahihannya bisa dipegang oleh semua orang. Sehingga, klaim tertentu bisa dibantah dengan klaim yang lain tanpa mencari terlebih dahulu klaim kolektif yang sama-sama disepakati.
Untuk menghindari kecendrungan ekstrim itu, maka perlu dilakukan penyamaan frame atau penyamaan kesahihan klaim tertentu, untuk kemudian mengkritisi klaim-klaim kesahihan yang diajukan setiap orang atau kelompok. Di sinilah nalar obyektivitas dibutuhkan agar setiap orang tidak mengklaim yang paling benar/sahih..
Akhirnya, menginsyafi bahwa setiap pengetahuan senantiasa berselimut kekuasaan-kepentingan adalah benar. Akan tetapi, keinsyafan ini tidak lantas membuat kita hanya terjebak dalam relasi kuasa-kepentingan itu. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana implus kuasa-kepentingan itu diverifikasi, dikritik, agar tidak mengorbankan obyektivitas.
Parahnya, sebagian kita menganggap bahwa dengan tersingkapnya hubungan antara pengetahuan dengan kekuasaan-kepentingan, membuat kita penuh prasangka terhadap pengetahuan tertentu. Padahal, seperti kajian posmodernisme sekedar mewartakan formasi sosial yang sedang berlangsung. Untuk kemudian, potret formasi sosial tersebut kita sikapi dengan cara bijak, bukan lantas mengamini begitu saja.
Saya berpendapat, bahwa kerja bolak-balik yang didukung dengan dialog untuk mencari kesepemahaman melalui kritik atas klaim-klaim kebenaran dalam kerangka mencari kebenaran klaim kolektif merupakan jalan tengah untuk keluar dari pandangan yang deterministik. Hanya berada di salah satu tiang saja, praktik pengetahuan dan praksis sosial yang sedang kita kerjakan sama-sama bersifat rasional hanya dalam bagian, dan irrasional dalam keseluruhan. []
0 comments :
Posting Komentar