Jalur Cepat & Lambat


Surat Terbuka untuk Taqiyyudin
Oleh: Firdaus Putra A.

I
Sekurang-kurangnya ada dua jalur perubahan sosial, pertama menggunakan jalur cepat. Terakhir menggunakan jalur lambat. Yang pertama, muncul pada apa yang namanya revolusi sosial. Yang terakhir, mewujud pada reformasi atau juga evolusi sosial.

Dua jalur itu bisa sekedar masalah pilihan cara. Atau pilihan cara itu sebenarnya tergantung pada masalah apa yang dihadapi. Sebagian aktivis sosial mengklaim cara advokasi adalah cara yang paling mungkin untuk menang dalam struktur kelas yang timpang. Berbeda dengan itu, cara pendidikan (pemberdayaan) merupakan cara pembangunan gerakan secara sistematis dan mengakar.

Jalur cepat ini sangat membutuhkan loyalitas kolektif. Sedang jalur lambat, lebih memfokuskan pada individu-individu sebagai penyusun kolektif itu. Jalur cepat membutuhkan kolektif, yakni massa, karena cara-cara yang digunakan bersifat agresif dan menekan. Mereka membutuhkan kekuatan dalam pengertian senyatanya untuk mempengaruhi kekuasaan. Sedangkan jalur lambat, sedikit orientasi mempengaruhi kekuasaan secara langsung. Tujuannya lebih pada merubah keadaan yang ada di sekitarnya.

Jalur cepat dan jalur lambat sebenarnya bisa disinkronisasikan. Jalur lambat mempersiapkan individu-individu yang berkesadaran tinggi. Untuk kemudian, individu tersebut diikat dalam kolektivitas dan melaju di jalur cepat. Masalah baru muncul ketika ada sebagian aktivis sosial mengklaim bahwa perubahan sosial memungkinkan hanya dengan jalur tertentu, misal jalur cepat. Di luar itu, alih-alih membantu, penggunaan jalur lambat justru hanya membiaskan masalah yang sesungguhnya (memecah fokus).

Perdebatan itu menjadi tak pernah selesai. Klaim paling benar menjadi pangkal masalah yang sulit terdamaikan. Ketegangan ini meski sampai batas tertentu cukup produktif bagi upaya check and balance, namun tetap akan berdampak buruk bila intensitasnya meninggi.

II
Sebenarnya perlu diperjelas bahwa pilihan cara tidak semena-mena. Pilihan cara merupakan turunan dari masalah apa yang ditangani. Oleh karenanya, pilihan cara bersifat kontekstual. Misal, jalur cepat dengan cara-cara advokasinya akan sangat manjur bila menghadapi kasus penangkapan petani oleh Perhutani. Atau kasus naiknya harga BBM sekian persen dan sebagainya.

Di sisi lain, jalur lambat akan menjadi tepat bila menghadapi masalah, misal, kekurangtahuan masyarakat tentang cara menanam kayu alba. Atau masalah minat baca yang menurun di kalangan mahasiswa dan sebagainya. Setiap jalur memuat kendaraannya masing-masing. Jalur lambat untuk sepeda motor, becak, angkutan umum dan sebagainya. Sedang jalur cepat terisi kendaraan-kendaraan berat dan besar.

Kendaraan kecil menjadi berbahaya kalau masuk ke jalur cepat. Misal, apa yang akan terjadi ketika seorang petani yang tak tahu menanam kayu alba, didesak dan ditekan agar belajar menanamnya. Alih-alih berhasil, yang ada justru petani bersangkutan antipati terhadap aktivitas kita. Atau sebaliknya, apa yang akan terjadi bila kendaraan besar-berat masuk di jalur lambat? Misal saja, masalah kenaikan harga BBM hanya disikapi dengan diskusi dan tulisan, maka sama sekali kebijakan itu tak akan berubah.

Karena pilihan jalur merupakan turunan dari masalah yang sedang di hadapi, maka pilihan jalur bersifat destinatif. Artinya pilihan jalur memiliki hubungan kausalitas dengan masalah yang ada. Sedikit kemungkinan berdebat pada level ini.

Sehingga perdebatan akan bergeser ke arah lain, yakni persoalan mendasar, mengapa memilih menangani masalah itu, bukan yang ini? Kalau kita lihat banyak ormas atau LSM yang hanya mengkonsentrasikan diri pada isu atau kelompok tertentu saja, tidak pada yang lain. Dalam konteks ini, kita perlu meminjam Rationale Action Theory, bahwa suatu tindakan mempunyai alasan yang mencukupi mengapa tindakan itu muncul. Jadi, ketika sekelompok orang memilih mengkonsentrasikan diri hanya pada segmen, kelompok atau isu tertentu didasari oleh berbagai macam pertimbangan. Bisa pertimbangan kekuasaan, skala prioritas, kepentingan kelompok tersebut dan sebagainya.

Perdebatan selanjutnya, apakah benar satu masalah lebih penting daripada masalah lain? Sehingga muncul anggapan bahwa perubahan yang ada harus dan hanya tertuju ke masalah itu saja dan bukan yang lain?

Dalam konteks kehidupan yang tidak mencekam, maka semua konsentrasi masalah menjadi sah. Berbeda ketika kita dalam keadaan darurat, misal perjuangan melawan penjajahan, maka harus ada prioritas. Sedang saat ini, kita sedang mengisi kemerdekaan itu sendiri. Artinya, alasan darurat atau kondisi mencekam sama sekali tak bisa digunakan sebagai prioritas perubahan sosial.

Lantas secara berimbang kita perlu refleksikan, misal, apakah aktivis lingkungan hidup lebih rendah nilai perjuangannya daripada aktivis AIDS? Atau apakah aktivis anti-korupsi (ICW) lebih tinggi nilai perjuangannya daripada aktivis sosial-agama? Atau apakah aktivis perlindungan hewan langka kalah arti perjuangannya dengan aktivis kemiskinan? Masih panjang daftar berbagai lembaga dengan plihan isu yang beraneka warna itu. Lalu, apakah ada standar tertentu untuk mengukur bahwasannya antara satu dengan yang lain tidak setara?

Dalam kesetaraan itu bisa kita katakan kalau pilihan isu atau masalah bersifat incommensurebility (tak dapat dibandingkan). Dengan catatan, faktor kedaruratan atau kemencekaman sudah hilang dari daftar masalah.

III
Perdebatan selanjutnya, perlu kita analisis mengapa masih ada sebagian dari kita yang mendaku diri sebagai pejuang sosial hanya dan hanya jika dengan cara dan pilihan isu tertentu saja? Perdebatan ini memasuki kerangka epistemologi yang menyoal masalah produksi atau cara menghasilkan pengetahuan. Di sana akan kita temukan mode berfikir yang membuat orang menutup dengan kemungkinan lain.

Pertanyaan, “Apakah ada standar tertentu untuk mengukur bahwasannya antara satu dengan yang lain tidak setara?”, bisa saja dijawab ada. Misal, kalau kita menggunakan perspektif Marxis Klasik, dimana infrastruktur ekonomi adalah penentu suprastruktur; budaya, ideologi, sosial dan seterusnya, maka kita akan menjawab bahwa aktivitas mengentaskan kemiskinan lebih penting dan bermakna daripada aktivitas memperjuangkan HAM. Proposisi yang dibangun adalah kebebasan politik tak akan berarti selama rakyat belum bisa makan dengan layak.

Proposisi di atas sebenarnya menyiratkan adanya kondisi kedaruratan atau kemencekaman. Seolah-olah bahwa selama masih ada orang miskin di sekitar kita, maka perjuangan HAM, demokrasi dan sebagainya adalah sia-sia. Padahal, angka penduduk miskin sebesar 23-24,5 % persen dari total penduduk Indonesia (tahun 2006). Kita tidak berbicara bahwa dengan prosentase itu kemiskinan bukan masalah serius, namun kita perlu melihat bahwa kedaruratan atau kemencekaman itu nyaris tidak ada.

Yang dimaksud dengan kondisi darurat dan mencekam dalam konteks itu adalah kondisi-kondisi seperti yang dialami oleh Etiopia, Somalia dan beberapa negara di Afrika. Di beberapa negara itu berbicara masalah kebebasan politik menjadi hal yang aneh bahkan melangit. Namun, dalam konteks Indonesia masalah kebebasan politik, akses informasi sudah menjadi kebutuhan masyarakat.

Perdebatan ini seperti perdebatan klasik, mana yang lebih dulu antara demokrasi ekonomi atau demokrasi politik? Dalam konteks Indonesia, hari ini, nampaknya dua masalah besar itu bisa berjalan beriringan tanpa harus menafikan yang lain. Artinya, dalam konteks kekinian, harus tetap ada komitmen dan gerakan untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat. Di sisi lain, juga tetap ada komitmen dan gerakan untuk menolong dan mendampingi ODHA, menjaga dan melindungi satwa langka, memantau dan menterapi dampak pemanasan global dan seterusnya.

Cara pandang yang deterministik inilah yang membuat seolah-olah bahwa semua perubahan harus ke arah sana. Corak perubahannya bersifat linier. Bahwa masyarakat harus melewati fase-fase tertentu secara bertahap sampai akhirnya mencapai kemakmuran, kesejahteraan dan kejayaaan.

IV
Perlu diingat, baik jalur cepat atau jalur lambat masing-masing mempunyai rintangan. Ada lubang atau batu kerikil di jalur lambat. Perlu kesabaran ekstra untuk melewatinya. Sedang di jalur cepat, saat hujan turun kondisi menjadi licin. Ketakhati-hatian menyebabkan kita tergelincir dari cita-cita awal. Masing-masing mempunyai resiko yang berbeda.

Lantas dimanakah kendaraan kita (akan) melaju? Jalur cepat atau lambat? []

Note: Telah dimuat di http://we-press.com
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :