
Oleh: Firdaus Putra A.
Bagus mana prestasi antara Sempati Air dengan Garuda? Serentak kita jawab Garuda. Namun, seorang teman berkata lain dengan alasan yang sangat masuk akal. Ketika ia mengikuti pelatihan di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1995, rahasia sukses Sempati dan Garuda diungkap tuntas. Dan yang mengherankan, rahasia sukses itu bukan berangkat dari berbagai macam teori dan teknik manajemen pemasaran modern. Rahasia sukses itu justru berangkat dari kriteria penentuan pramugari masing-masing perusahaan.
Pihak Garuda berasumsi kalau penumpang pesawat, sewaktu itu, adalah orang-orang kelas ekonomi menengah ke atas. Sehingga dibangunlah rumus, kelas atas harus dilayani oleh orang kelas atas. Asumsi ini kemudian diturunkan dalam tata cara rekrutmen pramugari. Dicarilah perempuan-perempuan dari keluarga berada (high class). Secara penampilan perempuan itu mengenakan rok satu kilan (kurang-lebih 10 cm) di atas lutut. Masalah face dan tubuh, tidak perlu ditanya lagi.
Berbeda dengan itu, Sempati berangkat dari landasan kalau pramugari adalah seorang pelayan (service). Karena pelayan, dibutuhkan pekerja-pekerja yang secara tulus bisa melayani. Bangunan rumus itu diturunkan dalam mekanisme rekrutmen. Berbeda dengan Garuda, Sempati justru mencari perempuan dari kalangan menengah-bawah. Dicarilah perempuan yang berpenampilan menarik dari keluarga biasa. Berbeda dengan Garuda, panjang rok hanya sampai selutut.
Mengapa hal itu mempunyai pengaruh yang besar dalam pemasaran? Ternyata ada yang luput dari perhatian Garuda, bahwa melayani penumpang membutuhkan sikap ketulusan. Melayani bukan sekedar teknik bermanis-manis ria, berbasa-basi, atau sekedar penampilan menarik. Melayani membutuhkan ketulusan hati yang pada gilirannya akan terekspresikan secara tak sadar dari bahasa tubuh.
Mari kita telisik. Garuda memilih perempuan high class, yang padahal, si perempuan tersebut dalam kesehariannya justru dilayani oleh para pembantunya. Misal, “Bi, bajunya sudah disetrika belum?”, “Bi, tolong buatin jus jeruk!”, “Mang, mobilnya sudah dipanasin belum?”, dan lain sebagainya. Perempuan high class pada dasarnya bermental majikan. Alhasil, ketika ia menjadi pramugari, sama sekali ketulusan tak terpancar dari sikapnya. Dan perlu diingat mereka bekerja hanya untuk mengisi waktu luang atau sebuah keisengan semata. Mereka tidak benar-benar membutuhkan gaji itu dalam rangka mencukupi kebutuhan hidupnya.
Berbeda dengan itu, perempuan dari kalangan menengah-bawah terbiasa dengan hidup terbatas. Sehingga ketika si perempuan memperoleh gaji yang besar, ia akan benar-benar tulus melakukan kerja pelayanan itu. Ditambah, perempuan dari kelas ini sama sekali tidak tertanam mental majikan, melainkan self help. Bagi mereka tidak ada istilah, “Bi, bajunya sudah disetrika belum?”, “Bi, tolong buatin jus jeruk!”, semuanya mereka kerjakan sendiri. Mentalitas inilah yang justru mendorong mereka untuk profesional dalam memaknai kerjanya sebagainya pelayan (baca: pramugari). []
4 comments :
ralat:
sepertinya bukan "SIMPATI", tapi "SEMPATI". dicek lagi??
thanks atas koreksinya mas. nanti saya cek, dan kalau salah, saya betulin.
setelah saya cek iya, sempati air. sudah saya perbaiki kesalahan itu. makasih mas atas koreksinya.
thn 90 an sy kenal pramugari sempati air Nama Anggraini Fanani, waktu itu dia masih training. Kabar terakhir dia kasih tahu mau nikah. Ada info dia dimana sekarang ?. Thanks
Posting Komentar