
Oleh: Firdaus Putra A.
I
Saya berangkat dari satu asumsi, bahwa perdebatan keberadaan (ontological state) gerakan mahasiswa sudah dianggap selesai. Dalam artian, kita semua sepakat bahwa gerakan mahasiswa masih tetap dibutuhkan sebagai salah satu agen perubahan sosial. Berangkat dari asumsi di atas, tulisan singkat ini akan lebih mengeksplorasi bagaimana peran gerakan mahasiswa dalam rangka menghadapi sistem kapitalisme lanjut (spätcapitalismus) dewasa ini.
Mengawali pembahasan, perlulah kita telisik secara sepintas pola kapitalisme lanjut yang telah mencerai-berai modal-modal sosial, ekonomi serta politik masyarakat. Meminjam analisis a la Adorno dan Horkheimer saya membaca, pertama, bahwa nalar produksi kapitalis bersifat instrumental. Nalar instrumental ini merupakan turunan dari zaman Pencerahan, rasionalisme. Karena sifatnya instrumental, proses alienasi (keterasingan) menjadi dampak yang niscaya.
Kedua, nalar instrumental yang menggerakkan mesin produksi telah melepaskan dirinya dari prinsip-prinsip etis (ethical values) seperti kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan dan seterusnya. Alhasil, akumulasi modal (capital) bagaikan benalu yang menghisap terus-menerus. Ketiga, nalar instrumental melahirkan hubungan produksi yang tidak manusiawi. Parahnya, nalar ini merembes ke setiap lini kehidupan. Desublimasi represif, seperti yang didengungkan Marcuse menjadi nyata. Klimaksnya, ruang perlawanan semakin kecil dan mengkerut.
II
Gerakan mahasiswa merupakan organisasi yang berangka bangun people based association, yakni asosiasi yang berbasis orang. Rangka bangun ini diperkuat dengan prinsip-prinsip etis yang mewujud pada masing-masing ideologi lembaga. Karena prinsip-prinsip etis itu sudah terlembagakan, muncul kecenderungan instrumentalis dari lembaga yang bersangkutan. Kecenderungan ini terlihat seperti pada nalar kompetisi (competitiveness) antara satu lembaga dengan lainnya. Sektarianisme mewujud pada pengagungan kepentingan kelompok sendiri menjadi nyata.
Bermula dari kompetisi, kepercayaan sosial menjadi luntur dalam hubungan antarlembaga. Sikap saling mempolitisir, penuh prasangka, dan kurang menerima pihak lain merupakan tanda lunturnya kepercayaan sosial itu.
Nah, perhatian saya tertuju pada PR bagaimana caranya agar nalar instumental itu kita kikis terlebih dulu sebelum menghadapi kapitalisme. Selama nalar instrumental masih kuat bercokol dalam kesadaran masing-masing lembaga, sejatinya diri kita sudah terhisap jauh ke dalam sistem kapitalisme.
Dalam konteks ini, perlu kita perhatikan seruan Habermas tentang tindakan komunikatif dan ruang publik. Dalam dua hal itu, makna demokrasi yang sejati bisa kita peroleh. Berbeda dengan itu, kapitalisme merusak secara sistematis rangka bangun demokrasi yang ada saat ini. Demokrasi hanya dimaknai sebagai prosedur-prosedur teknis penentuan kebijakan, misal voting. Hasilnya, prinsip-prinsip etis seringkali diabaikan dan dilupakan.
III
Ada dua tesis yang saya ajukan agar kita bisa keluar dari hisapan kuat kapitalisme. Pertama, kita harus memperteguh nilai-nilai kerjasama (cooperativeness) antarelemen dan multi sektoral. Kedua, kerjasama antarelemen itu—menurut saya—lebih memungkinkan besar dalam sistem demokrasi.
Seperti eksplorasi saya di atas, nalar atau keinginan untuk saling berkompetisi hanya membuat satu dengan yang lain saling tercerai-berai. Sekurang-kurangnya, terlihat dari klaim kebenaran yang dijajakan masing-masing elemen dalam rangka “mencerahkan massa”. Imbasnya, kita terkotak-kotak, terfragmentasi, tersekat karena perbedaan ideologi. Pertikaian ideologi membuat kita melupakan masalah yang sesungguhnya, kapitalisme.
Anti-tesa dari nalar berkompetisi adalah nalar bekerjasama. Kita harus menginsyafi, bahwa tidak ada yang akan mampu menghancurkan sistem kapitalisme dengan segenap daya dan upayanya sendiri. Kerjasama antarelemen dan multi sektoral ini meneguhkan kembali rangka bangun lembaga sebagai asosiasi berbasis orang. Bahwa masing-masing kita mempunyai kedhaifan yang alangkah tepat kalau kita bekerjasama.
Lebih jauh lagi, dalam kerja-kerja antarelemen dan multi sektoral ini, cara-cara juga perlu diturunkan sedemikian beragam. Menghantam kapitalisme hanya dari satu sisi, misal kebijakan negara, tidak akan membuat sistem itu hancur. Kita perlu melebarkan gerakan ke sektor lain dan dengan cara yang berbeda, misal, kajian life style sebagai ranah dimana sistem ini beroperasi sedemikian efektif.
Upaya kerjasama itu akan semakin efektif ketika kita semakin memperlebar volume demokrasi di tataran massa. Fungsi ruang publik harus kita efektifkan. Di sanalah ruang dimana artikulasi individu, kelompok dan lain sebagainya saling bertukar pikiran, mengkritik, memberi saran, dan sebagainya. Selain itu, dengan semakin terbukanya ruang publik, partisipasi publik akan semakin meningkat. Tentu saja, hal ini perlu kita upayakan, misal, melalui pemberdayaan massa. Ketika publik mau dan mampu berpartisipasi, maka tidak menutup kemungkinan kalau ternyata selama ini banyak kritik-saran kepada kita yang sebelumnya mereka pendam sebagai the silent majorities.
Terakhir, selaras dengan semangat 28 Oktober, saya mengusulkan kalau kita perlu menggelar simposium gerakan sosial di Purwokerto. Dalam forum lintas elemen dan multi sektor ini, kita perlu mencari kesepemahaman dalam rangka membuat desain transformasi sosial. Saya rasa, kita sudah jengah dengan klaim yang serba muluk dan besar. Untuk itu, perlu kiranya kita kembali lagi pada wilayah lokal (Purwokerto) sebagai basis perubahan.
Urun rembug dari berbagai elemen dan bidang kajiannya masing-masing, saya rasa akan menambah amunisi perspektif serta memperkuat jejaring gerakan kita selama ini. Tentunya kita tidak akan ambil pusing ketika forum itu difasilitasi oleh HMI, KAMMI, FMN, PMII, PMKRI, atau lembaga yang lain. Sekurang-kurangnya, pada titik itu kita mulai berlatih untuk saling percaya antara satu dengan yang lain. Mungkinkah? []
Note: untuk kontribusi media HMI-MPO Kom. FISIP UNSOED
0 comments :
Posting Komentar