Lawang Sewu


Oleh: Firdaus Putra A.

Saya sudah mendengar banyak cerita tentang Lawang Sewu. Dulu seorang teman pernah menceritakan tempat wisata ini. Beberapa bulan yang lalu, salah satu televisi swasta menyajikan liputan Lawang Sewu dengan tema “Wisata Mistik”. Seumur hidup (23 tahun), baru kemarin saya menyambangi tempat angker itu. Letaknya di pusat kota Semarang. Didampingi oleh guide, saya dan Kang Suroto, masuk dan melihat-lihat ke sisi-sisi gedung.

Kami datang ke sana pukul 20.00. Dari hotel tempat menginap, Santika Hotel, kami menumpang becak. Sesampainya, aura mistik mulai terlihat, ya sekurang-kurangnya gedung itu temaran tanpa pencahayaan. Gedung tua peninggalan Belanda itu masih terlihat kokoh. Saya yakin akan berbeda dengan gedung peninggalan insinyur dalam negeri.

Sebelum masuk, kami membayar administrasi Rp. 5000 per orang. Seorang guide mengantar kami berkeliling dengan penerangan sebuah senter. Tak lupa, Kang Suroto menjepret sana-sini sebagai kenang-kenangan. Memang bangunan itu membuat takjub. Tinggi, besar, dan terkesan angkuh. Dan intinya, pintu bangunan itu berjumlah banyak, memang tidak sampai seribu. Penyebutan Lawang Sewu (Pintu Seribu atau Seribu Pintu) hanyalah metafor dari banyaknya pintu.

Tak hanya banyaknya pintu, masing-masing ruangan selalu terhubung satu dengan lainnya. Jadi, ruang yang bersisi empat, selalu mempunyai empat pintu. Sisi barat, timur, utara dan selatan. Semuanya terhubung! Sehingga kalau semua pintu di setiap ruang di buka, maka kita bisa melihat ruang paling ujung dari gedung itu. Wah, benar-benar seni arsitektur yang luar biasa.

Sembari memasuki beberapa ruang, guide sedikit bercerita ihwal fungsi gedung itu. Saya tak terlalu ingat, karena saat itu kagum dan takut menjadi satu. Jadi informasi itu sekedar masuk dari kiri dan keluar dari telinga kanan. Sampai di satu ruang, si guide memperlihatkan porselen keramik berupa wastafel di pojok ruangan. Kang Suroto nampaknya antusias, ia menjempret beberapa kali. Tak ketinggalan, ia jepret secara khusus merk dagang porselen itu, negara Belanda.

Bangunan itu terdiri dari tiga lantai utama. Pertama lantai bawah, lantai tengah, dan dan beberapa loteng sebagai ruang penyimpanan. Namun kalau basemen bawah tanah mau dihitung, maka jumlah totalnya terdiri dari empat lantai. Hampir selesai berkeliling, si guide menawarkan kepada kami apakah hendak melihat basemen yang konon katanya wingit. Tanpa banyak pikir, saya dan Kang Suroto mengiyakan tawaran itu.

Entah kode etik, bagi-bagi job, atau alasan lainnya, guide berganti orang. Sebelum masuk ke ruang basemen, kami diminta Rp. 6000 per orang untuk sewa sepatu bot dan senter. Setelah semuanya siap, guide membawa kami ke “alam lain”. Sebelum masuk ke lorong, si guide berhenti sejenak. Mungkin ia berdoa atau mohon izin untuk masuk. Kami mengikuti di belakang dengan hati-hati, cemas, dan tentu saja takut.

Si guide menerangkan ruang pertama kali masuk ke basemen. Katanya, ruang itu merupakan ruangan yang dipakai untuk program uji nyali stasiun televisi swasta tertentu. Dan saat itu, konon katanya, sekelebat makhluk gaib menampakan diri, Kuntilanak. Saya berjalan di belakang guide dan Kang Suroto berjalan persis paling belakang.

Lantai lorong itu penuh air. Di sisi kiri dan kanannya ada pipa besi. Kata guide, pipa itu merupakan pipa air yang dialirkan ke seluruh ruangan. Dan fungsi lorong ini adalah sebagai pusat kontrol sirkulasi air. Dulu, katanya, fungsi air di bawah ruangan ini sebagai pendingin ruangan atas. Jadi, mirip air conditioner alami.

Di beberapa dinding terdapat lubang berukuran satu meter atau lebih. Dengan senter kita bisa melihat di dalamnya terdapat kolam-kolam air yang mungkin berukuran satu kali satu meter. Menurut guide, kolam itu berfungsi sebagai penampung air. Masing-masing kolam kecil itu terhubung satu dengan lainnya. Kalau seksama, di bawah kolam itu ada lubang kecil yang akan mengalirkan air dari satu kolam ke yang lain.

Guide mengajak kami masuk ke lorong kolam air itu. Dengan hati-hati kami masuk. Kang Suroto kepleset. Sampai di atas kolam, guide meminta semua senter dimatikan. Gelap! “Baik siang atau malam, ruangan ini ya gelapnya seperti ini. Tidak ada cahaya matahari atau sinar lampu.” Itu kata si guide. Dia melanjutkan, ketika zaman penjajahan Jepang, kolam air di gedung ini beralih fungsi menjadi penjara. Ia sebut sebagai “Penjara Jongkok”. Biasanya satu kolam kecil ini diisi sepuluh orang. Di atasnya ditutup tralis besi sehingga mereka tak bisa berdiri. Para tahanan ini tak bisa kemana-mana. Lebih mengerikan lagi, di samping gelap gulita, mereka tidak diberi makan. Dan yang pasti, penjara jongkok itu diisi penuh dengan air.

Wow ... kita bisa banyangkan bagaimana perasaan para tahanan kala itu. Sulit bernafas karena pengap. Sendi lutut sakit karena jongkok terus-menerus. Badan pegal-pegal karena peredaran darah tidak lancar. Kulit melepuh karena air. Tertekan karena gelap gulita. Benar-benar teknik penyiksaan yang membuat orang mending memilih mati daripada hidup.

Di lorong lain, guide memberitahu jenis penjara lainnya, “Penjara Berdiri”. Di masa Belanda ruangan itu tidak pernah dibangun. Baru di masa Jepang ruangan itu ada. Buktinya, tembok penjara berdiri itu berbeda dengan beton lorong basemen. Ketebalannya tidak sama dengan tembok utama lorong.

Berbeda dengan penjara jongkok, penjara berdiri membuat orang tidak bisa duduk atau jongkok. Ruangan itu sempit, hanya berukuran satu meter kali sekian puluh senti. Satu ruangan diisi empat tahanan. Ya mau tidak mau, mereka harus berdiri, berhimpit-himpitan satu sama lain sampai menyentuh pintu tralis besi.

Di ruangan lain, guide memberitahu ruang eksekusi. Tentu saja, eksekusi di zaman Jepang adalah pancung. Tidak ada bentuk khusus dari ruangan itu. Dan yang jelas, meski tak terjadi apa-apa, memasuki ruangan ini lebih menakutkan daripada ruangan lain.

Sebelum keluar, guide memberi tebakan kepada kami, “Kalau kita mau keluar, kita ke arah mana hayo?” Saya menunjuk ke arah kanan dari posisi berdiri. “Bener?” Si guide menegaskan. Dan ternyata, arah pintu keluar (yakni pintu masuk) sebenarnya di sebelah kiri posisi saya berdiri. Kata guide, kalau orang baru pertama kali masuk ke lorong ini ia bisa saja tersesat dan susah menemukan pintu keluar. Pasalnya, setiap lorong bentuknya hampir atau bahkan nyaris mirip.

Setelah selesai melakukan wisata mistik itu, kami memberi guide yang pertama Rp. 15.000 dan Rp. 20.000 untuk guide yang kedua. Sembari istirahat dan menikmati rokok, kami ngobrol santai dengan mereka berdua. Apakah pernah ada yang kesurupan atau diganggu?, tanyaku. “Kesurupan tidak pernah terjadi. Tapi kalau diganggu (diisengi) itu sering terjadi. Misal, kaki atau pundaknya dipegang oleh makhluk gaib sehingga rasanya berat sekali. Tapi jangan khawatir, seringkali pengunjung yang diganggu itu adalah yang kemlinthi (sok atau sombong)”, jelas si guide. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :