
Oleh: Firdaus Putra A.
I
“Kami, Poetera dan Poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kami, Poetera dan Poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Kami, Poetera dan Poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.” Itulah maklumat pemuda-pemudi Indonesia pada 28 Oktober 1928, 80 tahun silam. Pada hari ini (28/10/2008), maklumat itu diperingati oleh segenap elemen bangsa. Tentu saja, ada nila historis yang coba dikontekstualisasikan ulang pada ruang-waktu kekinian, yakni nilai dan semangat keperjuangan.
Dalam konteks keperjuangan itu, gerakan mahasiswa menjadi salah satu elemen penting. Sehingga tidak berlebihan ketika menyoal 28 Oktober sama dengan menyoal mahasiswa berikut gerakannya. Persoalannya kemudian, semangat zaman (zetgeist) pemuda-pemudi 28-an, 45-an, 66-an, bahkan 98-an cukup berbeda dengan 08-an. Tengoklah, mahasiswa-mahasiswi kekinian yang sangat akrab dengan hingar-bingar dunia fashion, nongkrong di kafe, dan berbagai pernak-pernik gaya hidup kapitalisme lanjut (spätcapitalismus).
Celakanya, meminjam istilah Marcuse, kita semua sudah terhisap dan mengalami desublimasi represif oleh moda produksi kapitalisme. Celah-celah perlawanan menjadi kian kecil dan sempit. Bahkan, berbagai ikon perlawanan sudah sedemikian rupa didaur ulang oleh pemilik modal menjadi ikon pop. Che Guevara, tak lagi merujuk pada ikon perlawanan. Ia merujuk pada ikon berbagai produk industri massal; kaos, sepatu, dan sebagainya.
Muda-mudi hari ini sudah teramat pandai memamah lembut berbagai produk leisure time, produk TI yang selalu saja baru, brand yang menawarkan “keseragaman”, dan seterusnya. Alhasil, semangat zaman yang ada menempatkan generasi muda lebih sebagai water closset (WC) yang siap menampung apapun ikon, produk, barang, dan jasa industri massal. Lantas, bagaimana keluar dari hisapan kuat itu?
II
Kita lebih nyaman dan akrab menggunakan WC (baca: wese) daripada kamar kecil atau mungkin—terjemahan bebas WC—air penutup. Bahkan dari bahasa Inggris, kita translasi ke bahasa lain, toilette (Perancis). Juga lebih akrab dengan HP (baca: handphone) daripada telepon genggam. Masih sama, kita lebih akrab dengan flashdisk daripada penyimpan data kilat. Nah, dalam konteks ini, proses hibridasi (percampuran) muncul di segenap lini kehidupan. Kalau masih setia pada maklumat 28-10-1928, sekurang-kurangnya kita telah mencederai butir ketiga, “Mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.”
Perubahan zetgeist dengan sendirinya membuat peta dan cara perlawanan berubah. Bukan lagi sebuah proyek besar tentang revolusi, melainkan proyek kecil dari beragam narasi-narasi kecil yang tersebar dimana-mana. Dalam konteks itu, ada satu tantangan yang perlu kita lewati, bagaimana caranya agar dakwah (perlawanan) kita mampu menelisip ke dalam rongga-rongga gaya hidup popular. Karena di sanalah, jantung kapitalisme beroperasi secara efektif.
Memukul atau mencaci-maki dengan beragam sarkasme hanya akan membuat massa menjauhi aktivitas dakwah kita. Tentu saja, “potential market” dakwah menjadi semakin kecil dan terbatas. Bahkan, yang ada justru dakwah kita hanya berkutat dan melingkar pada segmen tertentu saja. Dakwah yang kita kembangkan tak pernah mampu meloncati tembok besar popular life style dan berbagai macam hiruk-pikuk budaya pop lainnya. Ironisnya, kita justru semakin nyaman bergerak dalam keadiluhungan budaya elit.
Untuk menyelesaikan satu tantangan ini, mau tidak mau, gerakan mahasiswa harus melakukan evaluasi paradigmatik. Menggeser kecenderungan determinisme Marx klasik, ke arah multi-perspektif. Selain itu, menggeser cara pandang “yang besar-besar” ke arah ”yang kecil-kecil”.
III
Seperti water closset, klaim-klaim ideologis kita cenderung menutup bau tak sedap dari tandon akhir pembuangan. Klaim-klaim ideologis serta jargon kita, sama sekali tak mampu menghilangkan bau anyir itu. Praktiknya, secara langsung atau tidak, kita konstruksi mereka menjadi the silent majorities yang “najis, apatis, dan terbelakang” dari seputar diskursus perlawanan kita.
Dalam term dakwah (da’a, berarti mengajak), perlulah kita upayakan agar mode-mode perlawanan kita terhadap kapitalisme, sesedikit mungkin bisa merangkul-mengajak para peminat produk budaya massa. Menjauhi mereka, tentu saja merupakan langkah yang kontra-produktif bagi tumbuh dan berkembangnya nilai dan semangat perlawanan terhadap kapitalisme.
Untuk melawan kapitalisme, kita membutuhkan suatu gerakan yang inklusif yang terbuka luas bagi segenap individu dengan berbagai latar belakang. Mengingat, sistem kapitalisme selain mengglobalkan, ia juga memfragmentasi pusat-pusat perlawanan menjadi tercerai berai.
Selain inklusif, solidaritas atau kesetiakawanan menjadi kunci penting. Artinya, kerjasama dari berbagai elemen menjadi niscaya. Prinsip cooperativeness (kerjasama) harus kita canangkan. Berbeda dengan itu, nilai-nilai competitiveness (kompetisi) yang mewujud pada bentuk-bentuk egoisme pribadi atau sektarianisme kelompok harus kita tinggalkan.
Generasi yang sudah dengan baik memamah lembut “water closset” dibanding “kamar kecil”, membutuhkan pola hibridasi kebudayaan. Sejurus dengan itu, pola perlawanan juga seyogyanya hibrid. Tak lagi saling mengklaim paling berjuang, justru perlu saling mengapresiasi setiap kerja-kerja perlawanan, sekecil apapun itu. Dalam kerendahhatian, menjadi niscaya untuk masing-masing gerakan melampaui garis ideologinya masing-masing. Dengan ending, pertemuan di tapal batas perlawanan terhadap kapitalisme lanjut. []
Dimuat di http://we-press.com
1 comments :
pemikiran anda cemerlang...
Posting Komentar