
Oleh: Firdaus Putra A.
Sekitar satu bulan yang lalu saya memberi komentar tentang training ESQ dengan biaya kontribusi yang relatif mahal, Rp. 500.000. Dua hari yang lalu, saya lihat sebuah spanduk promo yang dipasang di pertigaan jalan Kampus FISIP. Isinya cukup mencengangkan, yakni “Pelatihan Shalat Khusyu’” dengan kontribusi Rp. 100.000 (baca juga tulisan, Menyoal Training ESQ)
Saya tidak habis pikir, sebegitu komersilkah dakwah Islam hari ini? Untuk mengajarkan tentang fundamen agama, yakni shalat, peserta yang nota benenya adalah umat harus ditarik biaya. Tidak ada lagi term ikhlas dalam dakwah semacam itu. Apakah lantas para petani, penjual rames yang menggantungkan hidupnya di antara nilai selisih biaya produksi dan harga jual produk bisa mengikutinya? Lebih-lebih kita ketahui bersama, harga beberapa kebutuhan pokok masih saja merangkak naik.
Melihat spanduk sebagai media promosi, saya menduga bahwa pelatihan itu tidak ditujukan kepada mereka. Jika kita mau jujur, struktur masyarakat agama kita masih menyisakan jarak antara kelas awam, menengah dan elit agama. Bisa jadi, pelatihan itu ditujukan pada dua kelas terakhir.
Meskipun dua kelas terakhir secara sosio-ekonomi relatif mapan, saya masih mempertanyakan tentang keikhlasan kita dalam berdakwah. Mengapa untuk sekedar mengajarkan shalat khusyu’, umat harus—dari manapun kelasnya—harus membayar biaya kontribusi? Saya kira tidak relevan jika hal ini merupakan proses dakwah atau pendidikan umat.
Di lain pihak, saya membaca bahwa akses terhadap ilmu agama dimanfaatkan oleh sebagian kelompok sebagai lahan bisnis. Sebuah logika yang saya kira bertentangan dengan keikhlasan dalam beramal soleh.
Praktik yang dilakukan oleh sebagian pihak ini menurut saya merupakan praktik pembatasan akses bagi umat untuk medapatkan ilmu atau pengetahuan agama yang komprehensif. Apalagi jika kita ketahui bahwa shalat merupakan ibadah ritual yang menempati posisi yang tinggi.
Selain itu, logika apa yang menjamin bahwa melalui training semacam itu kekhsuyu’an dalam shalat dapat kita capai. Khusyu’ menurut saya keadaan hati atau psikologis kita dimana dapat mengkonsentrasikan hati dan pikiran saat melaksanakan suatu ibadah atau ritual. Pelatihan merupakan cara pandang teknokratis yang terlalu menyederhanakan masalah. Pelatihan semacam itu mengandaikan bahwa dengan berbagai tips, orang kemudian dapat mendirikan shalatnya dengan khusyu’. Saya kira hal ini tidak sesuai dengan esensi shalat itu sendiri yakni sebuah proses penghambaan pada Tuhan yang di dalamnya terdapat proses komunikasi vertikal kepada Sang Khalik. Secara mendasar, shalat seorang hamba, khusyu’ atau tidaknya hanya Tuhan yang tahu.
Lebih jauh, saya melihat pelatihan semacam itu berangkat dari ekspresi ritual lebih penting daripada esensi. Saya jarang melihat adanya pelatihan atau seminar yang diselenggarakan oleh kelompok agamis terkait masalah sosial, seperti masalah kemiskinan, keterbelakangan umat, pesan-pesan agama yang harus kontekstual dan sebagainya. Pelatihan itu mensyiratkan kepada kita bahwa ritual ibadah vertikal mendapatkan tempat yang lebih tinggi dari pada ibadah sosial kemasyarakatan.
Jujur saya mulai pesimis dengan agenda dakwah Islam. Saya khawatir, keterbelakangan umat dalam masalah ilmu atau pengetahuan agama dimanfaatkan oleh sebagian kelompok untuk meraih keuntungan. Jika benar dakwah Islam mensyaratkan keikhlasan, saya rasa biaya kontribuasi—mekipun akan dikembalikan dalam bentuk fasilitas—adalah logika yang tidak bisa diterima.
Kepada para imam atau ta’mir masjid, saya bertanya, dengan adanya pelatihan shalat khusyu’, jangan-jangan hari ini peran kalian belum pernah selesai dalam rangka mendidik umat? Semoga hal ini salah.
Kepada para pembaca, saya mengajak agar kita merefleksikan kembali tentang sikap ikhlas dalam melaksanakan agenda dakwah Islam. Semoga komentar ini bermanfaat. Wallahu a’lam bishshowab. []
0 comments :
Posting Komentar