
Sebuah Usaha Menghayati Realitas[1]
Oleh: Firdaus Putra A.
I
Alih-alih memberikan materi secara tuntas, dalam kesempatan ini saya akan lebih menyuguhkan permasalahan yang sifatnya boleh jadi sangat multi tafsir. Saya akan menawarkan beberapa poin yang masih sangat terbuka untuk kita diskusikan, perdebatkan. Boleh jadi, simpulan-simpulan sementara saya benar atau juga salah.
Dalam konteks seperti itu, saya ingin “merelatifkan” pandangan saya berhadapan dengan pandangan Anda. Poinnya, saya sekedar menyuguhkan ruang diskusi untuk Anda. Saya tidak sedang menawarkan korpus tertutup yang akan Anda percayai. Justru, saya sedang menawarkan kopus terbuka yang perlu Anda ragukan, bahkan curigai. Untuk itu, tulisan ini jangan sekali-kali dimaknai sebagai “kitab suci”, melainkan sekedar pengantar untuk kita periksa kebenaran dari klaim-klaim (rightness claim) yang akan saya ajukan.
II
Ada satu pernyataan yang nampaknya perlu kita refleksikan bersama, “Kehidupan yang tidak diperiksa, tidaklah pantas untuk kita hidupi.” Ujaran ini disampaikan oleh filosof besar, Sokrates. Lantas apa makna yang dapat kita ambil (tafsirkan) dari ujaran itu?
Kalau kita mengandaikan hidup di zaman itu, berfikir a la Sokrates (baca: filosof) merupakan usaha berfikir secara kritis, rasional, bahkan logis. Proses berfikir ini bisa berangkat dari kondisi material (realitas), bisa juga berangkat dari ide-ide (imajinasi). Muara dari proses ini yakni kemampuan kita untuk mengenali, memeriksa, dan menghayati realitas/idealitas yang mengelilingi kehidupan kita.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa realitas perlu kita kenali, periksa dan hayati? Apakah tidak cukup hanya dengan sekedar menerimanya begitu saja (taken for granted)? Dalam perdebatan filsafati kita akan menemukan dua term (istilah) yang tak pernah tertuntaskan semenjak zaman Yunani hingga saat ini. Realitas oleh para pemikir seringkali disebut sebagai “fenomena”. Persoalannya, kita tidak cukup hanya dengan mengenali fenomena yang sifatnya sekedar permukaan. Kita perlu menelisik lebih dalam ke lapisan berikutnya, “numena” atau inti dari masalah itu sendiri (akar masalah).
Bila kita andaikan kebenaran suatu realitas seperti kulit bawang, maka sejatinya kebenaran yang kita terima senantiasa berlapis-lapis. Makanya, sebagian pemikir lebih suka menyebut “menyingkap kebenaran” daripada “menemukan kebenaran”. Analogi kulit bawang mengisyaratkan adanya kebenaran lapis satu, lapis dua, dan seterusnya. Dalam konteks ini pula, mengklaim kebenaran bersifat mutlak bertentangan dengan klaim itu.
Kalau kita ingat, teori-teori yang kita baca hari ini merupakan kompilasi dan penyempurnaan dari berbagai teori yang ada sebelumnya. Satu teori “ditemukan” bersifat benar sejauh teori yang lain belum ditemukan. Sebaliknya, teori itu akan gugur ketika “ditemukan” teori yang lebih canggih lagi dalam memotret realitas. Kecenderungan ini kita temukan baik dalam disiplin sosial-humaniora dan eksakta.
Simpulan saya yang pertama, bahwa proses kita (manusia) dalam konteks “mencari kebenaran” tidak akan pernah tuntas dan selesai. Kita senantiasa hanya dalam proses mencari atau mendekatinya saja.
III
Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan dibagi menjadi tiga wilayah; ontologi menyoal masalah “ada” (being) , epistemologi berkutat pada masalah “bagaimana ia mengada” dan terakhir aksiologi menyoal masalah aksi (praktik) dari ilmu pengetahuan tertentu. Perdebatan kita dalam konteks ini akan lebih masuk ke wilayah epistemologi.
Secara sederhana epistemologi merupakan kajian yang membahas masalah sumber pengetahuan dan metode dalam memperoleh pengetahuan. Sumber pengetahuan tentu saja akan menunjuk pada relitas (data primer, dalam bahasa penelitian), referensi (pustaka, kitab suci, dan sebagainya atau data penelitian sebagai data skunder). Dua masalah itu yang akan menentukan kebenaran seperti apa yang akan kita “dapatkan”.
Bilamana kita analogikan agama, maka yang perlu kita berikan adalah jalan dalam rangka mendekati kebenaran itu, bukan sekedar memberikan “kebenaran sebagai paket yang siap pakai” (ready to be use). Dengan sendirinya, bilamana jalan (metode) itu telah kita berikan, masalah hasil, adalah masalah yang bisa jadi beragam. Untuk itu, lebih jauhnya kita perlu merombak nalar berfikir dari menerima seperti apa adanya (taken for granted) ke arah yang lebih kritis (diperiksa, diteliti, diklarifikasi, dst.).
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana berfikir kritis itu? Kerangka ini dipinjam dari Hadono Hadi, Phd., menurutnya berfikir kritis melalui sederetan tahap, sebagai berikut;
Kerangka Berfikir Kritis[2]

Tahap yang pertama dimana kita menemukan sebuah fenomena (realitas, gejala sosial, masalah, dst.). Tahap selanjutnya kita harus mau dan mampu memahami (mengetahui secara serius) fenomena tersebut. Dalam tahap ini, kita membutuhkan proses pencarian informasi, data, fakta di lapangan dan sebagainya. Setelah mengetahui kita memasuki tahap memeriksa, meneliti, menganalisis, mengklarifikasi, dan seterusnya. Tahap ini merupakan tahap dimana kita sedang melakukan usaha kritisisme.
Usaha kritisisme tersebut bisa berjalan ketika kita menganalisis, menguji kebenaran klaim (rightness claim) atau membandingkan dengan klaim yang lain. Dalam proses analisis tersebut kita bisa memanfaatkan data atau fakta yang ada. Sedangkan dalam rangka menguji kebenaran klaim kita bisa menggunakan standar nilai berupa; etika sosial, nilai-nilai universal, aturan atau tata perundangan yang berlaku, nilai-norma di masyarakat dan sebagainya.
Saat kita melakukan proses analisis atau pengujian itu, bilamana apa yang ada (das sollen) berbeda dengan apa yang seharusnya (das sein), maka itulah yang dinamakan masalah. Secara teoritis, proses pengujian ini bisa melalui salah satu dari tiga teori kebenaran; koherensi (bilamana sesuai dengan nilai yang ada sebelumnya), korespondensi (bilamana sesuai dengan keadaan sebenarnya-obyektif), dan pragmatis (bilamana bisa dipraktikan/workable).
Tahap selanjutnya, ketika kita sudah mengetahui adanya satu masalah, maka memberikan solusi terhadap masalah itu merupakan fase berfikir kreatif. Di atasnya berfikir kreatif, mana kala kita mampu memberikan solusi yang lebih baik dari solusi sebelumnya. Inilah tahap dimana kita menjadi orang bijaksana yang memiliki kearifan/wisdom dalam bertindak.
Lebih khusus lagi, tahap berfikir kritis (memeriksa fenomena) bisa kita lalui dengan jalan mengajukan pertanyaan. Pertanyaan ini tentu saja bersifat mengakar (radix-radikal), yakni dengan kata tanya “mengapa”. Untuk membantu eksplorasi masalah perlu juga kita ajukan pertanyaan “apa” dan “bagaimana” (implikasinya).
Mengingat proses berfikir kritis menerima fenomena dengan penuh keraguan/kecurigaan maka perlu juga kita ajukan pertanyaan mengapa “yang ini” bukan “yang itu”. Dalam kajian Ilmu Politik, teori ini disebut rational choice, dimana adanya fenomena (misal, kebijakan) pasti mempunyai alasan rasional yang mencukupi untuk adanya. Artinya, tidak ada kebijakan yang muncul secara tiba-tiba tanpa perencanaan, analisis, bahkan manajemen resiko. Dalam bahasa filsafati, bahwa adanya sesuatu membutuhkan sebab yang mencukupi untuk adanya (qonditio sine quanon atau raison d’etre).
Simpulan saya yang kedua, segala hal mempunyai alasan yang mencukupi mengapa ia ada. Tidak ada istilah kebetulan dalam konteks kebijakan dan semacamnya.
IV
Keinginan manusia untuk senantiasa memeriksa kehidupannya berimplikasi kepada terlembagakannya (dalam makna sosiologis) proses berfikir kritis. Dalam konteks itulah, sejatinya pendidikan lahir. Ia merupakan sistematisasi dari proses berfikir kritis. Meminjam bahasa Freire, paradigma pendidikan semacam ini merupakan paradigma “hadap masalah”. Dimana individu atau peserta didik tidak hanya pasif dalam menerima realitas, melainkan ia secara aktif melakukan tafsir terhadap realitas untuk kemudian merubahnya.
Permasalahan muncul ketika manusia memasuki alam kehidupan modern. Yang pertama, sistematisasi tersebut membutuhkan lembaga (organisasi) sehingga lahirlah sekolah. Dan kedua, logika modern membuat kita masyarakat menjadi terdiferensiasi ke berbagai sektor kehidupan. Konskuensi logis dari diferensiasi ini adalah munculnya berbagai macam sekolah kejuruan (misal, keperawatan, perhotelan, teknik, kedokteran, pertanian, biologi, kesmas, dst.). Diferensiasi ini merupakan konsekuensi dari kebutuhan masyarakat modern yang semakin beragam warnanya.[3]
Di satu sisi ada sekolah yang menyuguhkan ilmu-ilmu murni (pure science) seperti sebagian ilmu sosial-humaniora. Di sisi lain, banyak sekolah yang menawarkan ilmu-ilmu terapan (applied science), yang tentu saja nge-match dengan kebutuhan masyarakat dan nge-link ke pasar kerja. Dalam konteks itu, dunia pendidikan (sekolah) ternyata membudayakan praktik yang seakan-akan saling berbenturan. Satu sisi sekolah yang senantiasa menyuarakan kemanusiaan (humanisme), di sisi lain sekolah yang menawarkan pekerjaan (pekerjaanisme). Lantas bagaimana kita menyikapinya? Apakah kita akan menolak yang satu dan menerima yang lain? Atau mencari alternatif lainnya?
Tokoh lain, Ivan Illich secara tegas menyuarakan deschooling society, artinya membebaskan masyarakat dari sekolah. Persoalannya, sekolah seperti apa yang perlu ditinggalkan oleh masyarakat, dan pada sisi lain, sekolah seperti apa yang diperlukan masyarakat?
Sejarah mencatat, Illich benar-benar keluar dari sekolah (dalam makna sebenarnya). Selepas itu ia membangun paradigma pendidikan orang dewasa (andragogi)—sedangkan dalam bahasa Freire—pedagogi kritis. Menurutnya, dengan berbagai macam aturan, kurikulum, birokrasi dan lain sebagainya, sekolah senyatanya membuat masyarakat masuk dalam—meminjam bahasa Giddens—iron cage atau kerangkeng besi.
Lantas, apa yang sebenarnya terkerangkeng? Tentu saja nalar kritis masing-masing peserta didik. Terkerangkengnya nalar kritis ini membuat individu menjadi—meminjam bahasa Marcuse—manusia satu dimensi. Ia merupakan manusia yang “terpecah-belah”, ingat logika diferensiasi yang membuat masyarakat menjadi terspesialisasi.
Baik Illich maupun Freire memang cenderung pesimis membaca fenomena sekolah masyarakat modern. Sekurang-kurangnya, baik Illich pun Freire meminjam sebagian pemikirannya dari para pemikir Madzhab Frankfurt Generasi Pertama, seperti Adorno dan Horkheimer. Dimana kedua tokoh itu berakhir dengan pesimisme.
Namun, yang menarik dari Freire pesimisme itu tidak lantas membuatnya diam, justru ia berusaha untuk merubahnya. Meminjam Teologi Pembebasan a la tradisi Katolik Amerika Latin, ia melahirkan metode yang cukup canggih, Participatory Action Research (PAR) atau Penelitian Aksi-Partisipatif.
Benang merah pertama yang dapat kita ambil bahwasannya pendidikan kritis mensyaratkan proses penelitian (pemeriksaan) terhadap suatu fenomena. Penelitian ini dilaksanakan secara partisipatif (yang melibatkan segenap peserta didik berhadapan dengan masalahnya) dan dilanjutkan dengan aksi (praksis).
Persoalannya, apakah setiap sekolah—khususnya ilmu terapan—mampu melaksanakan PAR dalam konteks kemanusiaan? Bilamana tidak, apakah dengan berbusung dada kita akan mengatakan bahwa, misal, jurusan teknik, ekonomi, dan lain sebagainya sebagai jurusan yang “haram”? Di sisi lain mengatakan jurusan filsafat, sosiologi, dan lain sebagainya sebagai yang “halal”? Padahal, kalau kita mau jujur, ilmu-ilmu terapan juga sangat mendukung majunya peradaban manusia. Lantas, seperti pertanyaan di awal, bagaimana kita menyikapinya?
Ada dua cara yang bisa kita gunakan. Pertama bahwa memungkinkan metode PAR dilaksanakan di setiap jurusan. Hal ini mengandaikan adanya reformasi kurikulum pendidikan. Dalam konteks materi ajar, perlu diintegrasikan, meski pada tingkat minimal kurikulum pendidikan kritis, seperti; filsafat pendidikan, filsafat ilmu, jati diri manusia, dan sebagainya.[4]
Cara yang kedua, yakni deschooling society, yakni praktik pendidikan kritis hanya berlangsung di luar sekolah (dalam makna sebenarnya). Praktik-praktik ini seperti yang dilakukan oleh para aktivis sosial, LSM, dan sebagainya. Mengingat, selama pendidikan masih diselenggarakan oleh negara, maka kecil kemungkinan reformasi—bahkan revolusi (kebudayaan)—pendidikan bisa terjadi. Oleh karenanya, Illich termasuk dalam paradigma pendidikan anarkhi (bebas dari negara—bukan anarkhisme menunjuk pada tindakan yang brutal).
Dalam sub-bab ini saya tidak sedang menawarkan korpus terbuka, melainkan salah satu dari sekian banyak ideologi pendidikan kritis yang ada selama ini. Tentu saja, menjadi besar kemungkinan bagi Anda untuk meragukannya.
V
Sebagai penutup, berbeda dengan para pemikir Madzhab Frankfurt Generasi Pertama, Habermas lebih optimis dalam memandang alam kehidupan modern. Kerangkeng besi menurutnya bisa kita kikis melalui proses kritik diri. Proses ini dibangun melalui ruang publik yang bebas dari dominasi, tekanan, paksaan, ketakutan, dimana masing-masing partisipan berada dalam posisi yang setara. Partisipan mengeluarkan pernyataan dengan berbagai argumen rasionalnya dan yang lain akan membantah atau mengamini dengan argumen lainnya. Proses ini lebih jauhnya akan membuat kita saling memahami antara satu dengan yang lain, untuk mencapai kesepakatan tertentu (agreement on agreement or agreement on disagreement).
Proses ini berlangsung dengan catatan bahwa setiap partisipan dialog/diskusi dalam mengemukakan pendapatnya sekurang-kurangnya memenuhi tiga klaim; kejujuran, kebenaran, dan ketepatan. Untuk memenuhi salah satu dari tiga klaim itu, jujur, ketika menulis paper ini, di benak saya masih banyak pertanyaan yang belum bisa saya selesaikan. Untuk itu, secara terbuka saya katakan bahwa memungkinkan sekali saya mengalami sesat logika. Artinya, saya menuntut Anda (pembaca) kritis dalam membaca paper ini. Saran saya, periksalah sebelum Anda mengamininya. [19/08/2008/3:41AM]
Referensi
Finger, Mathias. 2004. Quo Vadis Pendidikan Orang Dewasa. Yogyakarta: Pustaka Yogya Mandiri.
Hardiman, Francisco B. 2004. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2002. Dekonstruksi Epistemologi Modern. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
Manggeng, Marthen. 2005. Jurnal Teologi Kontekstual. “Pendidikan yang Membebaskan menurut Paulo Freire dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia”. Edisi No. 8
Suhartono, Suparlan. 2004. Dasar-dasar Filsafat. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Footnote:
1. Disampaikan di Basic Camp PKK “Buka Mata” FISIP UNSOED pada 19 Agustus 2008. Term “menghayati” dalam konteks ini bukan berarti sebatas menerima realitas secara given (terberi), melainkan sampai pada titik menafsirkan realitas untuk kemudian merubahnya.
2. Disampaikan oleh Hadono Hadi, Pelatihan History of Thoughts Satunama Yogyakarta Febuari 2008.
3. Di era Orde Baru kurikulum pendidikan di-set-up sedemikian rupa agar kebutuhan masyarakat (melalui perantara pasar) terpenuhi. Lahirlah kurikulum link and match.
4. Dalam konteks UNSOED, menurut hemat saya, mata kuliah Jati Diri UNSOED (JDU) tidak lagi relevan dan perlu dirubah menjadi mata kuliah Jati Diri Manusia. Mengenal diri sendiri (refleksi kritis) menurut saya jauh lebih penting daripada sekedar mengenal UNSOED pun Jenderal Soedirman.
0 comments :
Posting Komentar