Waktu Maghrib


Oleh: Firdaus Putra A.

Saya mulai bertanya-tanya, mengapa ketika waktu Maghrib tiba, keadaan berubah menjadi “sakral atau magis”. Berbeda ketika misal waktu Isya—yang sama-sama gelap, atau waktu Subuh. Tengoklah, sedikit orang yang keluar di waktu Maghrib atau petang. Padahal, bila sekedar saat itu matahari terbenam dan situasi menjadi gelap, lampu-lampu dengan aneka cahanyanya sudah bisa menerangi jalanan.Amat berbeda misal ketika adzan Isya berkumandang, banyak orang melenggang dengan santainya di jalanan.

Televisi nampaknya juga menangkap nuansa sakral atau magis waktu Maghrib. Lihatlah, hanya adzan Maghrib saja yang ditayangkan di televisi. Selain Subuh di waktu-waktu tertentu, misal bulan Puasa. Selebihnya, Dzuhur, Ashar dan Isya, jarang atau bahkan tidak pernah ditayangkan.

Bukti lainnya, kita akan dinilai tidak sopan ketika bertamu saat Maghrib. Akan tetapi, penilaian yang sama tidak muncul di waktu Isya, Dzuhur atau Ashar. Bahkan yang lebih mensakralkan lagi, tidur dan terbangun di saat Maghrib membuat kita tidak nyaman. Saya pernah merasakan, mungkin Anda juga. Bagaimana saat itu kita seperti linglung, gugup, bahkan ada rasa aneh-magis. Kadang juga saya bermimpi buruk saat terbangun di waktu itu.

Di masa saya kecil, di desa, nenek juga ibu saya melarang bermain di waktu itu (petang). Konon katanya, sandik olo (mungkin setan atau sebangsanya) muncul dan mengangganggu. OK lah, kita asumsikan mitos (atau realitas) itu dimunculkan (atau ada) agar anak-anak kecil bergegas pulang ke rumah dan melaksanakan salat Maghrib. Namun, kenapa juga nenek atau ibu saya tidak berkata ada sandik olo ketika waktunya salat Isya?

Meski demikian, saya menduga kalau kesakralan atau kemagisan itu lantaran mitos yang diceritakan turun temurun. Buktinya, di kota-kota besar, seperti Jakarta, Yogyakarta atau Semarang, aktivitas tetap berjalan dengan leluasa. Di kota-kota itu, dimana kehidupan hampir terjaga selama 24 jam, tidak ada beda antara waktu Maghrib, Isya, Subuh, dan seterusnya.

Bukti lainnya, saya kira kesakralan atau kemagisan waktu Maghrib akan hilang dan tak terasa, semisal, ketika kita berada di dalam mall. Dalam keriuhan, keramaian, dan penerangan yang ekstra, waktu Maghrib sama sekali tak terasa. Hanya saja, saya belum pernah mencoba tidur dan terbangun di saat Maghrib di dalam sebuah mall. Apakah nyaman, mimpi burukkah, atau biasa saja.

Bukti selanjutnya, kesakralan atau kemagisan ini sama sekali tak terasa ketika kita sedang berada di dalam mobil pribadi, lebih-lebih kendaraan umum. Sama saja, tidak ada bedanya dengan jam-jam sebelum atau setelahnya. Tentu bukan dalam konteks kemacetan atau situasi jalan, melainkan feel dari waktu itu.

Terakhir, saya menduga kesakralan atau kemagisan ini hanya terjadi dan berlangsung ketika kita berdiam diri. Saat kita berada di dalam rumah atau kamar, ketika mendengar adzan Maghrib, pastilah feel kita akan berubah, entah bad mood atau good mood. So, menurut saya, mitos ini tidak terjadi ketika kita sedang dalam lipatan waktu (perjalanan, mobile atau bergerak). Mitos ini semakin kuat ketika kita berada di ruang tertentu, misal sebuah desa yang cukup terpencil di sebuah kaki gunung dengan penerangan yang meremang.

Terlepas mitos atau bukan, nampaknya pesona dunia seperti ini mulai pupus ketika masyarakat mengalami modernisasi. Mall, lampu, mobil, dan sebagainya, membuat pesona dunia dalam bentuk kesakralan atau kemagisan menjadi tak terasakan. Lantas perlukah kita ke masa lalu? Atau sesekali saja kita perlu mampir ke desa—seperti yang saya maksud—untuk sekedar mencicipi pesona dunia ini. Anda tertarik? []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

4 comments :

Antown mengatakan...

Mantap! saya suka tulisannya mas...., anda bisa melihat dari sudut pandang yang berbeda.

saya juga pernah memikirkan hal ini. Tapi di beberapa daerah hal seperti ini justru mulai kehilangan kemitosannya.
Di Matraman-jakpus, tempat saya tinggal sekarang, saat adzan maghrib berkumandang beberapa orang bergegas menuju masjid (mereka yang tinggal di tempat peribadatan tentunya), sementara yang lain rebutan kamar mandi, tapi ada juga beberapa ibu-ibu dengan asyiknya merokok di depan rumahnya.
Pemandangan yang sungguh tidak biasa, apalagi jika mereka yang masih berstatus pendatang baru di Jakarta.

mampir ke blog saya mas, ada kontes komen kemerdekaan. gratis tis tis hehehe

Anonim mengatakan...

Persis seperti di desa saya, cuman nggak tau akhir2 ini sudah terlihat jarang lagi, kulyah dimana mas, gaya bahasanya enak dipahami

Ika Devita Susanti mengatakan...

iyaaa... setuju... sering itu tidur waktu maghrib trus jadi ga enak...

tapi kalo di mall.. ga kerasa apa-apa..hehehe...

mungkin itu sugesti turun temurun yah? karena dari kecil udah di sugesti, jadinya sampe beranak pinak pun masih ada dan berpengaruh untuk dunia nyata??

omoshiroi mengatakan...

hebat euy bisa dapet ide tulisan seperti ini..
mantab lah!!