
Oleh: Firdaus Putra A.
Sebut saja nama bocah itu Nindi. Dia anak tetangga kos saya. Bocah itu mungkin baru berumur lima atau enam tahun. Usia yang penuh dengan kelincahan, keriangan, dan kesenangan. Seperti usia kanakku dulu sewaktu diasuh oleh kakek dan nenek.
Sore itu dari balik jendela ruang tamu saya dengar ia berteriak, “Pait ... pait ...”, terus menerus. Sama, saya juga dulu sering meneriakan kata-kata itu. Biasanya ketika ada seekor lebah (tawon) yang mendekat dan berputar di atas kepala. Dengan teriakan “pait” (pahit, dalam bahasa Indonesia), dulu saya berharap agar si lebah menjauh dan pergi ke tempat lain. Ya, karena si lebah hanya suka dengan yang “manis”. Lebah tidak suka pahit. Makanya, anak-anak kecil akan berteriak “pait” bilamana si lebah dirasa mengganggu aktivitas bermain.
Lantas apa masalahnya? Saya memang tidak ingin membokar mitos bahwa tindakan itu sungguh tak rasional. Bayangkan saja, rasionalisasi seperti apa yang mencukupi untuk menjelaskan teriakan “pait” dan membuat lebah pergi? Tidak ada. Itu sekedar mitos. Mitos yang diciptakan oleh masyarakat agar kita (anak-anak) tidak takut ketika bertemu lebah. Toh, sekali lagi bayangkan saja, apakah lebah tahu teriakan kata “pait”, “manis”, “sengat aku”, dan sebagainya? Tidak kan?
Yang membuat teriakan “pait” menarik perhatian, karena masa kanak-kanak saya lalui di sebuah desa bernama Wiroditan Kec. Bojong Kab. Pekalongan. Sedangkan si bocah Nindi, dia hidup di kelurahan Grendeng Kec. Purwokerto Utara Kab. Banyumas. Sedangkan jarak Pekalongan dengan Banyumas (Purwokerto) bisa kita tempuh dalam empat jam perjalanan (bus) dan dua atau tiga jam perjalanan menggunakan motor. Kalau kita mau sedikit memutar otak, bagaimana caranya teriakan “pait” bisa sampai dari Pekalongan ke Banyumas? Atau dari Banyumas ke Pekalongan?
Saya benar-benar takjub ketika tersadar bahwa proses tersebut terjadi begitu rumit namun selesai. Mengapa rumit? Bayangkan saja, bilamana teriakan “pait” baru sampai ke Banyumas berkat jasa ibu-ibu Pekalongan yang mengajak anaknya main ke Banyumas, dan di suatu tempo datanglah lebah mengganggu. Si ibu menyuruh agar si anak berteriak “pait”. Ibu Banyumas mendengar. Namun, saya yakin tidak hanya sekali saja ia mendengar lantas percaya dan menurunkan ilmunya pada si anak. Bisa jadi ia mendengar ratusan kali dan akhirnya baru mewariskan ilmu “paitnya” itu ke anak Banyumas. Begitu rumit bukan?
Saya kira teriakan “pait” hanya satu dari sekian banyak adat/tradisi yang mengalami pertukaran. Kecil kemungkinan tradisi itu ada di satu daerah dan ditemukan juga di daerah lain tanpa adanya pertukaran budaya. Seperti, di sekitar rumah kos saya, saban adzan Maghrib selesai, muadzin (orang yang adzan) akan melantunkan solawat (nabi). Mulai dari lirik, sampai intonasinya hampir sama seperti yang saya dengar di Pekalongan. Mungkin tradisi itu juga dibawa layaknya adat “pait” pengusir lebah.
Semakin membuat saya terkesima, bahwa budaya merupakan proses yang canggih. Misal, dalam berbahasa, bahasa Pekalongan (dialek bande’an) tidak terlalu berbeda dengan bahasa Banyumas (dialek ngapak). Sedikit sekali kita mengalami roaming dalam area yang berdekatan, antarkecamatan, antarkota, dan antarpropinsi. Namun, apa yang akan terjadi bila kita mengalami roaming ketika saya (Pekalongan) bertemu dengan pacar saya (Banyumas), misal, “Awas ana motor!” (Awas ada motor, bahasa Indonesia), sedangkan saya menerima itu “Ayo ke sini”. Bisa jadi saya akan tertabrak motor karena tidak mengetahui perkataan pacar saya. Untungnya, saya hanya menerima itu dalam dialek yang berbeda, “Awas ono motor!”
So, pertukaran adat, tradisi, budaya, dan seterusnya, saya kira sampai kapanpun akan senantiasa kita butuhkan. Sekurang-kurangnya, agar ketika memasuki wilayah tradisi lain kita tidak mengalami roaming. Bayangkan, ketika memasuki salah satu suku pedalaman di Irian (atau Kalimantan, saya agak lupa), kita akan diminta untuk mencium/mengulum puting susu kepala suku (perempuan). Mungkin kita mengira hal itu adalah tindakan pornoaksi, padahal justru sebaliknya, proses itu merupakan penghargaan bagi orang luar yang sudah dianggap sebagai saudara (anggota suku). Bila kita mengalami roaming, saat itu kita akan menolak mentah-mentah, bukan persahabatan yang didapat, justru permusuhan yang akan lahir.
Ilustrasi di atas mungkin terlalu dramatis. Sekurang-kurangnya, ketika “pait” tidak pernah saling bertukar antara Pekalongan-Banyumas, Banyumas-Cilacap, Pekalongan-Pemalang, Pemalang-Banyumas, dan seterusnya, kemarin sore, saya atau Anda akan mengira kalau Nindi gila atau sedang kerasukan setan tawon. “Pait ... pait ... pait ....” []
0 comments :
Posting Komentar