Masjid Kampus


Oleh: Firdaus Putra A.

Peristiwa ini sebenarnya sudah lama terjadi. Tepatnya bulan Januari 2008, saat menyiapkan Diskusi Publik LS Profetika (17/01/2008). Karena membutuhkan tempat yang cukup besar, secara resmi saya mengajukan permohonan ke Ketua Takmir Masjid Kampus Nurul Ulum. Surat itu berisi perihal permohonan peminjaman ruang masjid sebagai tempat diskusi.

Sayangnya, oleh Pak Uung Junarya (Ketua Takmir), permohonan itu ditolak dengan alasan agar masjid tetap dalam situasi yang kondusif. Alasan ini tentu saja memancing saya untuk meminta penjelasan lebih jauh. Pasalnya, alasan tersebut pasti muncul dari asumsi bahwa diskusi yang akan saya gelar bisa merusak kondusivitas masjid.

Perlu diketahui, diskusi publik itu mengambil tema “Menyemai Toleransi, Merajut Kebersamaan di Ruang Publik”. Tema ini merupakan refleksi terhadap kondisi keberagamaan umat Islam saat itu yang sedang meributkan Fatwa sesat MUI terhadap Ahmadiyah. Diskusi itu menghadirkan beberapa pembicara yang multi perspektif; Jemaah Ahmadiyah, Jaringan Islam Liberal (JIL), MUI Kab. Banyumas, Dosen Hukum (akademisi), dan satu lagi Hizbuttahrir Indonesia wilayah Purwokerto.

Memang diskusi itu di-setting sedemikian rupa agar berbagai pandangan yang sama atau berbeda dapat diakses oleh publik secara langsung (dari sumbernya). Mengingat, saat itu opini publik terbentuk melalui pemberitaan di media massa yang sifatnya terpotong-potong, sensasional (dalam rangka mengejar news value), dan tentunya tanpa ada proses dialog di dalamnya.

Akhirnya, menurut saya masjid kampus cukup representatif sebagai media yang bisa memfasilitasi proses check and recheck, tabayyun atau klarifikasi, dan sebagainya. Melalui proses ini diharap publik agar semakin dewasa dan menerima informasi secara komprehensif dan valid (langsung dari sumbernya).

Setelah melalui sedikit debat, Pak Uung dengan otoritasnya selaku pemangku takmir, tetap tidak meluluskan permohonan itu. Karena sedikit geram, paska bertemu Pak Uung di sekretariat takmir, saya menghubungi Pembantu Rektor III. Saya memberitahukan keinginan untuk meminjam ruang masjid sebagai media diskusi namun ditolak dengan alasan seperti di atas. Oleh beliau, saya direkomendasikan untuk menggunakan Gedung Pendopo Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) yang baru. Dan akhirnya kegiatan itu bisa berjalan lancar tanpa hambatan. Pada titik ini, selayaknya saya berterimakasih sebesar-besarnya kepada PR III Bapak Kusbiyanto yang telah memberi solusi.

Lantas, mengapa setelah lama kegiatan berlangsung saat ini saya teringat kembali dengan peristiwa yang tidak mengenakan itu? Tepatnya hari Jumat minggu pertama bulan Agustus saya mengikuti diskusi publik di masjid tersebut. Diskusi itu diselenggarakan oleh Hizbuttahrir Indonesia - Purwokerto, dengan tajuk, seingat saya “Menyelamatkan Indonesia dengan Khilafah”. Saya heran, mengapa ormas seperti HTI—yang nota benenya adalah “partai”—diizinkan mengakses/memanfatkan masjid kampus, sedangkan lembaga saya, Lingkar Studi Profetika tidak diizinkan? Proses ini nampak sebagai diskriminasi dalam rangka mengakses ruang publik.

Padahal, dalam diskusi Jumat itu, Bapak Abdur Rouf ketika menjawab pertanyaan salah satu peserta, tidak segan lagi untuk menjelaskan bahwa kelak tidak menutup kemungkinan HTI akan menjadi partai politik. Meski sebelum waktu itu datang, kita tahu bahwa HTI merupakan salah satu “partai ekstra parlementer” yang ada di Indonesia. Dalam konteks ini, saya tidak sedang mempersoalkan ia partai atau bukan. Tetapi nalar diskriminatif itu yang membuat saya kecewa.

Kemarin ketika salat Jumat di masjid yang sama, takmir masjid mengumumkan bahwa sehabis salat Jumat akan diadakan kajian, yang sekali lagi, diadakan oleh HTI Purwokerto. Saya tidak sedang iri hati dengan HTI karena dapat mengakses masjid kampus, sedangkan lembaga saya tidak, yang saya pertanyakan, dimana sikap adil takmir masjid Nurul Ulum?

Meski demikian saya tidak naif. Saya memahami—atau berusaha memahami—bahwa jangan-jangan penolakan itu didasari karena adanya JIL sebagai salah satu pembicara. Bilamana asumsi ini benar, saya justru menyayangkan, mengapa prasangka yang ada tidak didialogkan, agar tentunya, segala anggapan yang tak tepat itu bisa terklarifikasi.

Lebih jauh, peristiwa yang saya alami memperlihatkan kepada kita bahwa kultur untuk saling terbuka dan berdialog di masyarakat kita sangat memprihatinkan. Parahnya, kultur itu tidak dicoba untuk dirubah oleh pemangku otoritas justru mereka melegitimasinya. Masjid sebagai media pendidikan dan pendewasaan umat akhirnya jauh dari ideal sebagai sarana dakwah yang mencerdaskan umat. Dan ironisnya, hal tersebut justru terjadi di masjid kampus yang nota benenya dekat dengan tradisi mimbar akademis yang terbuka. Tentu saja, akhirnya, kita perlu tidak heran ketika melihat masjid-masjid yang lain (yang dikelola oleh masyarakat) jauh dari tradisi “kajian” dan seringkali sekedar “pengajian” yang doktriner. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :