Playboy


Oleh: Firdaus Putra A.

Suatu sore sehabis makan saya berjalan sendiri menuju kos. Tiba-tiba seorang teman perempuan menyapa. Tidak sekedar menyapa, ia malah menanyakan beberapa hal tentang seseorang. Sebut saja orang itu dengan “Pria”.

Si perempuan bertanya ke saya bagaimana kabarnya “Pria” saat ini? Saya jawab, ya baik-baik saja. Saya tanyakan, memangnya kenapa? Dan si perempuan menerangkan, “Omongin tuh mas sama “Pria”, jangan mainin perempuan. Pinter ya pinter, tapi jangan playboy.” Saya tersentak, tidak menyangka kalau teman itu akan berkata seperti itu. Saya juga kaget apakah benar apa yang dikatakan si perempuan barusan, bahwa “Pria” adalah playboy.

Sebenarnya saya tidak terlalu berkepentingan untuk ikut campur masalah “Pria”. Pasalnya, apa yang sedang dipermasalahkan, menurut saya, masuk dalam ruang privat individu. Namun, setelah saya pikir ulang, ruang privat itu sayangnya beririsan dengan ruang publik, lebih tepatnya etika sosial. Malamnya langsung saya SMS si “Pria”. Saya ingin mengetahui duduk masalahnya, mengapa sampai ada seorang teman memberi stigma playboy pada dirinya.

Dan benar, malamnya si “Pria” datang. Tanpa basa-basi saya tanyakan apa yang dikatakan oleh teman perempuan itu. Menanggapi masalah itu, si “Pria” tidak terlalu cemas. Justru ia tenang dan menganggap bahwa masalah itu tidak pantas mereka (teman-teman “Pria”) bicarakan. Si “Pria” menganggap bahwa mereka “sok peduli” terhadap dirinya. Sampai klimaksnya, si “Pria” menganggap bahwa biarlah stigma ada. Toh, yang menghayati realitas itu adalah dirinya, bukan orang lain. Saya simpulkan, si “Pria” mengacuhkan saja anggapan miring teman-temannya terhadap dirinya.

Pada dasarnya setiap individu memiliki lebenswelt atau situasi yang dihayatinya yang satu sama lain berbeda. Dan hanya dirinyalah yang sebenar-benarnya mengetahui situasi itu. Hanya saja persoalannya, seringkali hidup manusia beririsan antara ruang privat dengan ruang publik. Antara dirinya sebagai individu yang merdeka, dengan pandangan orang lain terhadap dirinya yang tentu saja, hasil konstruksi masyarakat.

Saya rasa stigma playboy sebagai tindakan yang buruk berangkat dari keyakinan sebagian masyarakat terhadap nilai-nilai luhur; komitmen, cinta, dan kasih sayang. Dan agaknya, stigma itu muncul sebagai proses kontrol sosial agar individu tidak melakukan tindakan-tindakan yang “diharamkan” oleh masyarakat.

Saya berusaha memahami situasi yang dihadapi “Pria”, sebuah hubungan cinta-kasih yang pastilah “tak legal”. “Tak legal” dalam konteks ini maksudnya sebuah hubungan cinta-kasih yang dibangun tanpa komitmen yang jelas. Atau pada kasus lain, “Pria” melakukan proses sabotase rumah tangga orang lain. Kedua-duanya sama-sama hubungan yang “tak legal”.

Lantas apa yang “legal”? Tentu saja “monogami”. Maksudnya sebuah hubungan (baca: pacaran) yang mengikatkan diri (komitmen) hanya pada satu pasangan. Tidak hanya itu, hubungan baru menjadi “legal” bilamana pasangan yang bersatu berangkat dari kondisi yang sama-sama bebas (single). Bila salah satu sudah mempunyai pasangan, maka hubungan tersebut termasuk “perselingkuhan”, dan tentu saja, “tidak legal”.

Permasalahannya, bagaimana ketika “Pria” mengacuhkan begitu saja stigma yang menimpa dirinya? Memang, bisa jadi ia termasuk orang yang tidak mempedulikan citra diri atau imej. Hanya saja, kehidupan merupakan bentukan dari jejaring struktur sosial. Termasuk di dalamnya masalah nilai, norma, kepantasan, dan seterusnya. Untuk itu, pada titik minimal, mau tidak mau, “Pria” harus mengadaptasi logika sosial itu. Bilamana tidak, maka selamanya ia akan mengalami hambatan struktural. Sekurang-kurangnya, klaim bahwa dirinya adalah playboy akan senantiasa terstempel di dahinya.

Sebagai orang yang memahami etika sosial, saya kira “Pria” seyogyanya merekonstruksi hubungan itu agar menjadi “legal”. Bilamana tidak, saya kira “Pria” sedang membuang jauh-jauh etika sosial yang selama ini dipelajarinya. Dan tentu saja, tindakan itu merupakan paradoks dari pemikirannya selama ini. Paradoks, ketika ia begitu rupa mengkaji persoalan kesetaraan gender. Paradoks, ketika ia begitu rupa menghormati nilai-nilai kemanusiaan.

Meski demikian, pilihan tetap berpulang pada si “Pria”. Apakah ia akan meruntuhkan hubungan itu? Atau justru membangunnya melalui batu bata yang “legal” dan tidak lagi mencuri “milik” orang lain. It’s your choice! []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 comments :

Anonim mengatakan...

Bagus sekali tulisannya runut dan jelas...