
Oleh: Firdaus Putra A.
Suatu malam saya menonton televisi. Saat itu disuguhkan tayangan konser musik di luar negeri. Entah saya lupa tayangan (program) apa yang saya tonton. Di lain kesempatan, melalui televisi saya juga menyaksikan konser musik serupa, di Indonesia. Dan ternyata ada perbedaan antara dua konser musik itu.
Memang bukan perbedaan bahasa yang akan saya bincangkan. Melainkan, kalau kita perhatikan secara seksama, penonton konser musik di luar negeri sangat heterogen. Baik laki-laki pun perempuan, semuanya bercampur dan merata. Ada yang tepat di depan panggung, ada yang di tengah, dan di paling belakang.
Sedangkan di Indonesia, sedikit kita temukan wajah-wajah perempuan di tengah-tengah penonton. Percampuran laki-laki dan perempuan tidak merata. Hanya sedikit perempuan yang menonton secara langsung (di lapangan). Dan tentu saja, yang memadati konser itu sebagian besar adalah laki-laki.
Lantas apa menariknya? Bagi agamawan melihat perbedaan itu mungkin ia akan mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat Idonesia tahu sopan-santun. Yakni, tidak baik antara laki-laki dan perempuan campur dan berhimpitan dalam satu keramaian. Mereka mungkin akan mengatakan bahwa itu adalah pertanda baik, artinya perempuan-perempuan Indonesia sadar akan kodratnya.
Saya punya pandangan lain. Alih-alih hal itu merupakan tanda kedewasaan masyarakat, justru hal tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa ruang publik di Indonesia sangat patriarkhis. Buktinya, perempuan takut untuk bercampur dalam keramaian mengingat kesadaran akan keamanan dan ketertiban penonton di Indonesia terbilang masih rendah.
Bila saya menonton konser musik, saya cukup was-was ketika tiba-tiba saja terjadi keributan di tengah sesaknya penonton. Saya akan khawatir, misal, bagaimana cara untuk melarikan diri dari kekacauan itu. Mungkin hal inilah yang melatari mengapa penonton perempuan cukup sedikit sebagai penonton konser musik. Di lain pihak, bila kita berpikir secara sederhana, bahwa jumlah penduduk antara laki-laki dan perempuan, lebih banyak perempuan, maka seharusnya jumlah penonton perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki.
Juga saya amati, jumlah penonton perempuan menjadi banyak ketika konser musik tersebut dilaksanakan di dalam gedung (in door). Sehingga, sebenarnya proses domestifikasi perempuan tetap terjadi, ingat in door. Sedangkan out door, adalah kawasannya laki-laki. Ketimpangan ini selaras dengan pelajaran yang senantiasa kita repetisi di kala SD, “Ibu di rumah. Bapak pergi ke kantor.” Yang artinya, perempuan berada “di dalam gedung”, laki-laki, silahkan “ke luar gedung”.
Bila saya perempuan, saya akan cemburu dengan kondisi ini. Pasalnya, sebagai manusia, dirinya tidak mampu menikmati setiap fasilitas (misal, ruang publik) dan berbagai macam privellege yang bisa dengan mudah dinikmati laki-laki. Sayangnya, para anggota fans club jarang menuntut hal ini, misal; keamanan serta kenyamanan konser musik di tingkatkan dan sebagainya. Atau bisa jadi, karena fans club lebih banyak beranggotakan laki-laki daripada perempuan, misal, Orang Indonesia (OI), Slankers, Baladewa, dan seterusnya. []
0 comments :
Posting Komentar